Cerpen
Oleh: Carlin Karmadina
Rumah tua itu semakin reyot. Tidak dipagari. Sengnya benar-benar karat. Cat berwarna hijau tosca pada dindingnya telah mengelupas sebagian. Debu di daun-daun jendela tampak menebal. Sudah setahun terakhir rumah itu tidak berpenghuni. Tidak ada lagi yang datang, kecuali anak-anak saat pohon mangga di halaman rumah itu berbuah. Anak-anak akan bergelantung di dahan pohon mangga seperti monyet-monyet, memetik buah dari pohon itu sesuka hati tanpa takut meminta terlebih dahulu. Mereka juga tidak perlu khawatir pada hardikan dari pemilik rumah karena ketahuan mencuri. Setelah puas bermain dan memetik pada pohon mangga, anak-anak itu akan pergi dan meninggalkan daun-daun yang berguguran di halaman. Dan rumah itu kembali sunyi.
***
Umur saya sepuluh tahun saat pertama kali bertemu dengan wanita itu. Itu tahun 1998 dan saya dan orangtua saya baru pindah ke kota ini. Wanita itu adalah tetangga kami. Rumahnya tepat di depan rumah kami. Waktu itu, ia masih sangat cantik dengan kulit yang kencang, matanya tenang, rambutnya hitam lebat dibiarkan terurai. Senyumannya ramah. Dan waktu itu pula wanita itu baru saja memiliki bayi lagi. Itu adalah anaknya yang ke lima. Anaknya yang ke tiga seorang anak lelaki, yang menjadi teman bermain bola saya di sepanjang hari selepas pulang sekolah. Sedang ibu saya punya bayi lagi tahun 2005, wanita itu sudah punya sudah punya tujuh anak, lima anak laki-laki dan dua anak perempuan.
Rumah itu luas, memanjang ke belakang. Dan lagi lahannya luas tiga kali dari punya kami. Ada pula garasi untuk dua motor GL, mobil-mobil, dan angkot-angkot. Rumah itu menampung banyak-banyak orang, wanita itu bersama suami dan ke tujuh anaknya, tiga orang perempuan muda, juga tukang supir; om-om bertato yang suka berkumpul dan minum saat akhir pekan.
Sejak 1998 itu, saya terus-terusan saja melihat rumah itu ramai. Kadang saat di awal tahun, orang-orang kampung yang hendak pergi merantau datang membawa koper-koper dan kardus-kardus, singgah di rumah itu untuk menginap semalam, kadang dua atau tiga hari, kadang pula lebih dari seminggu barulah mereka pergi dengan naik kapal.
Sepuluh tahun setelah kepindahan kami, suami wanita itu tewas kecelakaan. Setelah perkabungan selesai, berminggu-minggu pada tiap pagi yang gelap dan muram, saya dengar wanita itu menangis memanggil nama suaminya. Awalnya tangisan itu dibarengi dengan tangisan perempuan-perempuan muda yang tinggal bersama wanita itu. Tapi kemudian tangisan itu hanya dari seseorang saja.
Sekitar setahun setelah kematian suaminya, wanita itu menjual satu-persatu angkotnya. Lalu mobilnya, lalu sebidang tanah di samping rumah mereka yang adalah garasi. Bersamaan dengan itu, para perempuan-perempuan muda yang tinggal dengannya pergi mencari nasib masing-masing. Ada yang pulang ke kampung dan ada yang segera menikah. Para tukang sopir juga begitu. Orang-orang yang mau pergi atau pulang merantau dengan koper-koper dan kardus-kardus tidak singgah di rumah itu lagi.
Setelah dijualnya semua barang yang dia miliki, wanita itu mulai kehilangan satu-persatu anak-anaknya. Dimulai dari yang bungsu dan yang ke enam, meninggal karena demam berdarah. Anak bungsu itu meninggal tiga tahun setelah kematian suaminya. Dua anak perempuannya meninggal kecelakaan saat pulang sekolah. Anak lelakinya yang adalah teman bermain bola denganku meninggal saat umur 26 tahun, kudengar karena ginjal. Seeorang lagi tewas tenggelam saat pergi memancing. Kematian yang terakhir adalah yang paling tidak ia inginkan; bunuh diri.
Hampir tiap tahun, ia mengubur anak-anaknya itu. Hampir tiap pagi yang gelap dan sunyi pula, kian menjadi muram karena isakannya seorang diri. Kadang pula saya dengar dari dalam rumah gelak tawa miliknya. Entah dengan siapa ia tertawa dan hal apa yang membuatnya tertawa tidak saya tahu. Tapi saya yakin, dia tertawa sendirian sebab ia seorang diri di rumah itu. Menangis sendiri dan menghibur diri sendiri. Mengurus dirinya sendiri dan mengutuk dirinya sendiri.
Kini wanita itu telah banyak keriput. Rambutnya putih dan tidak pernah ia cat. Kantung matanya melorot. Ia telah menjadi lebih tua dari usia sebenarnya, 59 tahun. Hampir setiap hari dengan mengenakan pakaian hitam, ia selalu menyempatkan diri untuk datang ke rumah saya, berbincang dengan ibu atau saya barang sebentar, lalu pulang saat senja mulai hilang. Di depan ibu dan saya, ia tidak pernah menjadi murung. Ia lebih sering bercerita masa-masa bahagianya saat ia masih bujang, bagaimana ia dan suaminya bertemu, dan tentang betapa menyenangkannya melahirkan dan mengurusi anak-anaknya.
“Adil itu apa?” tanya wanita itu pada saya suatu kali. Saya terkejut sebab tidak biasanya ia memulai percakapan macam ini dengan saya. Saya tidak memberi jawab sebab saya menunggu kata-katanya yang lain. Jika saja saya mengatakan bahwa adil itu tidak pernah ada, saya takut ia tersinggung atau menjadi kalut.
“Apakah ini adil, Nak? Saya beri apapun yang saya punya untuk orang. Saya berdoa dengan rajin. Tapi Tuhan ambil semua yang saya punya. Apakah Tuhan menciptakan saya untuk sengsara?” tentulah saya tak sanggup menjawab ini. Saya memegang punggung tangannya, memandanginya dengan iba, dan bilang sabar dengan lembut.
“Saya ingin pulang ke rumah adik perempuan saya, Nak. Saya ingin pulang ke rumah orang tua saya. Barangkali menikahi anak seorang kepala sukulah yang telah membuat saya jadi begini. (Ia menarik napas panjang hingga menggigil) Saya tidak mungkin pulang ke masa-masa emas saya lagi. Usia saya sudah senja. Ingin saya adalah mati dalam pelukan adik perempuan saya. Wajahnya mirip ibu saya. Kau, tolong jaga pusara-pusara itu. Kalau sempat, nyalakan lilin di pusara-pusara itu. Saya tidak tahu apakah saya akan pulang atau tidak.” Itu pesannya yang terakhir pada saya, sehari sebelum ia pergi meninggalkan rumah yang renta sama seperti dirinya. Ia pulang ke kampung halaman, tempat orang tuanya mengubur ari-arinya dahulu.
Sekitar enam bulan setelah ia pulang kampung, dari keluarganya, kami mendapat kabar bahwa wanita tua itu telah meninggal. Seminggu sebelum kabar duka itu datang, ia menelepon ibu. Ia juga sempat mengobrol dengan saya lebih lama. Ia berkelakar jika saja anak perempuannya masih hidup, ia setuju jika saya menikahinya tanpa memberi belis apapun. Ia mengulangi pesan yang sama agar saya menyalakan lilin-lilin pada makam anak-anak dan suaminya setiap peringatan kematian mereka. Dari ujung telepon, ia juga meminta maaf telah membuat saya repot.
Sekarang tahun 2021. Saya pandangi rumah yang reot di depan rumah saya. Saya pandangi pula makam-makam yang ada di halaman rumah itu. Semuanya ada delapan makam. Dengan salib tertancap, berkeramik, diberi atap, dan dipagari. Masing-masing makam itu bergelantung baju hitam. Itu baju-baju milik wanita tua itu. Ia menggantung baju itu pada salib makam sebagai tanda perkabungannya telah usai.
“Mereka tetanggaku.” kata saya pada makam-makam itu lalu bergegas mengambil sebungkus lilin dari dalam rumah.
Maumere, 4 Juni 2020
Carlin Karmadina (Kaka ID) mahasiswi Universitas Nusa Nipa, sekarang sedang magang di Maumere TV. Selain itu, ia aktif sebagai penggiat di Komunitas Kahe. Sedang belajar menulis cerpen dan jurnalisme perjalanan.