Ruteng, Vox NTT– Hidup terlunta-lunta masih akrab menemani hari-hari wanita paruh baya itu. Ia terus bergelut dengan kondisi miris kemiskinan. Kesedihan akibat banyak kekurangan terus menggempur kisah hidupnya.
Ibu Petronela, begitu para tetangga akrab menyapanya. Ia adalah warga RT 003, RW 006, Dusun Nangka (Anam), Desa Bulan, Kecamatan Ruteng, Kabupaten Manggarai, NTT.
VoxNtt.com menyambangi kediamannya, Selasa (26/05/2020) lalu. Senja hampir tiba, Ibu Petronela ternyata ramah dan langsung mempersilakan masuk ke rumahnya.
Baca Juga: Anas Undik, Janda yang Bertahan Hidup di Tengah Gempuran Kemiskinan
Ironisnya, gempuran kemiskinan yang boleh dialami pemilik nama lengkap Petronela Banut itu tidak mampu berbagi dengan orang lain. Selama berkelana kehidupan, duka dan lara terpaksa harus dipikulnya seorang diri.
Bagaimana tidak, ia hidup sebatang kara dalam rumah itu. Ia tidak menikah. Ia memang lahir dan besar di kampung itu (Anam).
Namun, sejak lama kedua orangtuanya sudah meninggal.
Kehidupan keluarga mulai susah sejak ayahnya meninggal dunia saat mereka masih kecil.
Hanya ibu mereka yang menjadi tulang punggung keluarga. Sehingga kehidupan keluarga itu seakan pincang.
Ibundanya meninggal sejak 2010 lalu. Sejak saat itu, ia tinggal seorang diri.
Baca Juga: Kisah Haru Lansia Penerima BLT di Matim: Tak Pernah Terima Bantuan, hingga Alami Penyakit Kronis
Ia memang memiliki tiga saudara laki-laki. Ketiganya masing-masing tinggal di kecamatan Reok. Satu di Kupang. Sedangkan satu orang lainnya tinggal di Kampung Anam.
Ibu Petronela tinggal sendiri karena saudara lainnya sudah berkeluarga.
Untuk menopang kehidupannya, ia hanya berharap pada upah menjadi buruh lepas di lahan milik orang lain.
Kalau musim jambu, terkadang Ibu Petronela juga menjual jambu tersebut untuk bisa membeli beras.
Tak jarang juga ia tidak makan selama sehari, apalagi selama pandemi Covid-19 ini.
Baca Juga: Nasib Nenek Lusia dalam Pusaran Misi Kemanusian Arsy
Ia tidak lagi bekerja seperti biasanya, karena hampir semua orang mengikuti imbauan pemerintah untuk jaga jarak.
Tidak ada lagi yang memintanya untuk bekerja. Begitupun penghasilannya.
Untuk bertahan hidup, ia sering menumpang makan di rumah saudaranya yang jaraknya juga tak jauh dari rumah Ibu Petronela.
Mirisnya lagi rumah yang ditempati Ibu Petronela sudah sangat reyot.
Rumahnya berukuran 4×4 Meter persegi. Dindingnya terbuat dari pelepuh bambu dan lantai tanah.
Atapnya memang terbuat dari seng, tetapi karena sudah lama tampak mulai berkarat dan keropos.
Hanya perabot rumah tangga seadannya yang ada dalam gubuk itu. Tidak ada lemari, tempat tidur, rak piring maupun perlengkapan lainnya.
Kalau malam ia tidur hanya beralaskan kasur yang sudah usang. Petronela mengaku kedinginan kalau malam. Itu karena tiupan angin masuk melalui dinding rumah yang banyak lubang.
Bahkan, ketika malam hari rumahnya hanya diterangi lampu pelita. Di kampung itu memang sudah lama masuk listrik (PLN).
Namun karena tidak ada uang untuk membeli lampu dan tak mampu untuk membayar listrik setiap bulan, sehingga Ibu Petronela memilih untuk tidak memakainya.
Rumah reyot itu menjadi saksi bisu penderitaan yang dialami oleh Ibu Petronela di tengah gempuran kemiskinan yang selalu menghantuinya.
Tak jarang ia merasa sedih saat melihat warga sekampungnya hidup bahagia, tinggal di rumah yang layak dan bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari.
“Neho ata porong kat lami mose dia data hae. Bo ata do ga dia taung mosed, mose daku hoo ga sengasara daat. Apa keta salah daku e mori!” ungkapnya dalam bahasa daerah Manggarai kepada VoxNtt.com sambil meneteskan air mata.
(Kami hanya menonton saja orang lain yang hidup serba kecukupan. Orang lain hidup serba kecukupan, sementara saya ini sangat menderita. Saya salah apa Tuhan!)
Ibu Petronela mengaku sangat jarang merasakan kebahagiaan dalam hidupnya. Ia hidup dalam serba kekurangan.
Sejak lama ia bermimpi untuk tinggal di rumah yang layak huni. Namun karena keterbatasan ekonominya, sehingga mimpi itu seakan jauh dari kenyataan hidupnya.
Jangankan untuk bangun rumah, untuk makan setiap harinya saja sangat susah bagi Ibu Petronela.
Bagaimana tidak, ia tidak memiliki kebun untuk digarap. Untuk bertahan hidup, Ibu Petronela hanya menjadi buruh di lahan milik warga kampung itu.
“Toe manga uma e pak, ina eme manga uma bo ga toe manga harap laku bantuan de pemerintah situ,” katanya.
(Saya tidak punya kebun pak, karena kalau ada kebun sendiri yang pasti saya tidak lagi mengharapkan bantuan pemerintah)
Penghasilannya tak seberapa. Apalagi usianya semakin menua, sehingga semangat untuk bekerja tak lagi seperti ia masih muda dulu.
Beruntung, ia memiliki satu saudara laki-laki di kampung itu. Jarak dari rumahnya juga tak jauh.
Namun hal itu tidak bisa ia lakukan setiap saat. Sebab kehidupan saudaranya juga tidak jauh beda dengan kisah Ibu Petronela.
“Kerja harian data kanang daku ngance mose leso-leso. Biar beti weki tong terpaksa haru ngo kerja kin. Toe tara benta kole le morin, toe dian kole bunuh diri. Itu tara tereng kat laku sengasara hoo ga sampi cepisa kaut,” katanya.
(Saya hanya bekerja sebagai buruh di lahan orang untuk bisa bertahan hidup. Biarpun saat sakit juga terpaksa saya harus tetap berkerja. Tuhan juga tak kunjung panggil, tidak baik juga kalau bunuh diri. Itu makanya saya terima saja penderitaan ini sampai kapanpun)
Tidak Pernah Dapat Bantuan dari Pemerintah
Penderitaan yang dialami Ibu Petronela bertahun-tahun, sepertinya belum ada yang tergerak hati untuk membantunya termasuk pemerintah.
Di tengah pemerintah meluncurkan banyak program untuk membantu masyarakat kurang mampu, baik pemerintah pusat, provinsi, kabupaten maupun desa, Ibu Petronela hanya menjadi penonton.
Ia hanya pasrah berdiam diri saat warga sekampungnya mendapatkan bantuan pemerintah.
Ia mengaku sering difoto maupaun didata namanya oleh pemerintah desa. Namun seiring perjalanan waktu bantuan itu tak kunjung datang.
“Ai tu’a umur aku ga, toe ngoeng pande adong. Toe keta manga pernah dapat bantuan one mai pemerintah situ,” katanya.
(Saya sudah tua, tidak mungkin saya berbohong. Saya tidak pernah mendapatkan bantuan apapun dari pemerintah).
Bahkan, di tengah pandemi Covid-19 ia juga tidak menjadi penerima Bantuan Sosial Tunai (BST) dari Kemenetrian Sosial.
Sebab itu, ia sangat berharap bantuan dari pemerintah untuk bisa meringankan penderitaam hidupnya.
“Aku hoo anak terlantar. Aku toe manga ata piara. Aku anak yatim piatu. Sehingga neho nia kat mose dami one lino hoo ami menerima dengan kenyataan. Tapi tegi daku agu ema pemerintah cala ngance pande warna cekoen mose sengsara daku hoo,” ujarnya.
(Saya ini anak terlantar. Tidak ada yang menafkai saya. Saya anak yatim piatu. Sehingga bagaimanapun kehidupan di dunia ini terpaksa saya menerima kenyataan. Saya memohon kepada pemerintah, mungkin bisa memperbaiki kehidupan saya yang serba menderita ini)
Pejabat Sementara (Pjs) Kepala Desa Bulan Ferdinandus Ade mengakui hal itu.
Pjs. Ferdinandus yang baru dilantik pada Oktober 2019 lalu itu mengatakan, Ibu Petronela tidak pernah mendapatkan bantuan apapun, termasuk bantuan rumah layak huni.
Sebab, dalam aturannya jelas dia, bantuan rumah dari pemerintah desa hanya bersifat stimulan. Jumlah anggarannya pun terbatas.
Sehingga untuk masyarakat penerima bantuan rumah harus menyiapkan modal sendiri juga.
Ia mengaku pernah menawarkan bantuan rumah kepada Ibu Petronela. Namun karena ia tidak memiliki modal untuk menyelesaikan bangunan rumah, sehingga dialihkan kepada masyarakat lain.
“Terkait bantuan lainnya memang tidak ada,” ungkapnya kepada VoxNtt.com di Kantor Desa Bulan, Kamis (28/05/2020).
Untuk bantuan sosial tunai (BST) dari Kementrian Sosial di tengah pandemi Covid-19, ia mengaku Ibu Petronela juga tidak mendapatkannya.
Sementara di lain sisi, ada beberapa pengarangkat desa yang mendapatkan BST tersebut.
Kendati nama penerimanya atas nama istri beberapa perangkat desa tersebut, termasuk istri ketua BPD, bahkan istri pensiunan PNS.
Namun, Pjs. Ferdinandus memastikan nama Ibu Petronela ter-cover dalam data penerima Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang bersumber dari dana desa.
Untuk Desa Bulan jelas dia, sebanyak 147 Kepala Keluarga yang akan mendapatkan BLT Desa, dan 180 KK penerima BST dari Kementrian Sosial yang akan diterima setiap bulan sampai batas yang ditentukan.
“Dia (Ibu Petronela) nanti masuk ke dalam daftar penerima BLT dari Dana Desa,” katanya.
Penulis: Pepy Kurniawan
Editor: Ardy Abba