Ruteng, Vox NTT – Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) menilai rencana Pemprov NTT untuk melaporkan warga Besipa’e, Desa Mio, Kecamatan Amanuban Selatan, Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) merupakan pilihan yang keliru.
Sebelumnya, Gubernur NTT Viktor Bungtilu Laiskodat mendatangi wilayah Besipa’e, Selasa (12/05/2020) siang kemarin.
Baca: Gubernur NTT Disambut Aksi Telanjang Ibu-ibu di Besipa’e TTS
Saat itu, tampak Gubernur NTT Viktor disambut protes warga dalam bentuk aksi telanjang karena hendak merelokasi lokasi Besipa’e. Hal itu diketahui dari video yang diunggah pemilik akun facebook Andry Manafe, pukul 16.00 Wita, Selasa kemarin.
Aksi telanjang kaum ibu tersebut membuat Pemprov NTT akan menempuh jalur hukum.
Rencana laporan ke Polisi tersebut disampaikan oleh Kepala Biro Hukum Sekretariat Daerah Provinsi NTT, Alex Lumba.
Baca: Aksi Telanjang, Pemprov NTT Bakal Polisikan Warga Besipa’e TTS
Upaya Pemprov NTT tersebut turut memantik perhatian TPDI. Melalui Koordinatornya Petrus Salestinus, TPDI menilai upaya menempuh jalur hukum Pemprov NTT merupakan tindakan keliru.
“Opsi yang tidak bijak dan kurang kerjaan karena analisisnya kurang komprehensif, sehingga pilihannya dibawa ke ranah pidana adalah keliru,” ujar Salestinus dalam rilis yang diterima VoxNtt.com, Kamis (14/05/2020).
Menurut Salestinus, Alex Lumba seharusnya menjadi filter terbaik dan terakhir untuk Gubernur NTT dari semua polemik yang berkembang. Itu terutama soal aksi bertelanjang dada beberapa ibu asal Besipa’e.
“Alex Lumba seharusnya paham bahwa ibu-ibu itu tidak sedang mengeksploitasi dirinya dengan gerakan yang erotis atau membiarkan dirinya bertelanjang dada untuk dieksploitasi sedemikian rupa untuk tujuan pornografi sebagaimana dimaksud dalam UU Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi,” tandas advokat Peradi itu.
Menurut Salestinus, aksi ibu-ibu di Besipa’e yang bertelanjang dada harus dipandang sebagai upaya yang sangat terpaksa dilakukan karena sedang membela kepentingannya.
Kaum ibu itu, kata dia, sedang mempertahankan hak miliknya atas tanah dari upaya pihak lain yang dinilai secara melawan hukum hendak merampas hak-hak atas tanah mereka, termasuk oleh Pemprov NTT sekalipun.
Pembelaan Terpaksa
Salestinus menjelaskan, dalam hukum pidana dikenal dengan istilah pembelaan darurat atau overmacht.
Hal itu jelas dia, hanya dilakukan dalam keadaan di mana seseorang atau lebih dalam keadaan sangat terpaksa untuk membela kehormatan, harga diri dan harta milik (termasuk membunuh lawannya).
“Jadi aksi ibu-ibu Besipa’e bertelanjang dada tidak boleh dikualifikasi sebagai tindakan pornografi lalu Pejabat Hukum Pemprov mau melaporkan sebagai tindak pidana pornografi,” ujarnya.
Ia meminta agar Pemprov NTT harus jeli melihat adegan demi adegan, jika itu mau dipaksakan menjadi tindak pidana pornografi.
“Lalu bagaimana dengan posisi Gubernur NTT Viktor B. Laiskodat saat kakinya dipeluk seorang ibu yang bertelanjang dada dalam posisi berdiri di atas pagar saat hendak lompat masuk ke dalam lokasi, apakah adegan itu yang dimaksud sebagai pornoaksi?” tukas Salestinus.
Video yang beredar kata Salestinus, memperlihatkan dengan jelas adegan Gubernur NTT berhenti sejenak saat seorang ibu bertelanjang dada memeluk kaki-betisnya.
Aksi itu dilakukan untuk mencegah Gubernur NTT lompat masuk ke dalam lokasi. Viktor Laiskodat pun membiarkan sejenak posisi dipeluk bagian betis.
Menurut Salestinus, sebagai Kepala Biro Hukum Aleks Lumba tidak boleh berpikir pragmatis dalam menilai adegan itu sebagai tindakan pornoaksi.
“Apalagi kalau niat melaporkan itu didasarkan pada alasan untuk menakut-nakuti warga Besipa’e, itu keliru, karena persoalan pokoknya bukan pada ibu-ibu Besipa’e yang bertelanjang dada, tetapi pada persoalan pemilikan tanah,” ujarnya.
Ia pun meminta agar Pemprov NTT mencari jalan penyelesaian yang bermartabat dengan mengedapankan hukum adat setempat.
Apalagi tindakan bertelanjang dada itu dilakukan dalam keadaan sangat terpaksa.
“Tidak ada adegan yang menggoda ke arah pornoaksi seperti dimaksud dalam pikiran Aleks Lumba,” imbuh Salestinus.
Bertelanjang dada itu menurut Salestinus, bukanlah untuk mengeksploitasi bagian tubuh tertentu sebagaimana dimaksud dalam UU Pornografi.
Bahkan ia menilai, yang pantas untuk diproses hukum adalah orang yang merekam, memperbanyak, mengedit gambarnya, lalu mengedarkannya ke publik.
Sebab yang dilarang oleh UU Pornografi adalah perbuatan merekam, mengambil gambar hidup yang bermuatan pornografi dan sebagainya.
“Itulah yang tepat. Hentikanlah niat untuk melaporkan insiden telanjang dada itu sebagai pornoaksi saat kunjungan Gubernur ke Besipa’e, karena apa yang dilakukan adalah dalam keadaan overmacht,” tegasnya.
Penulis: Pepy Kurniawan
Editor: Ardy Abba