Borong, Vox NTT- Dua kader Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Kabupaten Manggarai Timur berbeda haluan soal rencana pendirian pabrik semen di Luwuk dan Lingko Lolok, Desa Satar Punda, Kecamatan Lamba Leda.
Keduanya masing-masing, Ketua DPC PKB Manggarai Timur Yohanes Rumat dan anggotanya Laurensius Bonaventura Burhanto.
Yohanes Rumat sendiri saat ini sebagai Anggota DPRD Provinsi NTT dari Dapil IV (Manggarai, Manggarai Barat dan Manggarai Timur). Sedangkan Laurensius Bonaventura Burhanto adalah Anggota DPRD Manggarai Timur dari Dapil III (Kecamatan Lamba Leda).
Perbedaan haluan keduanya ditandai dengan pandangan berbeda atas rencana hadirnya pabrik semen yang akan dikelola oleh PT Singa Merah NTT dan PT Istindo Mitra Manggarai.
Yohanes Rumat menyatakan tidak setuju kehadiran pabrik semen yang akan menambang batu gamping di atas lahan seluas 599 hektare milik warga Lingko Lolok itu.
“Secara pribadi saya sebagai masyarakat Manggarai Timur masuk dalam kelompok yang menolak,” ujar Rumat saat dihubungi VoxNtt.com melalui pesan WhatsApp, Jumat (15/05/2020) lalu.
Penolakan Rumat punya alasan tersendiri, yakni demi menghindari vandalisme alam. Penolakannya juga dengan alasan demi menghindari mimpi angin surga atau janji terhadap kehidupan masyarakat lokal di sekitar tambang.
Ia bahkan menilai kehadiran pabrik semen dapat memicu terjadinya perubahan budaya yang tidak menentu untuk anak cucu ke depan.
“Yang biasa jadi petani atau peternak, tetapi karena lahan sudah tidak ada dan investor sudah pulang kampung atau Negaranya, kita terima risiko lahan rusak dan tidak produktif,” ujar Anggota DPRD Provinsi NTT dua periode itu.
Meski demikian, Rumat menyatakan, PKB tidak perlu pasang badan untuk menolak pembangunan pabrik semen di Luwuk dan Lingko Lolok.
Yang paling penting papar dia memahami aturan, situasi lokal, membaca lebih jauh manfaat yang diperoleh sekarang dan manfaat untuk masa depan generasi.
Ia menambahkan, hal yang penting yakni belajar lebih banyak terhadap kehidupan masyarakat di sekitar tambang baik dalam skala global, nasional, maupun lokal.
“Yang didapat adalah mereka dapat polusi air, polusi udara, polusi kebisingan, tanah lokasi tambang ancur-ancuran sampai keperutnya, dan hampir pasti jarang pemilik tambang pulihkan kembali keberadaan alam atau lokasi tambang,” urai Rumat.
Baca: Timbang Untung dan Buntung Pabrik Semen
“Kalapun ada diperjanjian sebelum digali atau dikerjakan maka yang patut atau perlu dicurigai adalah kewajiban tambang untuk normalkan kembali itu alam lewat sejumlah uang, lalu uang itu digunakan atau oleh yang mengatur ini dianggap uang rezeki, terserah uang ini dipakai untuk apa, terserah yang mengatur,” tambahnya.
Meski demikian sikap Ketua DPC-nya, namun
Laurensius Bonaventura Burhanto memilih haluan lain.
Bona sepertinya memberi “sinyal kuat” untuk mendukung pabrik semen.
Ia mengatakan kebijakan pemerintah untuk menghadirkan pabrik semen dan usaha pertambangan batu gamping sebagai bahan baku perlu diapresiasi oleh masyarakat Matim.
Menurut dia, hal tersebut dikarenakan kebijakan yang diambil tidak bertentangan dengan ketentuan aturan perundang-undangan.
“Langkah ini diambil sebagai reaksi pemerintah untuk mengatasi kebutuhan dan menciptakan iklim usaha ekonomi, serta menciptakan lapangan kerja, dan lain-lain,” kata Bona Kepada VoxNtt.com, Minggu (10/05) malam lalu.
Dikatakannya, dalam konteks kebijakan maka harus dikawal, juga mencermati dari aspek hukum/regulasi yakni Undang-undang Nomor 4 tahun 2009 dan UU nomor 23 tahun 2014.
“Aspek ekonomi (UKM untuk masyarakat), harga tanah harus berdasarkan harga pasar dan bukan berdasarkan harga NJOP daerah, aspek sosial dan budaya, relokasi kampung harus sesuai kesepakatan bersama,” jelasnya.
Ia mengatakan dari kajian aspek lingkungan hidup, uji Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) harus dilakukan secara profesional.
Bona menambahan, dari aspek sosial atau tanggung jawab sosial, yakni dengan memberikan kontribusi untuk pembangun infrastruktur jalan, pendidikan gratis dan pelatihan tenaga kerja.
Diakuinya banyak yang bertanya mengapa DPRD Matim belum mengambil sikap terkait polemik yang ada.
Ia menjelaskan berdasarkan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang pemerintahan daerah, terkait urusan kewenangan pertambangan minerba, kewenangan DPRD tidak diatur.
Sehingga kata dia, mempengaruhi fungsi legislasi, anggaran, juga pengawasan DPRD tidak berjalan.
“Tetapi karena masalah pabrik/tambang bergeser ke masalah publik maka dengan demikian fungsi pengawasan kami harus dijalankan karena berada dalam wilayah politik di daerah,” ucapnya.
Hal ini ungkap Bona, dalam konteks memberikan saran dan usul kepada pemerintah di daerah khusus berkaitan proses kesepakatan, harus memenuhi rasa keadilan dan kesejahteraan masyarakat di daerah tambang dan tidak menjadi obyek penderita oleh kaum korporasi.
Saat ditanya terkait rumor yang beredar bahwa Bupati Manggarai Timur (Matim) Agas Andreas dan DPRD sempat melakukan rapat terkait pro kontra pabrik semen, Bona mengaku tidak mengetahuinya.
“Sedikit terganggu karena Covid. Kalaupun ada diskusi internal antara Bupati dan pimpinan DPRD itu saya tidak tahu,” ucapnya.
“Tetap harus dikawal oleh teman-teman media agar bisa menghasilkan rasa keadilan buat masyarakat dan mungkin dalam waktu dekat kami turun ke lokasi,” tambahnya.
Penulis: Sandy Hayon
Editor: Ardy Abba