Oleh: Ambros Leonangung Edu
Putra Manggarai Timur, Dosen Unika Santu Paulus Ruteng
NTT boleh diibaratkan dengan Nona Tidur Terlentang (NTT). Terlentang bukan dalam artian “fisis”, tetapi “metafisis”. NTT ibarat nona tidur terlentang dengan tubuhnya yang elok, gugusan serta bukit-bukitnya yang mulus menggoda, merangsang birahi para lelaki untuk melahap lekak-lekuknya.
Para lelaki yang suka eksplor itu, dalam perspektif feminisme, diparalelkan dengan kekuasaan. Perempuan (nona) itu bumi, lelaki adalah langitnya yang penuh kuasa. Kekuasaan itu sendiri, seturut Lord Acton, sifatnya suka merusak (power tends to corrupt).
Kekuasaan inilah yang sedang membayang-bayangi eksploitasi alam bumi Lengko Lolok dan Luwuk, di mana para penguasa ekonomi politik (investor dan pemda) coba bermain-main dengan argumen plastik berwajah perekonomian dengan jargon kesejahteraan.
Seperti nona cantik, Lengko Lolok adalah wilayah lugu nan polos yang tak jarang digoda para penguasa. Lugunya itu kelebihannya sekaligus petakanya. Alamnya diperas hingga susu terakhir. Hutan-hutan yang mengerudungi kulit lahan telah rusak. Kandungan buminya terkenal mangan, ditambah sekarang ini batu gamping.
PT Arumbai sebelumnya dengan metode dynamite explosion digging-up telah mengobrak-abrik isi mangan dari perut bumi, sehingga saat ini hanya tersisa lubang raksasa yang terus menganga tanpa reklamasi (recovery). Kali ini di Lengko Lolok diincar vendor serupa namun masuk lebih dalam lagi ke area paling sensitif dan vital –perkampungan.
Relokasi perkampungan adalah bola panas yang dilemparkan para penguasa daerah ke tengah publik. Bagi warga biasa, perkampungan adalah alasan mereka hidup. Hidup dalam lingkaran kilo bate toko, mbaru bate kaeng, natas bate labar, wae bate teku, lingko/uma bate duat, itu siklus yang pasti dilewati. Historisitas (kesejarahan) mereka terukir waktu demi waktu, generasi demi generasi, di dalam perkampungan itu.
Green Politics
Sekitar tahun 1960-an, banyak orang yakin bahwa kelebihan jumlah penduduk bakal jadi ancaman besar masa depan umat manusia. Tahun 1970, saat penduduk dunia berjumlah 1.5 miliar, Club of Rome, mengingatkan kita bahwa secara alamiah bumi kita hanya mampu menampung 2 miliar penduduk.
Peringatan ini didasarkan pada perhitungan kapasitas air minum 3 juta m3 yang tersedia di alam melalui siklus harian penguapan air laut menjadi awan dan kembali ke bumi saat hujan.
Bila setiap orang membutuhkan 1.5 liter air minum per hari, maka jumlah penduduk dunia yang layak hidup 3 juta m3/1,5 liter adalah 2 miliar.
Saat ini, jumlah penduduk dunia sudah 7 lebih miliar penduduk. Ibaratnya, motor yang dirancang untuk dua orang sudah ditumpangi 7 orang.
Laju pertumbuhan penduduk bumi dan alam (pangan) sebetulnya tidak seimbang. Thomas Malthus pernah mengemukakan dengan sangat lantang bahwa ketersediaan pangan mengikuti deret hitung (1, 2, 3, 4, dsb), sementara manusia bertumbuh mengikuti deret ukur (1, 2, 4, 8, 16, dst).
Manusia jauh lebih cepat pertumbuhannya daripada alam (pangan). Alam tetap seperti adanya dari waktu ke waktu. Food and Agriculture Organization (FAO), sebuah lembaga PBB yang bergerak di bidang pertanian dan pangan, menyebutkan bahwa setiap 1 dari 8 orang di dunia ini menderita kelaparan karena kalah persaingan dalam mengakses makanan (pangan).
Indonesia sebagai negara dengan jumlah penduduk keempat terbanyak di dunia, bijak-bijaklah mengatur masalah pangan dan lingkungan alam yang ada. Kita ingin 1000 tahun lagi, alam ini tetap terjaga, utamanya di Manggarai Timur. Untuk itu, diperlukan green politics.
Kata green itu sendiri tidak diartikan sebatas “lingkungan hidup”, tetapi belakangan dihubungkan dengan arti “keberlanjutan” (sustainability). Para pejuang lingkungan hidup, kita kenal JPIC OFM, JPIC SVD, JPIC keuskupan, dan kelompok-kelompok peduli lingkungan lainnya, tidak berjuang untuk lingkungan hidup itu sendiri tapi mendorong siapa saja (stakeholders) untuk lebih jauh memperjuangkan sustainable development, sustainable politics.
Sustainable development itu sendiri adalah penerapan lebih spesifik dari konsep politik hijau (green politics), sehingga sustainable development pada akhirnya bertujuan untuk green development. Artinya, pembangunan bukan semata-mata untuk tujuan ekonomi, tetapi lebih lagi efek lingkungan dan sosial-budaya.
Itu sebabnya, hampir tidak ada sektor yang tidak terhubung dengan lingkungan. Para pemimpin tidak cukup mendorong kegiatan-kegiatan menanam pohon, lebih jauh mereka membuat master plan dan tata kota (kabupaten, kecamatan) seperti infrastruktur jalan, mall, supermarket, industri, dll, yang betul-betul hijau (green).
Green Politics adalah bagian dari etika. Orang yang menghargai lingkungan menunjukkan orang itu beretika. Seorang mistikus ekologis bernama Marthin Buber selalu menyapa pohon dan bunga-bunga dengan sapaan “engkau” (thou).
Dengan menyebut pohon sebagai “engkau”, pohon jadi bagian dari hidup kita, setara dan diperlakukan sama dengan diri kita. Pohon bukan “dia” (it) karena kalau disebut “dia” berarti relasinya “aku-dia”, aku-orang lain, dan sebagai sesuatu yang lain, dia ada di bawahku dan layak aku eksploitasi sesuka hatiku.
Para petani yang bekerja dengan hati selalu ke kebunnya, menyapa dan menyanyi lagu-lagu indah nan merdu untuk kebun-kebunnya, memberinya teing hang dan syukuran penti, karena tanaman-tanaman itu hidup. Ia memiliki insting layaknya hewan yang perlu dibelai, disayangi. Musisi yang melantunkan lagu-lagu merdu dari kamarnya, betapa terkejutnya melihat bunga-bunga di luar jendela kamarnya bertumbuh indah.
Kita juga sering meminta kekuatan dan kesembuhan melalui alam (air). Kita meminta pendoa (ata mbeko atau pastor) agar kita selalu sehat dan terhindar dari sakit.
Ada apa dengan air? Dr Masaru Emoto dari Universitas Yokohama tekun membuat penelitian tentang perilaku air. Dalam risetnya itu, Emoto menemukan bahwa air yang diungkapkan dengan kata-kata yang indah seperti “aku mencintaimu”, “kuatkanlah aku”, “sembuhkanlah aku”, “air yang luar biasa”, apa yang terjadi, kristal-kristal indah akan mengembang dengan cabang-cabangnya yang luar biasa.
Kristal itulah yang menguatkan serta menyembuhkan kita. Sebaliknya, jika air disugesti dengan kata-kata kasar, ia akan rusak.
Jadi, kita hanyalah manusia yang tidak mengerti dengan rahasia alam. Lalu, untuk apa kita harus merusaknya? Mereka sudah memberi kita begitu banyak kebahagiaan di dunia. Kerusakan terhadap air, tanah dan lingkungan menunjukkan etika kita rendah.
Dalam konteks green politics, para pemimpin perlu beretika artinya santun dan jujur, menghargai mata air, hutan, dan lingkungan warga. Etika adalah metodologi atau cara membuat keputusan berdasarkan nalar dan hati nurani. Objek nalar adalah kebenaran (veritas), sedangkan objek nurani itu kebaikan (bonum).
Kebenaran dan kebaikan terbentuk secara alamiah dalam diri manusia, sedangkan keserakahan dan kebencian diajarkan. Kebenaran itu soal rasionalitas, soal benar atau salah. Yang tidak benar disebut kesesatan berpikir (fallacia). Kebenaran artinya kesesuaian antara kenyataan dan ide (aedequation rei et intellectus).
Jika suatu proyek investasi dibilang dapat menyejahterakan rakyat, apakah dalam kenyataan akan seperti itu? Membuat riset tentang daerah-daerah sekitar yang pernah melakukannya adalah suatu cara untuk mencari kebenarannya. Jika tidak terbukti, itu menunjukkan tidak benar, etika politik ekologi juga perlu digugat.
Etika juga soal hati nurani. “Nurani ada di dalam saya tapi sekaligus di atas diri saya” (der Ruf kommt aus mir und doch ueber mich), demikian kata Marthin Heidegger.
Nurani adalah lembaga moral yang ada di dalam tetapi seperti hakim ia ada di atas kita, di atas kendali kita, yang bersuara atas kita dan memberi kita ganjaran dan hukuman (reward and punishment).
Orang yang rajin menanam bunga, menanam pohon sekitar mata air, nurani akan memberi kita rasa bahagia. Seorang yang membantu orang kesusahan di masa korona ini akan diberi ganjaran rasa senang tak terlukiskan oleh nurani.
Para politisi, siapa pun itu, diharapkan menunjukkan rasa empati terhadap lingkungan sejak masa-masa kampanye hingga mereka telah duduk di atas singgasana kekuasaan. Rakyat menjuluki mereka kalau nurani mereka ada. Ganjaran nurani (diri dan nurani rakyat) membuat tidur mereka nyenyak, mereka dihargai, nama baik mereka selalu diingat rakyat sampai kapan pun.
Mereka dicap sebagai para pemimpin, bukan tipikal penguasa. Apalah gunanya seorang duduk di kursi dengan segala api kuasa di tangan, lalu kebijakan-kebijakannya “diikuti” tetapi tidak “dihargai”.
Mereka dihargai lantaran mereka beretika. Menurut Jeremy Bentham (tokoh etika politik dunia), para pemimpin disebut beretika ketika para pemimpin itu membuat keputusan yang membawa keuntungan bagi sebagian besar rakyat (the greatest happines of the great number), bukan sebagian kecil orang.
Investasi multiplier effect
Pembangunan berujung multiplier effect dan berdampak pada lingkungan (green). Pariwisata di Labuan Bajo perlu mengangkat sektor pertanian dan industri kreatif seperti mebel. Pabrik semen di Lengko Lolok perlu membawa dampak pertumbuhan ekonomi lokal, mengangkat ekonomi pertanian, dan memberdayakan warga. Kompensasinya dipakai untuk pemberdayaan warga.
Jika tidak demikian, untuk apa dilakukan? Konsep pembangunan setidaknya adalah pemberdayaan (empowerment). Sama seperti dalam rumah tangga, ayah yang baik memberikan parang kepada anak dan keterampilan untuk menggunakannya ketika bekerja di kebun, bukan memanjakannya dengan uang.
Membawa masuk industri hanya menutup mata terhadap realitas. Sebagian besar lahan kita adalah lahan kering. Kita masuk dalam kategori iklim Tipe C (curah hujan terendah), hanya sekitar 120 hari saja kita menikmati hujan dalam setahun. Karena kondisi kultur pendidikan NTT, maka 90-an persen petani tidak memiliki SDM (terdidik dan terampil), dan keterserapan tenaga kerja kita lebih banyak ke sektor pertanian. Pendapatan daerah juga mayoritas dari pertanian. Mengapa SDM tidak dilatih? SDM (keterampilan) para petanilah yang dibentuk.
SDM artinya kemampuan petani untuk akses kepada tiga hal: teknologi, modal dan pasar. Petani ber-SDM dapat menggunakan traktor secara efisien, tahu ilmu pemupukan, tahu kapan harus tanam dan panen, tahu modal yang dikeluarkan.
Mereka juga mampu memperoleh pinjaman modal di bank atau koperasi karena memiliki jaminan. Pada akhirnya, hasil komoditas mereka juga yang ada pasar-pasar, bukan barang para pendatang. Pasar yang ramai menunjukkan perekonomian lokalnya hidup, petani-petani hidup.
Tetapi pasar hanya hilir dari produksi yang ada di hulu. Kebijakan-kebijakan infrastruktur dan pembangunan daerah setidaknya mampu membuka sentra-sentra perekonomian. Jika hanya jalan yang dibangun, tetapi pertanian tidak diangkat, maka yang muncul hanya ojek tak berpenghasilan, yang pada gilirannya akan ditarik kembali pemilik modal. Itu yang dimaksud multiplier effect.
Implikasi pembangunan negara ini mestinya dirasakan oleh rakyat kebanyakan, seperti tertuang dalam amanat UUD 1945 Pasal 33, di mana faktor-faktor produksi digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran/kesejahateraan rakyat, bukan kesejahateraan investor dan penguasa.
Seturut logika ini, tambang atau pabrik semen di Lengko Lolok tampaknya bukan kategori investasi untuk “kepentingan umum”, sehingga bukan prioritas yang harus dipaksakan untuk dijalankan, tetapi pendirian pabrik semen lebih kepada privatisasi aset publik warga (Lolok) untuk kepentingan para investor.
Saat ini, orientasi pembangunan pemerintah lebih kepada eksplorasi energi baru dan terbarukan (EBT). Flores sendiri kaya akan EBT, misalnya PLTP Sokoria Ende, PLTP Mataloko, PLTP Ulumbu, Manggarai.
Orientasi ini merupakan bagian dari prioritas pemerintah sebagai bagian dari implementasi the Sustainable Development Goals (SDG’s) karena mampu menekan emisi gas rumah kaca yang merupakan penyebab utama pemanasan global (global warning).
Tahun 2007, Paus Paus Benediktus XVI (The Commandments for the Environtments, 2007) pernah berujar:
“Bumi kita sedang merintih kesakitan yang teramat dahsyat. Kita dapat merasakan dan mendengar suara kesakitannya. Bumi sakit keletihan oleh ketamakan, eksploitasi dan manipulasi”.
Pernyataan Paus bukan tanpa alasan. Merujuk para ahli, Paus mensinyalir bahwa panas mengakibatkan lapisan ozon menipis, hampir separuh tumbuh-tumbuhan, binatang dan mikroorganisme akan terancam punah seperempat abad ke depan, dan ratusan spesies tanaman serta serangga punah setiap hari.
Diperkirakan tahun 2030-an, lebih dari 90 persen bangsa kera akan punah termasuk 99% orang utan. Tanpa ragu-ragu manusia merusak hutan, mencemari air dan udara, menodai habitan kehidupan makhluk lain, mengganggu sistem dan siklus admosfer dan hidrogeologis (air dan tanah), serta mengubah daerah yang subur dan kaya raya menjadi padang gurun yang tandus.
Paus menambahkan, keselamatan surga yang selalu didasarkan di rumah-rumah gereja, ada dalam hubungan dengan keselamatan alam. Eskatologi (keselamatan) manusia berhubungan dengan keselamatan ekologi.
Ekologi alam (harga, taat dan sembah kepada alam) sejajar dengan “ekologi manusia” yang pada gilirannya bermuara pada “ekologi sosial”. Sebab, kedamaian dengan alam dan manusia adalah “hakekat” keberadaan Allah itu sendiri.
Pemanasan global ini sebenarnya harus ada di kepala setiap pimpinan. Politik hijau (green politics) perlu dibangun kembali. Kita tahu, tahun 2019 kemarin adalah tahun terpanas kedua sepanjang sejarah bumi ini. Awal 2020 ini tercatat sebagai tahun paling panas dalam rekor dunia, sebelumnya tahun 2013, 2010, 2005, dan 1998. Makin hari, usia bumi makin tua. Makin tua karena oksigen lebih kecil daripada emisi gas karbondioksida.
Masih ingat bagaimana para petani di Manggarai Timur dibuat pusing dengan terik panas yang menyengat dan kemarau yang panjang. Eksploitasi hutan adalah salah satu sebab tingginya panas bumi. Suhu yang panas dan kemarau yang panjang menimbulkan gagal panen para petani.
Jika produktivitas pertanian berkurang, maka pengangguran, perantauan, kejahatan, dan stunting sangat sulit dielakkan. Tetapi, impian untuk hidup baik sering kali tidak digubris bagi para penguasa yang menjadikan alam sebagai tempat pesta pora. Maka, benarlah Mahatma Gandhi katakan, “Bumi ini mampu menghidupi semua orang, tetapi tidak cukup untuk beberapa orang yang rakus”.
Warga mungkin tergiur dengan janji-janji manis perusahaan untuk mencapai kesejahteraan. Uang berlimpah di tangan, rumah-rumah minimalis modern, desain perkampungan yang elegan, merupakan bentangan janji perusahaan di depan warga. Tetapi, sebelum itu bisa menjadi kenyataan, duduklah sejenak merenungi kebijaksanaan berikut:
“Bila sungai terakhir sudah kering, dan ikan terakhir sudah ditangkap, baru kita sadar bahwa uang pun tak dapat dimakan.” Dalam nada yang sama, “Bila tanah tempat tinggal sudah hilang, kayu dan hutan lenyap, sumber air pun hilang, baru kita sadar bahwa uang seberapa pun dari perusahaan yang ada pada kita tak dapat dimakan”.