Oleh: Hironimus Bandur
Dosen STIPAS Santo Sirilus Ruteng, sedang mengikuti kuliah doktoral di UIN Sunan Kalijaga Jogya
Pandemi Covid 19 menantang ekspresi keberagamaan manusia. Pada hampir seluruh wilayah, kita temukan aksi-aksi solidaritas, sebuah ekspresi keberagamaan dari segmen agama pada masalah kemanusiaan.
Kepada mereka, patut diberikan apresiasi yang setinggi- tingginya, apalagi aksi solidaritas mereka bergerak melampaui batas agama.
Kita berharap, aksi solidaritas mereka jauh dari intensi-intensi keagamaan belaka, jauh dari motif-motif keagamaan an sich, sehingga di mata masyarakat umum, aksi-aksi solidaritas dipandang lebih sebagai problem-solver daripada problem-maker.
Mungkin masih ingat peristiwa “nasi bungkus berlabel anjing” pada akhir April lalu. Peristiwa itu menuai banyak respon (mengecam atau mendukung).
Pengalaman menunjukkan (dalam peristiwa yang berbeda), aksi solidaritas tidak selalu bermakna tunggal. Satu pihak dipandang sebagai tindakan sosial-karitatif, tetapi di lain pihak (kadangkala) dijadikan panggung pertunjukkan kebenaran hegemonik agama tertentu. Yang pertama, hadir untuk menyelesaikan persoalan (problem solver) tetapi yang kedua justru menjadi penyebab masalah (problem maker).
Aksi solidaritas akhirnya berujung pada terganggungya relasi antar-umat beragama. Oleh sebab itu, baiklah kita melihat sejenak aksi solidaritas, sebagai sebuah ekspresi keberagamaan.
Umumnya dipahami sekurang-kurang terdapat tiga (3) ciri ekspresi keberagamaan seseorang dalam hubungannya dengan orang lain/penganut agama lain.
Pertama, inklusif. Inklusivitas dalam beragama berarti menyadari kebenaran yang ada pada agama lain. Teolog Katolik, Karl Rahner (1995) memperkenalkan istilah, the anonymous Christian (orang-orang Kristen Anonim) untuk kaum non-Kristen.
Kristen anonim juga diselamatkan Tuhan ketika mereka melakukan perbuatan-perbuatan yang baik dan benar, walapun mereka tidak mendengarkan injil.
Mereka adalah orang-orang berTuhan walaupun tidak beragama, atau punya agama tetapi menyediakan diri untuk melakukan perbuatan-perbuatan baik dan benar. Ironis, jika seseorang menyebut diri sebagai orang beragama namun menyangkal kebaikan, merusak peradaban dan melumpuhkan kebenaran.
Filsuf Muslim, Ibn Taimiyah seperti dikutip Nurcholish Madjid (1995) menggunakan istilah non-muslim par excellence dan muslim par-excellence. Non-muslim par excellence mengacu kepada non-muslim yang menjalankan fitrah keagamaanya, taat dan penuh pasrah kepada Tuhan (Islam = pasrah kepada Tuhan). Mereka adalah kaum non-muslim yang Islami.
Sedangkan Muslim par excellence adalah kaum Muslim yang setia dan pasrah kepada Tuhan. Rahner dan Taimiyah ingin mengungkap fakta tentang adanya kaum Muslim yang tidak Islami, sama dengan orang Kristen tetapi sangat tidak Kristiani.
Sebab itu, tidak ada alasan untuk melupakan orang-orang di luar agama kita yang justru bertindak jauh lebih agamis daripada kita sebagai orang-orang beragama dalam peristiwa kemanusiaan.
Kedua eksklusif. Eksklusivitas dalam beragama bertolak dari klaim kebenaran yang dimiliki seseorang dalam agamanya.
Kebenaran ini meyakinkan diri seseorang bahwa agama yang sah dan benar hanyalah agamanya, sedangkan di luar agamanya, tidak benar dan karena itu tidak dapat diselamatkan Tuhan.
Dalam sejarahnya, kekristenan popular dengan teks Yohanes 14: 6 “Akulah jalan, kebenaran dan hidup. Tidak seorangpun dapat datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku”, sedangkan kaum Muslim dapat dibaca dalam Surah Ali Imran 85 “Barangsiapa menerima agama selain Islam maka tidak akan diterima dan pada hari akhirat ia termasuk golongan yang rugi”.
Tanda-tanda yang menyertai eksklusivitas seseorang dalam beragama adalah tindakakan kekerasan, diskriminasi dan cenderung ekstrem bahkan radikalis dalam bertindak dan kata-kata. Interpretasi teks Kitab Suci pun dilakukan secara tekstual, mengabaikan konteks. Tidak mengenal kondisi intertekstual (korelasi antar-teks) dalam penafsiran.
Ketiga, pluralistik. John H. Hick dikenal sebagai tokoh pluralisme. Menurut Hick (1973), kebenaran terletak di depan fenomena semua agama. Dia tidak mengatakan bahwa semua agama sama saja, kecuali semua agama memiliki kebenarannya masing-masing untuk dipertautkan dengan kebaikan publik (common good).
Hick mengedepankan kebenaran dalam keberagaman agama. Dalam Kekristenan, Yesus Kristus adalah Tuhan yang seutuhnya (Totus Deus) untuk umat kristiani, namun tidak bisa mengatakan bahwa Yesus Kristus adalah Tuhan keseluruhan (Totum Dei). Yesus Kristus adalah jalan bagi umat Kristen menuju keselamatan tetapi, Musa bagi kaum Yahudi dan Muhammad bagi kaum Muslim.
Kesalingterhubungan (interconnectedness) antara agama-agama sangat diperlukan dalam anatomi multi-agama, yang memungkinkan dialog dan toleransi.
Dalam musim pandemi Covid 19 ini, tidak ada agama yang dikaruniakan terluput dari paparan virus. Mari kita menenun dan terus merenda solidaritas universal, toleransi lintas batas.
Mengutip Abdul Karim Soroush (2014): ”toleransi adalah keutamaan di luar agama (namun tidak anti-agama), seperti cinta berada di atas semua agama”.
Musim Covid 19 memaksa kita untuk bertindak lebih inklusif dan plurastik. Aksi solidaritas adalah aksi “dari satu untuk semua”. Aksi solidaritas memperbaiki peradaban universal tetapi sekaligus memperkuat nalar keberagamaan kita. ***