Oleh: Irfan Bau
Mahasiswa STFK Ledalero
Hakikat teknologi yang memberikan solusi atas masalah hidup, ternyata memberikan persoalan-persoalan humanisme. Persoalan-persoalan humanisme yang dimaksudkan adalah realitas ketidakberhinggaan manusia dan chaos (kekacauan) identitas.
Seiring dengan bertumbuh dan berkembangnya teknologi, salah satu aplikasi yang saat ini sedang ‘naik daun’ adalah aplikasi edit foto atau FaceApp.
Aplikasi edit foto atau FaceApp merupakan aplikasi edit foto berbasis Al (Artificial Intelligence) yang dikembangkan oleh perusahaan Rusia.
Bertumbuh dan berkembangnya aplikasi ini ditandai dengan ramainya ‘oplas challenge’ yang diikuti banyak kalangan terutama netizen.
Oplas Challenge merupakan tantangan menggunakan efek operasi plastik yang ada di aplikasi FaceApp. Melalui aplikasi ini pengguna bisa mengubah pipi menjadi tirus, hidung menjadi mancung, hingga alis tebal serta filter makeup, sehingga wajah yang tampak sangat berbeda dengan aslinya, atau pun sebaliknya.
Kelebihan dari aplikasi inilah yang membuat banyak orang untuk meramaikan dengan tegar Oplas Challenge (Loudia 01/06/2020).
Banyak nitizen saat ini terjerat dengan penggunaan aplikasi FaceApp. Pasalnya aplikasi FaceApp ternyata bisa meyimpan bahkan menjual foto pengguna untuk tujuan komersial meski foto tersebut sudah dihapus, pencurian data dan penargetan iklan (http://galuh.id/bahaya-aplikasi-faceapp-yang-kembali-naik-daun-lewat-oplas-challenge/ diakses pada Kamis, 04/06/2020).
Saat ini, aplikasi FaceApp telah memengaruhi pelbagai kehidupan manusia. Penempatan manusia pada objek membawa implikasi yang tidak sedikit pada sikap dan pengakuan manusia modern terhadap identitas dirinya sebagai makhluk yang bermartabat.
Jelas melalui aplikasi FaceApp wajah seseorang dikonstruksikan sehingga membuat posisi harkat dan martabat manusia sebagai identitas secara universal menjadi rendah. Ini menyebabkan tergerusnya humanisme dewasa ini (Sihotang 2008: 28). Apa yang dibutuhkan untuk mengatasi persoalan kemanusiaan yang memprihatinkan ini?
Dalam menghadapi persoalan humanisme seperti ini, Sihotang memberikan upaya yakni “penyadaran” (conscientiztion). Ia meminjam terminologi Paulo Fiere (1921-1997), yang dimaksudkan di sini adalah menyediakan pandangan dan kajian yang memadai tentang hakikat manusia.
Pandangan dan kajian yang memadai itu timbul kesadaran untuk menghargai nilai-nilai kemanusian. Selain itu juga perlu membangun sikap kritis dan transformasi nilai etis di dalam kehidupan manusia.
Aplikasi FaceApp: Realitas Ketidakberhinggaan
Realitas kehidupan saat ini merupakan gangguan yang terus membawa setiap orang tidak selalu terkurung di dalam diri dan dunianya. Realitas ini disebut sebagai realitas ketidakberhinggaan.
Realitas ketidakberhinggaan dipahami juga sebagai kodrat manusia yang melampaui pikiran manusia. Di mana penggunaan aplikasi FaceApp yang digunakaan melampaui dan bahkan melampaui pikiran manusia. Levinas melihat realitas ketidakberhinggaan ini sebagai jarak yang terbentang antara ide dan ideatum.
Daya tarik itu selalu merangsang, menggerakkan dan bahkan menyebabkan ide dan kesadaran manusia untuk selalu terobsesi kepada ketidakberhinggaan ini. Manusia yang cenderung terobsesi kepada ketidakberhinggaan ini justru menyebabkan manusia selalu di seberang dirinya. Pikiran manusia selalu terarah keluar dan melampui dirinya. Kerinduan manusia selalu bergerak lebih kuat dari dirinya. Keinginan selalu membawa keluar manusia keluar dari dirinya.
Manusia bukan hanya keinginan. Manusia adalah kerinduan. Manusia selalu menyeberang dari dirinya. Levinas menyebutnya sebagai ‘kerinduan akan yang tidak berhingga’ desir de I’invisible, yakni kerinduan metafisis yang senantiasa terpatri pada setiap diri manusia, dan selalu menggoda, menggerakkan dan mendorongnya untuk melampaui diri dan dunianya.
Realitas ketidakberhinggaan saat ini merupakan gangguan yang terus membawa manusia pada suatu situasi hidup tanpa dasar dan tanpa makna. Manusia yang terbuai dengan perkembangan teknologi pada umunya, pada khususnya penggunaan aplikasi FaceApp dapat menggerakkan manusia kepada arah yang lain.
Keterarahan manusia kepada yang lain membuat manusia ‘tidak sadar’ akan eksistensi dirinya. Manusia digiring keluar dari koridor kehidupannya. Artinya bahwa aplikasi FaceApp telah mengkonstruksi ‘aku’ sebagai bukan aku, atau ‘aku’ bukan dari duniaku yang sebenarnya.
Aplikasi FaceApp telah merubah cara pikir yang rasionalitas sehingga menyebabkan krisis ketaksanggupan akal budi untuk menemukan dasar terdalam bagi dirinya (Baghi 2014: 59).
Krisis ketidaksanggupan akal budi ini dikarenakan akal budi manusia belum menjadi suatu kekuatan dan sumber kepercayaan yang ultim, ketika berhadapan dengan situai riil seperti sekarang ini sehingga tidak mengherankan jika persoalan-persoalan menyangkut humanisme masih kita jumpai sampai saat ini.
FaceApp: Chaos Identitas
Identitas adalah ciri khas dari seorang individu yang dapat membedakan individu yang satu dengan yang lainnya. Identitas dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal.
Faktor-faktor eksternal turut memberikan konstruksi identitas seseorang sehingga tidak heran kalau identitas manusia sering berubah-ubah. Perkembangan dan kompleksitas masalah humanisme tidak terlepas dari hakikat manusia sebagai makhluk yang dinamis, misteri dan paradoksal.
Manusia disebut dinamis karena ia berkembang terus-menerus dengan kebebasannya (Snijders 2001: 15). Ia disebut misteri karena memang ia tidak pernah bisa dipahami secara defenitif (Leahy 1992: 12).
Tak dapat dimungkiri bahwa identitas manusia saat ini menjadi kabur dikarenakan dengan ‘perubahan’ identitas yang terjadi akibat penggunaan aplikasi FaceApp. Aplikasi FaceApp disebut sebagai chaos identitas, di mana identitas yang dipengaruhi berbenturan dengan identitas yang real.
Aplikasi FaceApp merubah identitas asli seseorang sehingga identitas yang ditampilkan dengan menggunakan FaceApp di dunia maya berbeda dengan yang ada di dunia nyata. Citra diri manusia dikonstruksi sesuai dengan citra bayangan yang mereka inginkan.
Akibatnya manusia memiliki identitas palsu. Identitas palsu inilah yang menimbulkan chaos identitas sebab terjadi paradoks antara dunia nyata dan dunia maya yang menimbulkan degradasi moral.
Representasi semu yang ditampilkan dalam dunia maya bertolak belakang dengan kehidupan nyata yaitu dengan memiliki identitas lain alam dunia maya. Mereka hidup dalam dunia simulacrum yang penuh dengan hiper-realitas.
Akibatnya, sesuatu yang muncul bukanlah realitas yang asli (kepalsuan). Hal inilah yang menyebabkan krisis identitas, sebab identitas yang ditampilkan adalah palsu. Kepalsuan identitas ini merupakan suatu kondisi chaos yang harus ditangani agar martabat pribadi manusia tetap utuh. Sebab, mereka sesungguhnya terjebak dalam dunia simulakra.
Maka, sangatlah relevan jika diskursus tentang pengakuan ala Ricouer digemakan kembali sebagai “Jalan pengakuan adalah jalan yang panjang”. Jalan ini berkenaan dengan liku-liku tindakan dan penderitaan manusia, bersentuhan dengan kebenaran untuk mengungkapkan diri.
Pencarian makna tentang identitas diri berkenaan dengan refleksi dan tanggung jawab subjek terhadap dirinya sendiri. Manusia dipanggil untuk bertanggung jawab terhadap dirinya sesuai dengan pilihan hidupnya.
Di sini, titik pandang subjek sebagai dasar pertimbangan moral secara rasional menjadi motif utama dalam setiap tindakan praktisnya. Pengakuan akan identitas diri harus dibuat berdasarkan dengan kebijaksanaan praktis.
Artinya bahwa dalam menghadapi persoalan humanisme seperti ini manusia harus mengetahui bagaimana harus hidup sebagai manusia. Manusia bertindak harus membentuk kualitas dirinya sebagai pribadi yang berkualitas seturut hakikat atau esensi dirinya sebagai makhluk yang bermartabat.
Merebaknya aplikasi FaceApp dalam media sosial turut menerobos masuk dalam sendi-sendi kehidupan kita. Penggunaan aplikasi FaceApp saat ini menyebabkan manusia ‘mabuk’ teknologi.
Kemabukan manusia dalam penggunaan aplikasi FaceApp membuat manusia keluar jauh dari koridor kehidupannya. Manusia selalu di seberang dirinya. Manusia selalu bergerak keluar dirinya. Keinginan untuk membawa manusia keluar inilah yang dinamakan realitas ketidakberhinggaan. Aplikasi FaceApp membuat manusia jauh keluar dari hakikat asli dirinya. Manusia keluar dari dirinya dan sangat berseberangan dengan martabatnya sebagai manusia.
Manusia yang keluar dari dirinya dan berseberangan ini turut mempengaruhi identitas dirinya. Identitas dirinya menjadi kabur, identitas dirinya berbenturan dengan identitas yang riil.
Lantas kita bertanya, tindakan preventif apakah yang patut kita buat untuk menyadarkan kembali nitizen yang sedang ‘mabuk’ teknologi?
Pertama: penyadaran. Melihat penggunaan aplikasi FaceApp oleh nitizen yang meningkat drastis, maka perlu dilakukan upaya “Peyadaran” secara kritis, di mana setiap nitizen kembali merefleksikan segala tindakan kemanusiaannya yang bertentangan dengan hakikat dirinya.
Upaya ini juga dilakukan sebagai upaya transformasi diri demi kembali memulihkan martabat dirinya yang asli.
Kedua: membangun sikap kritis. Hidup dalam abad teknologi saat ini, kita sebagai konsumen mesti kritis. Artinya, teknologi tidak boleh memperdayakan kita, apalagi sampai mengorbankan kemanusiaan kita. Kita perlu membuat filter penangkal teknologi.
Kita membaca secara menyeluruh (dampak positif dan negatif) dari penggunaan aplikasi FaceApp dan kita harus bersikap cerdas, kritis dan bijaksana dalam menggunakan aplikasi FaceApp. Aristoteles “Pengetahuan yang tepat merupakan dasar untuk bertindak secara tepat”.
Ketiga: transformasi nilai etis. Berhadapan dengan realitas seperti ini, nilai-nilai etis yang kokoh harus menjadi pegangan setiap nitizen sehingga setiap nitizen mampu bertindak dan bertanggung jawab terhadap setiap tindakan yang diakukan.
Oleh karena itu, sebagai makhluk rasional kita harus bertanggung jawab terhadap eksistensi diri kita sebagai manusia dalam paradoks modernitas yang mengglobal ini. Jika kita menyadari akan eksistensi diri kita yang sesungguhnya, maka kita sungguh-sungguh menjadi manusia yang sesungguhnya.