(Perlunya Pandangan Perempuan Terkait Rencana Pertambangan dan Pembangunan Pabrik Semen di Manggarai Timur)
Oleh: Ermelina Singereta*
Masalah pembangunan dan lingkungan menjadi salah satu isu yang menempati posisi sentral khususnya dalam wacana politik daerah, nasional maupun global.
Permasalahan ini akan terus muncul dan terkadang tidak hanya menyangkut hukum dan politik, tetapi juga berkaitan dengan budaya dan kemanusiaan. Lebih jauh masalah lingkungan berkaitan erat dengan posisi perempuan dalam masyarakat.
Perempuan dan Kontribusinya dalam Pembangunan
Pembangunan ibarat pedang bermata dua karena memberikan dampak positif sekaligus negatif bagi perempuan.
Sebagai warga negara tentu perempuan juga memiliki kewajiban untuk berkontribusi dalam pembangunan guna terciptanya pembangunan adil gender di suatu negara sebagaimana yang diatur dalam Convention on Elimination of All Forms of Discrimination Againts Women (CEDAW).
CEDAW mengatur tentang perlunya keterlibatan perempuan dalam semua kebijakan yang diambil. Dalam konteks pembangunan, perempuan memiliki hak yang sama untuk memberikan pandangan terkait dengan pembangunan yang berperspektif serta beradab. Apalagi jika pembangunan tersebut berhubungan langsung dengan kehidupan perempuan.
Hal ini penting diperhatikan demi mengurangi risiko munculnya berbagai bentuk kekerasan yang sering terjadi pada perempuan, baik itu kekerasan dalam rumah tangga (privat) maupun kekerasan perempuan pada ruang publik.
Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28A mengatur tentang setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.
Pasal 28 1 ayat (2) setiap oarang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu (kedua Pasal ini menunjukan adanya perlakuan yang sama antara perempuan dan laki-laki).
Ayat (3) berbunyi: Identitas budaya dan masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban. Ayat ini menunjukan seharusnya ada penghormatan terhadap budaya dan masyarakat tradisional di mana perempuan menjadi bagian dari masyarakat tersebut.
Pembangunan dan Perubahan Sosial
Akhir-akhir ini berbagai media di Nusa Tenggara Timur (NTT) baik media massa maupun media sosial sangat aktif menyampaikan pemberitaan, diskusi, dan wacana terkait dengan rencana pembukaan pertambangan dan pembangunan pabrik semen oleh PT. Istindo Mitra Manggarai (IMM) dan PT. Singa Merah NTT.
Pabrik ini akan dibangun di Kampung Lingko Lolok dan Kampung Luwuk Desa Satar Panda, Kecamatan Lambaleda, Kabupaten Manggarai Timur, NTT.
Dalam perkembangannya, rencana ini menuai polemik lantaran banya pihak yang tidak setuju.
Penolakan warga setempat tidak terlepas dari rasa kepemilikan atas tanah yang merupakan tanah warisan nenek moyang, tanah sebagai tempat untuk berladang, tanah yang menghasilkan berbagai kebutuhan untuk menyambung hidup. Namun terlepas dari itu semua, tanah juga adalah identitas diri mereka sebagai orang Manggarai.
Di sisi lain, pembangunan pabrik dilihat dari kaca mata berbeda oleh pemangku kebijakan. Mereka beranggapan di balik pembangunan tersebut akan terjadi perubahan ekonomi masyarakat.
Terlepas dari pro-kontra tersebut, pembangunan sejatinya tidak boleh mencederai budaya yang sudah melekat dalam kehidupan masyarakat, adat yang sudah ada sejak turun temurun.
Pembangunan dan Dampaknya bagi Perempuan
Rencana pertambangan batu gamping dan pabrik semen, tentu akan berdampak buruk bagi masyarakat setempat, khususnya bagi perempuan, di mana dalam konteks NTT, tanah bukan sekadar materi, tetapi juga “Kehidupan”.
Tanah adalah ibu yang melahirkan air, udara, tumbuh-tumbuhan sehingga perempuan dapat bekerja, mencari makan dan membesarkan generasi. Singkat kata, tanah sangat vital perannya bagi perempuan.
Saat tanah dikelola dengan pertanian yang baik, maka hasilnya dapat memenuhi kebutuhan pangan serta menyekolahkan anak-anak ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Dalam konteks ini, perempuan memiliki akses yang besar dalam mengelola tanah karena setiap hari mereka menunjukan eksistensinya lewat kerja.
Dengan adanya rencana penambangan dan pembangunan pabrik semen, maka secara otomatis perempuan menjadi kelompok rentan yang akan kehilangan pekerjaan, kehilangan akses atas tanah dan kehilangan ruang untuk berekspresi.
Bahkan kehadiran tambang juga berdampak pada kematian anak. JATAM mencatat, ada 140 orang yang didominasi anak-anak menjadi korban lubang tambang selama 2014-2018.
Lubang bekas tambang yang belum direklamasi memakan korban di 12 provinsi dengan jumlah terbanyak ada di Bangka Belitung dengan 57 orang disusul Kalimantan Timur 32 orang.
Selain itu, dengan hadirnya pertambangan, tanah yang sebelumnya menjadi lahan pertanian berubah fungsi menjadi lahan pertambangan.
Satu-satunya pilihan untuk menopang ekonomi keluarga adalah bekerja menjadi buruh di perusahaan tambang dan pabrik semen. Pada beberapa kasus, perempuan bahkan kehilangan mata pencaharian akibat pertambangan.
Di NTB misalnya, menurut laporan Oxam, kegiatan pertambangan Newmont Nusa Tenggara di Sumbawa melarang produksi gula aren, aktivitas ekonomi yang biasanya dijalankan oleh kaum perempuan. Hal ini mengakibatkan hilangnya pemasukan sekitar Rp. 20.000,- per hari.
Pertambangan batubara di Kalimantan Selatan juga menutup kemungkinan kaum perempuan untuk memperoleh pendapatan dari perkebunan karet.
Sementara di NTT, dampak pertambangan menimpa keluarga Mama Aleta Baun, perempuan asal Molo, TTS, sejak 1996. Dia menjadi ‘musuh’ perusahaan maupun pemerintah daerah, saat itu. Nyawanya terancam. Bersyukur, dia selamat dari usaha percobaan pembunuhan.
Mama Aleta lari menyembunyikan diri di dalam hutan bersama sang bayi. Warga lain yang terus berjuang ditahan dan dipukuli. Namun, mereka tetap gigih berjuang. Mama Aleta tetap mengorganisir ratusan warga desa aksi damai, menduduki tempat-tempat penambangan marmer.
Berkat perjuangan gigih itu, pada 2007, Mama Aleta dan warga berhasil menghentikan perusakan tanah hutan sakral di Gunung Mutis. Perusahaan-perusahaan tambang itupun hengkang.
Di sinilah awal petaka yang bakal menimpa perempuan (untuk lebih jelasnya lihat tulisan saya tentang: Posisi Perempuan dan Rencana Pertambangan di Manggarai Barat, Flores– NTT, bisa diakses pada ermelinasingereta.blogspot.com).
Akibat lainnya, ketika perempuan kehilangan akses terhadap tanah atau hutan yang menjadi lahan berkebun/bertani, maka akan muncul ketergantungan ekonomi kepada pihak lain (suami, saudara, dan orang tua).
Perempuan pun kehilangan posisi tawar dan dalam berbagai kasus bisa menyebabkan terjadinya Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Dengan kata lain, kekerasan terhadap perempuan akan meningkat seiring dengan hilangnya lahan mereka.
Selain itu, akan muncul kekerasan horizontal karena berangkat dari kasus-kasus sebelumnya, terjadi intimidasi dan kekerasan yang sangat rentan terhadap kaum ibu.
Maka untuk tercapainya pembangunan adil gender (berperspektif terhadap perempuan), sangat baik rencana pembangunan tersebut melibatkan dan meminta pandangan perempuan sebagai subyek dari pembangunan. Perempuan harus diberi akses yang sama untuk berdiskusi terkait kebijakan yang diputuskan.
Pertanyaannya, sudahkah kedua perusahaan dan para pengambil kebijakan melakukan diskusi dengan perempuan?
Penulis sangat yakin belum dilakukan. Apalagi dalam konteks budaya NTT, perempuan biasanya tidak dilibatkan dalam mengambil keputusan. Perempuan hanyalah penonton, pendengar yang baik dan siap menerima keputusan yang sudah diambil.
Kalau itu yang terjadi, di mana keadilan bagi perempuan dalam konteks rencana dibukanya pertambangan dan pembangunan Pabrik Semen tersebut?
Prinsipnya, pembangunan harus kembali kepada mimpi bersama. Mimpi tentang tanah sebagai ruang ekspresi perempuan, mimpi bahwa tanah adalah rahim seorang ibu yang memberikan penghidupan bagi manusia, mimpi bahwa tanah adalah identitas leluhur, dan mimpi bahwa tanah adalah tentang asal usul kehidupan.
*Penulis adalah Advokat Publik (Dike Nomia Law Firm dan Dike Nomia Institute), Mahasiswa Pasca Sarjana, Magister Hukum Universitas Jayabaya, Jakarta