Oleh: Yohanes Gesriardo Ndahur
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Bung Karno.
Beberapa hari lalu saya dihubungi salah seorang wakil rakyat asal Manggarai Timur via WhatsApp. Percakapan kami berlangsung cukup lama dan membahas persoalan pembangunan di Manggarai Timur.
Beliau menghubungi saya, karena sejumlah kritik yang saya sampaikan di media sosial perihal sikap diam DPRD terhadap rencana pembangunan pabrik semen dan tambang batu gamping oleh PT Singah Merah dan PT Istindo Mitra Manggarai. IUP tambang dikeluarkan pemerintah provinsi dan izin lokasi pabrik di keluarkan bupati.
Beliau tampaknya cemas, kualitas kemampuannya di lembaga perwakilan tidak diperhitungkan. Sejumlah pembelaan dan pencapaian dirinya selama ini terus menerus ia sampaikan sepanjang percakapan.
Sayangnya, tidak ada komentar yang berani beliau utarakan kepada publik lewat media pemberitaan. Setuju atau tidak setuju terhadap pembangunan pabrik semen, seorang wakil rakyat wajib menyampaikannya ke pada masyarakat. Sikap diam atau pura-pura tidak tahu menggambarkan rendahnya kualitas wakil rakyat daerah ini.
Pengalaman saya serupa dengan sahabat saya yang juga turut aktif mengkritisi kebijakan pemda matim dan bungkamnya suara wakil rakyat daerah matim terkait polemik pabrik semen di Luwuk-Lengko Lolok, sahabat saya sementara menempuh pendidikan di Kota Kupang .
Ia juga beberapa kali dihubungi anggota DPRD Matim agar tak lagi mengkritisi rencana pembangunan pabrik semen di Luwuk-Lengkololok. Bagi saya, kenyataan ini menampakkan fakta memprihatinkan, bahwa DPRD matim tak lebih dari kaki tangan dan pelayan bagi kepentingan Bupati Andreas Agas.
Manggarai Timur seperti kehilangan wakil rakyatnya. Sehabis terpilih pada pemilihan legislatif, yang dipikirkan hanya soal balik modal yang terbuang selama kampanye. Nasib dan derita rakyat sama sekali luput dari perhatian.
Beberapa Anggota DPRD Matim memang telah menyampaikan pendapatnya di media masa. Sayangnya gagasan mereka sebagian besar “cari aman” dan menghindari konfrontasi dengan pemerintah daerah.
Salah satunya adalah Laurentisus Bonaventura Burhanto, wakil rakyat Partai Kebangkitan Bangsa daerah pemilihan Lamba Leda. Kepada Voxx NTT, ia menjelaskan bahwa berdasarkan Undang-undang No 23 tentang Pemerintahan Daerah, kewenangan DPRD terkait urusan pertambangan minerba tidak diatur. (Baca: https://voxntt.com/2020/05/10/dprd-matim-beri-sinyal-setuju-pabrik-semen/62667/)
Bonaventura sepertinya telah terjebak dalam logika positivis. Baginya segala seuatu mesti diatur dulu dalam ketentuan peraturan perundang-undangan baru boleh bertindak dan bersuara untuk rakyat.
Padahal, bersuara dan berbicara mewakili rakyat adalah tugas dan keharusan DPR, tidak menunggu diatur UU dulu baru bicara. Setidaknya Pak Bona berani menyampaikan pendapatnya, apa kabar 29 orang wakil rakyat matim yang lain?
Wakil Rakyat Seharusnya Merakyat
Pada kampanye Pemilihan Presiden tahun 2014 silam, calon Presiden Joko Widodo (sekarang sudah memasuki periode kedua menjadi Presiden) mengatakan, demokrasi adalah mendengar suara rakyat. “Demokrasi menurut kami adalah mendengar suara rakyat dan melaksanakannya,” kata Jokowi.
Pernyataan Presiden Jokowi ini juga tentu berlaku bagi wakil rakyat Manggarai Timur terhormat. DPRD Matim adalah bagian dari Trias-Politica dan untuk melaksanakan fungsi pengawasan dalam demokrasi. Artinya, kebijakan eksekutif perlu juga dikritisi wakil rakyat. Demikian halnya dengan kebijakan pembangunan pabrik semen di Luwuk dan Lengko Lolek.
DPRD Matim harus memiliki suara kelembagaan secara politik untuk menanggapi berbagai pro-kontra di tengah masyarakat. Polemik terkait pabrik semen dan tambang batu gamping ini sedemikian kencang di media sosial dan media arus utama.
Tetapi wakil rakyat Matim tak menanggapi suara-suara itu. DPRD seharusnya menangkap aspirasi di ruang publik dan membuat keputusan politik untuk memberikan masukan kepada bupati. Kenyataannya, para wakil rakyat daerah Manggarai Timur tidak serius menanggapi isu tersebut dan membiarkan rakyat berjuang sendirian.
Demokrasi adalah kekuasaan (kratos) dari rakyat (demos). Kekuasaan itu hadir untuk rakyat. Dalam model demokrasi perwakilan seperti sekarang, rakyat tidak bisa mewakili dirinya sendiri, tetapi diwakili oleh wakil rakyat atau Dewan Perwakilan Rakyat.
Kekuasaan DPRD Matim dari rakyat, bukan dari Tuhan atau bupati. Maka, aspirasi masyarakat di ruang publik entah pro atau kontra tambang dan pabrik semen, perlu disikapi secara kelembagaan oleh DPRD.
Sebelum mengambil kebijakan, 30 anggota DPRD Matim perlu memahami apa dampak tambang bagi kehidupan, bagi lingkungan hidup dan bagi kebudayaan Kampung Lengko Lolok dan Luwuk. Namun, DPRD Matim tak bersuara apa-apa soal pabrik semen.
Komitmen para pemimpin terhadap isu lingkungan hidup masih sangat minim. Kondisi ini tampak melalui kajian yang dilakukan oleh Walhi pada kontes pemilu 2014 silam.
Hasil kajian itu memperlihatkan kurang lebih dari 7% calon anggota legislatif tidak memiliki komitmen terhadap isu lingkungan hidup. Anggota legislatif harus peduli dan mengerti persoalan lingkungan, karena kebijakan yang diambil dalam konteks sumber daya alam sangat bergantung pada produk perundangan yang mereka hasilkan (Baca : Aji. W, 21 Maret 2014, “Hanya 7 % Calon Anggota Legislatif DPR-RI Paham Isu Lingkungan”, Mongabay.co.id).
Masalah pertambangan, alih fungsi hutan dan lahan produktif, erat kaitannya dengan undang-undang dan peraturan yang dibuat dan disahkan oleh legislatif dengan sokongan eksekutif. Strategisnya posisi dan peran legislatif dan eksekutif menyebabkan kedua lembaga negara ini rawan untuk disalahgunakan.
Hal ini bisa dilihat dari maraknya korupsi, kolusi dan nepotisme di kalangan legislatif dan eksekutif. Banyak praktik politik transaksional, seperti ijon tambang yang menjerat beberapa kalangan eksekutif dan legislative di pusat maupun daerah, termasuk di Manggaai Timur.
Matinya Oposisi Daerah
DPRD Manggarai Timur bungkam terkait rencana pembangunan pabrik semen dan tambang batu gamping oleh pemerintah provinsi NTT dan Pemerintah Daerah Manggarai Timur.
DPRD seolah tak memiliki sikap politik terkait rencana Pembangunan Pabrik di Luwuk dan Lengko Lolok. Padahal, terdapat 30 orang wakil rakyat dari berbagai Partai Politik di Matim.
Untuk lima anggota DPRD Matim dari Partai Amanat Nasional mungkin masuk akal jika tak bersuara, karena mereka wajib secara politik mendukung kebijakan politik bupati yang juga berasal dari partai besutan Amien Rais itu.
Namun, bagaimana dengan partai-partai lain yang selama kepemimpinan bupati sebelumnya bersuara kencang. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) tenggelam di tengah kesibukan bupati Andreas Agas mengajak warga Lengko Lolok dan Luwuk untuk mendukung pembangun pabrik. Begitupun partai-partai lain seperti Hanura dan Nasional Demokrat. Semuanya terpenjara dalam jebakan perusahaan tambang.
Saya berkesimpulan, seharusnya mereka tak layak menjadi wakil rakyat. Hanya mungkin takdir dan nasib yang membawa mereka ke gedung DPRD Matim.