Maumere, Vox NTT- “Kalau tidak begini lalu mau bagaimana lagi?” ucap Eus De Verno lirih pada suatu siang di tengah pandemi Covid-19.
Siang itu, VoxNtt.com sengaja datang ke rumahnya di Selodu’e, Desa Habi, Kecamatan Kangae, Kabupaten Sikka setelah melihat postingan di dinding akun facebook pribadinya.
Ia berjualan masker jahitannya sendiri. Harganya murah. Jahitannya rapi, kuat dan tetap modis bila dipandang. Bahkan ada beberapa masker edisi khusus yang didesain dengan tambahan ornamen.
Baca Juga: Anas Undik, Janda yang Bertahan Hidup di Tengah Gempuran Kemiskinan
“Bahan lapisan khusus untuk masker habis di Maumere, jadi saya pakai bahan alternatif tetapi dijahit dua lapis sehingga bagian tengahnya bisa disisipin tisu. Saya jual murah untuk saling bantu dalam situasi begini,” ungkapnya.
Untuk eceran masker dijual seharga Rp 8.000 per lembar. Sementara untuk grosiran ia jual seharga Rp 5.000 per tiap maskernya.
Harga ini jauh lebih murah dibanding harga masker jahitan di Maumere yang berkisar antara Rp 10.000 sampai Rp 15.000.
Dia menjahitnya sendiri dengan bantuan sang istri, Sisilia. Begitulah kesibukan Eus di tengah pandemik Covid-19
Ia gunakan mesin jahit tua milik ibunya. “Saya belajar jahit dari kecil, barang ini Mama punya sudah ada di sini sejak saya kecil jadi saya belajar jahit. Ternyata pas corona begini ada gunanya juga,” ungkapnya sambil tertawa.
Awalnya, ia belajar menjahit penghapus untuk kelas saat masih SMP. Belakangan, berbekal nonton youtube, ia bisa menjahit sendiri pakaian putri kecilnya, bahkan seragam anggota paduan suara.
Ojek dan Tambal Ban
Pemilik nama lengkap Elias Salveus De Verno ini merupakan guru honorer pada salah satu sekolah swasta di pinggiran kota Maumere, Sikka. Kurang lebih sudah tujuh tahun Ia menjadi guru Bahasa Indonesia.
Dari dulu ia memang ingin jadi guru mengikuti jejak almarhum ayah dan tanta yang bekerja di dunia pendidikan.
Pasca lulus dari dari Universitas Muhamadyah Kupang tahun 2011 lalu, ia langsung mencari-cari sekolah yang bisa memberikan ruang untuknya mengabdi.
Sayangnya, honor yang diterima setiap bulan tak seberapa. Ia berusaha maklum dengan kondisi keuangan sekolah. Hanya saja, kebutuhan hidup tak bisa dilawan.
Baca Juga: Nasib Nenek Lusia dalam Pusaran Misi Kemanusian Arsy
Agar bisa memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga kecilnya, ayah satu anak ini harus tetap bekerja sepulang sekolah.
Ia pernah menjadi tukang tambal ban. Berbekal kompresor dan peralatan yang dipinjam dari sang kakak, ia membuka tempat tambal ban tak jauh dari rumahnya.
Setelah sang kakak kembali membuka bengkel motor, Eus banting stir jadi tukang ojek, profesi yang ia tekuni sejak zaman kuliah.
Baca Juga: Ketulusan Ene Ester: 20 Tahun Merawat Putranya dalam Pasungan
“Kerja apa saja intinya kita selalu berdoa dan berusaha serta tidak merampas hak orang lain,” katanya.
Di mata beberapa teman, baik guru atau pun teman-teman di sekitar tempat tinggalnya, Eus sebenarnya bisa dibilang guru plus.
Ia tak hanya bisa mengajar Bahasa Indonesia. Ia piawai bermain keyboard dan beberapa alat musik. Urusan paduan suara adalah makan minumnya. Selain itu, bakat seni membuatnya sangat kreatif.
Dalam situasi pandemi, tak mungkin baginya membuka tambal ban atau pun menjual jasa ojek. Maka ia pun banting stir jadi penjahit masker.
Kecewa
Meski menjahit masker, tak berarti Eus meninggalkan pekerjaannya sebagai guru. Ia akui agak sulit baginya untuk memberikan bimbingan online kepada para murid.
“Tidak sampai 50 persen murid di sekolah kami gunakan android atau punya handphone,” terangnya.
Baca Juga: Hidup Sebatang Kara, Petronela Luput dari Perhatian Pemerintah
Ia dan guru-guru lainnya sudah memberikan tugas sebelum aktivitas sekolah diistirahatkan.
Anak-anak diminta belajar di rumah dari buku pegangan dan mengerjakan tugas, serta ulangan yang ada dalam buku pegangan.
Ada beberapa murid tertentu yang memerlukan pengawasan lebih akan didatangi langsung di rumah masing-masing.
Bila pandemi sudah berlalu dan situasi kembali normal, ia akan kembali mengajar.
“Tidak ada rencana untuk berhenti mengajar bro,” tegas pria 30-an tahun tersebut.
Meski demikian, ia mengaku kecewa. Menurutnya, pemerintah, baik itu pemerintah RI maupun pemerintah daerah tak serius mengurusi nasib guru honor.
Menurutnya, banyak guru honorer diupah di bawah UMR, tetapi pemerintah tak bisa berbuat banyak. Padahal, menurutnya, pendidikan adalah kunci kemajuan bangsa.
“Bagaimana Negara mau maju kalau kesejahteraan guru tidak diperhatikan. Tidak bisa pakai klasifikasi sekolah swasta atau negeri sebab guru honorer yang bersangkutan juga mengajar anak-anak bangsa Indonesia,” tegas Eus.
Ada upaya pemerintah daerah untuk membantu, namun malah semakin menyakitkan. Di Sikka memang ada insentif untuk guru honor dari Pemda Sikka yang besarannya Rp 600.000 per bulan. Menjadi soal adalah tidak semua bisa menikmati dan menurut Eus tak adil.
Pasalnya ada guru honor yang baru baru 1-2 tahun mengajar diberi insentif sementara dirinya yang sudah 7 tahun lebih mengajar malah tak dapat insentif.
Di saat yang bersamaan, pendapatan pejabat seperti DPRD bahkan perangkat desa terus meningkat.
“Ini hanya curhat saja nong. Sudah lama saya mau sampaikan ini. Jadi nong tolong tulis. Saya hanya sampaikan saja, kalau mereka perhatikan yah syukur kalau tidak maka kami tetap harus bekerja dan terus berdoa barangkali suatu saat ada jalan,” tegasnya.
Eus hanya berharap negara bisa lebih memperhatikan nasibnya dan teman-teman guru honorer lainnya.
Penulis: Are De Peskim
Editor: Ardy Abba