Borong, Vox NTT-Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) Cabang Ruteng secara tegas menolak rencana kehadiran tambang dan pabrik semen di Lingko Lolok dan Luwuk, Desa Satar Punda, Kecamatan Lamba Leda, Kabupaten Manggarai Timur (Matim).
Dalam rilis yang diterima VoxNtt.com belum lama ini, Ketua PMKRI Ruteng Hendrikus Mandela menilai ketika eksploitasi tambang batu gamping di Lingko Lolok diberikan izin oleh Gubernur, maka melanggar UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Selain itu melanggar peraturan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang sudah mengeluarkan peta wilayah Ekoregion Indonesia. Peta itu ditetapkan dalam Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor: SK.8/MENLHK/SETJEN/PLA.3/1/2018.
Apalagi, kata Hendrikus, Indonesia saat ini mengalami kelebihan pasokan semen mencapai 42-45 juta ton. Industri semen domestik dalam beberapa tahun terakhir mengalami kelebihan suplai.
Hingga akhir tahun lalu paparnya, total kapasitas nasional terpasang sebanyak 120 juta ton. Sedangakan penyerapannya hanya mencapai 70 juta ton.
Dikatakannya, pengoperasian enam pabrik semen baru pada 2016 membuat Indonesia menjadi produsen semen paling besar di Asia Timur dengan total kapasitas 92,7 juta ton.
Pada saat itu produsen semen memperkirakan kapasitas produksi yang naik pesat membuat Indonesia kelebihan pasok semen mulai tahun 2016 tersebut hingga tahun 2020.
Hendrikus mengungkapkan selama ini tanah Lingko Lolok merupakan lahan produktif yang menjadi sumber kehidupan bagi warga lokal, yakni ladang, sawah, serta kebun, maupun ternak.
Kemudian, warga Lingko Lolok sebagai suatu kelompok masyarakat tidak terlepas dari ikatan entitas kebudayaan, yakni masyarakat yang beradat-istiadat serta berbahasa sebagai suatu ciri khas di tengah keanekaragaman bangsa Indonesia.
“Ini yang selalu diwariskan secara turun-temurun dari nenek moyang dan akan terus diwariskan kepada generasi berikutnya,” ujar Hendrikus.
Hal ini, jelas Hendrikus, tidak dapat dielak oleh siapapun, apalagi oleh pemerintah yang mengakui keberadaan masyarakat itu sendiri.
Apabila rencana penambangan batu gamping di Lingko Lolok tidak dibatalkan maka dampaknya adalah selain merusak alam, juga merugikan masyarakat setempat.
“Aktivitas tambang tersebut hanya menguntung korporasi saja atau tidak menguntungkan bagi masyarakat lokal,” tukasnya.
Maka PMKRI, jelas Hendrikus, menawarkan beberapa alternatif yang mestinya menjadi perhatian pemerintah untuk memberikan kesejahteraan bagi rakyat tidak harus ngotot melalui aktivitas pertambangan.
Pertama, Pariwisata Alam
Daratan Desa Satar Punda dan sekitarnya sangat potensial dan strategis apabila dikelola dengan serius oleh pemerintah untuk dijadikan sebagai pariwisata alam, sehingga menarik perhatian wisatawan.
Baca Juga: Timbang Untung dan Buntung Pabrik Semen Lingko Lolok
Kerja sama dengan masyarakat lokal dalam membangun pariwisata alam yang elok merupakan pilihan yang bijak dan dapat melestarikan alam di Desa Satar Punda (eko-efisien).
Alam, budaya, serta masyarakat itu sendiri akan terawat, keuntungan berlipat ganda, tidak ada pihak yang dirugikan, sehingga kesejahteraan benar-benar hadir di tengah masyarakat.
Berbanding terbalik dengan aktivitas pertambangan yang memastikan kerugian alam dan masyarakat.
Kedua, Optimalisasi PT Semen Kupang
Pendirian bangunan pabrik semen di Luwuk, Desa Satar Punda, Kecamatan Lamba Leda, Kabupaten Manggarai Timur tidak urgen. Sebab Nusa Tenggara Timur
memiliki PT Semen Kupang.
Semestinya pemerintah mengoptimalisasi produksi semen di PT Semen Kupang untuk kemudian didistribusikan ke setiap daerah di Nusa Tenggara Timur. Sehingga kebutuhan akan semen di daerah-daerah di Nusa Tenggara Timur dapat terpenuhi.
Ketiga, Edukasi Bertani, Berkebun, dan Beternak
Dari dulu hingga saat ini bertani, berkebun, dan beternak merupakan sandaran utama masyarakat Lingko Lolok untuk bertahan hidup termasuk menopang dan meningkatkan ekonomi keluarga.
Hal ini membuktikan bahwa potensi alam Lingko Lolok dapat memberikan kesejahteraan terhadap masyarakat setempat. Artinya tanah Lingko Lolok merupakan lahan yang produktif.
Dengan demikian, kehadiran tambang yang akan menggali batu gamping di perut bumi Lingko Lolok dan bakal merusak tatanan alam yang selama ini menjadi sandaran hidup masyarakat lokal, tentu saja berpotensi merugikan masyarakat lokal.
Oleh karena itu, tidak dapat dibenarkan ketika kesejahteraan menjadi dalil utama masuknya tambang batu gamping di Lingko Lolok.
Semestinya apabila pemerintah ingin mensejahterakan masyarakat Lingko Lolok dan sekitrarnya, maka yang akan dibuat adalah mengedukasi masyarakat lokal tentang cara bertani, berkebun, serta beternak.
Apabila hal ini dilakukan, maka secara tidak langsung akan membentuk SDM masyarakat yang kemudian berdampak pada peningkatan ekonomi masyarakat lokal.
Penulis: Sandy Hayon