Ruteng, Vox NTT- Masih ingat dengan nama Rikardus Hama? Di telinga aktivis lingkungan di Manggarai dan Manggarai Timur, nama yang satu ini sudah tidak asing lagi.
Rikardus bersama adiknya Adrianus Ruslin pernah dijeblos ke jeruji besi gara-gara menolak aktivitas eksplorasi pertambangan PT Aditya Bumi Pertambangan di tanah ulayat milik masyarakat Tumbak.
Dua warga asal Kampung Tumbak, Desa Satar Punda, Kecamatan Lamba Leda, Kabupaten Manggarai Timur itu pernah divonis penjara selama 3 bulan oleh Pengadilan Negeri Ruteng pada 24 Juli 2014 lalu.
Mereka dinyatakan melanggar delik “perbuatan tidak menyenangkan” sebagaimana diatur dalam Pasal 335 ayat (1) KUHP.
Padahal, MK sudah mencabut delik tersebut lewat Putusan Nomor 1/PUU-XI/2013 yang dibacakan pada 16 Januari 2014.
Setelah sekian lama hilang dari peredaran pemberitaan media massa, kini Rikardus kembali buka suara terkait alasan penolakannya kala itu.
Menurut dia, masyarakat di Kampung Tumbak bukan hidup dari aktivitas pertambangan, mengingat sebagian besar berprofesi sebagai petani.
“Tidak perlu itu namanya tambang, kita hidup di Tumbak bukan karena tambang. Kita hidup karena olah tanah itu,” ujar Rikardus saat didatangi sejumlah awak media di kediamannya di Kampung Tumbak, Jumat (01/05/2020) lalu.
Apalagi, kata dia, areal aktivitas eksplorasi tambang mangan milik PT Aditya Bumi Pertambangan saat itu berada di atas bukit. Sementara di bawah bukit itu terdapat persawahan warga dan Kampung Tumbak.
Persawahan itu merupakan lahan basah yang dikelola petani. Jika berprofesi sebagai petani, maka menurut Rikardus harus ada lahan garapan. Hal tersebut tentu saja sama halnya dengan pemerintah, pasti ada tempat kerjanya.
“Dengan alasan itu kami tolak kehadiran tambang, kami pikir kehadiran tambang itu sangat merugikan kami masyarakat. Karena tanah itu dibongkar, kami masyarakat yang jadi korban,” tegasnya.
Rikardus juga mengakui, saat awalnya perusahaan memang menawarkan janji manis kepada masyarakat. Salah satunya membawa alasan bahwa kalau ada aktivitas pertambangan, maka masyarakatnya pasti sejahtera.
Baca: Timbang Untung dan Buntung Pabrik Semen Lingko Lolok
“Termasuk pribadi saya, bahwa kalau terima tambang itu, saya jadi manajer, Kok manajer orang yang tidak bersekolah. Kan tidak masuk akal,” tandas pria 57 tahun itu saat menyentil tentang janji awal perusahaan pertambangan masuk ke wilayah mereka.
Meski demikian tawaran “angin surga” oleh pihak perusahaan, namun pihaknya tetap bersikukuh untuk menolak karena dianggap merugikan masyarakat.
Baca: Warga Luwuk: Manusia Saja yang Beranak, Tanah Tidak
Beruntung pula, lanjut dia, ada pihak yang datang ke tengah masyarakat Kampung Tumbak saat itu. Sehingga warga akhirnya sadar bahwa kehadiran perusahaan pertambangan justru merugikan masyarakat.
Untuk memperkuat argumentasi penolakannya, Rikardus juga mengangkat contoh aktivitas operasi produksi mangan milik PT Arumbai Mangan Bekti dan PT Istindo Mitra Perdana di tanah milik warga Kampung Lingko Lolok dan Satar Teu, Desa Satar Punda.
Baca: “Bagaimanapun Bentuknya, Saya Punya Tanah Tidak Boleh Diganggu”
Menurut dia, bekas galian tambang mangan di dekat kampungnya itu justru sudah tidak bisa diolah menjadi lahan pertanian lagi, karena lubang besar masih menganga.
“Yang terjadi macam di Lingko Lolok, di Satar Teu, apa yang terjadi sekarang. Mau buka lahan tidak bisa, tanah sudah lubang besar begitu,” tandas Rikardus.
Pantauan VoxNtt.com Kamis, 16 April 2020 sore lalu, salah satu tempat bekas galian batu mangan milik PT Arumbai Mangan Bekti di Lingko Neni memang memprihatinkan. Betapa tidak, lubang besar masih menganga dan bongkahan batu masih merias di sekitar lokasi pemboran.
Penulis: Ardy Abba