Oleh: Agustinus Rahmanto
ASN Pemkab Manggarai Timur, sedang studi Master of Education di Flinders University, Australia
Tahun lalu saat kuliah semester pertama, saya mengambil mata kuliah Planning Change. Melalui matakuliah ini kami belajar tentang beberapa pendekatan dalam merencanakan perubahan baik pada level personal/individual (individual change) maupun pada tingkat kelompok atau organisasi (organizational change).
Ada satu pendekatan yang bagi saya dan banyak teman mahasiswa dari negara berkembang terasa baru yaitu Appreciative Inquiry (AI) atau biasa disebut strength-based approach atau pendekatan yang berbasis kekuatan.
Dalam perspektif AI, merencanakan sebuah perubahan bukan menemukan masalah dan memperbaikinya (fixing the problems) tapi mengidentifikasi kekuatan-kekuatan dan menggali cerita-cerita sukses yang dimiliki seseorang atau sebuah organisasi. Proses ini tentu saja melibatkan seluruh anggota organisasi.
Pendekatan Konstruktivisme
Dalam konteks pendidikan, terdapat sebuah pendekatan pembelajaran yang linear dengan gagasan appreciative inquiry yang disebut konstruktivisme. Konstruktivisme adalah antithesis dari positivisme yang memandang siswa sebagai pribadi yang menerima dan mencernah begitu saja pengetahuan dan informasi atau objectivisme yang melihat pengetahuan sebagai cermin atau pantulan pasif dari sebuah realitas eksternal.
Sebaliknya, perspektif konstruktivisme meyakini bahwa pembelajaran itu haruslah sebuah proses yang konstruktif di mana siswa menggunakan pengetahuan awal (prior knowledge) yang terbentuk melalui interaksi dengan lingkungan sekitarnya untuk merespons pengetahuan dan informasi baru yang didapatnya di kelas untuk menciptakan pemahaman yang baru.
Dengan kata lain, pendekatan konstruktivisme tidak memperlakukan siswa sebagai bejana kosong yang harus diisi sebanyak mungkin informasi dan pengetahuan.
Konstruktivisme ini berakar pada studi psikologis Jean Piaget (1896-1980) dengan teori epistemologi genetiknya yang menganalogikan perkembangan otak manusia dengan evolusi biologis.
Menurut Piaget, perkembangan otak manusia berproses melalui asimilasi dan pengorganisasian di mana informasi-informasi baru yang masuk akan berasimilasi dengan pengetahuan-pengetahuan asal yang sudah dimiliki seseorang.
Selain Piaget, ahli psikologi Rusia Lev Vygotsky (1896-1924) juga menggunakan perspektif konstruktivisme ini. Menurut Vigotsky, seorang anak secara gradual akan menginternalisasikan aktivitas social dan ekternalnya dengan orang lain di sekitarnya dan karenanya proses pembelajaran haruslah interaktif.
Bagi filsuf John Dewey (1859-1952), pendidikan itu bergantung pada action-knowledge dan ide-ide yang muncul dari situasi di mana siswa menggali pengalaman-pengalaman yang bermakna dan penting bagi dirinya. Dengan kata lain, pembelajaran harus berbasis pada problem dan pengalaman nyata siswa.
Implikasinya pada Pembelajaran yang Konstruktif
Lalu bagaimana implikasi pendekatan konstruktivisme ini pada pembelajaran di sekolah? Pertama, pembelajaran merupakan proses menciptakan pengetahuan-pengetahuan baru di atas pengetahuan dan pemahaman awal (prior knowledge) yang dimiliki siswa.
Untuk itu, mulailah sebuah topic dengan mengaitkannya dengan pengalaman-pengalaman hidup nyata siswa dan mengajak mereka untuk memberikan respons dengan bertolak dari pengalaman mereka sendiri. Ini akan memudahkan mereka untuk memahami sebuah informasi baru dan membangun pemahaman baru.
Selain itu, pembelajaran mensyaratkan partisipasi penuh dari siswa. Guru harus memberikan kesempatan kepada siswa untuk bereksperimentasi, bertanya dan mencoba hal-hal baru. Ajaklah siswa untuk membuat refleksi dan mendiskusikan kegiatan-kegiatan mereka.
Implikasi lain adalah guru mesti mendampingi siswa untuk mengontrol pembelajaran dan merefleksikan pengalaman-pengalaman mereka baik secara individual maupun dalam kelompok. Buka ruang bagi mereka untuk mengevaluasi proses pembelajaran yang sudah berjalan. Diskusikan dengan mereka apa yang sudah dipelajari, bagaimana proses itu dijalankan dan apa yang sudah mereka pahami. Ini membantu mereka untuk bertanggung jawab atas proses pembelajaran yang mereka ikuti.
Konstruktivisme juga berimplikasi pada penerapan pembelajaran yang kolaboratif karena siswa akan mempelajari sesuatu tidak hanya dari dirinya sendiri tapi juga dari teman-temannya. Mereka akan saling belajar dan memperkaya strategi dan metode belajar yang efektif.
Implementasi pendekatan konstruktivisme juga dapat mendorong siswa untuk membangun pembelajaran yang berbasis pemecahan masalah dengan mendorong siswa untuk mengajukan pertanyaan, menginvestigasi sebuah topik dan menggunakan berbagai sumber untuk menemukan solusi dan jawaban.
Konstruktivisme juga akan membantu guru untuk membangun pemahaman bersama siswa bahwa pembelajaran itu adalah sebuah proses yang akan terus berubah dan berkembang seiring pemahaman-pemahaman baru yang terbentuk. Melalui proses ini, siswa akan membandingkan pengetahuan dan pemahaman yang sudah dimilikinya dengan pemahaman baru yang dibentuk setelah melewati proses pembelajaran.
Menjadi jelas bahwa dalam perspektif konstruktivisme, pembelajaran itu tidak hanya tentang seberapa banyak pengetahuan yang kita pelajari tapi soal kualitas dari apa yang kita pelajari. Dengan demikian tujuan pembelajaran adalah membantu siswa untuk mengkonstruksi pemahaman-pemahaman baru dengan mengoptimalkan kerangka berpikir mereka sendiri, tidak sekadar menghafal atau menerima pengetahuan dan pemahaman orang lain.
Implikasi pada Asesmen Siswa yang Konstruktif
Di tengah situasi siswa di Indonesia yang multicultural dengan ketimpangan yang masih lebar dalam akses pada layanan pendidikan, infrastruktur pendidikan, fasilitas pembelajaran dan guru yang berkualitas, asesmen siswa yang bersifat sumatif dan terstandarisasi tentu bukanlah pilihan yang bijak.
Dalam perspektif konstruktivisme, asesmen atau evaluasi siswa haruslah berdampak pada peningkatan performa siswa melalui feedback atau umpan balik yang konstruktif dan diagnostic. Itu artinya evaluasi siswa haruslah bersifat formatif yaitu membentuk dan memperbaiki proses pengajaran dan pembelajaran.
Seperti yang ditegaskan Stiggins (1997), melalui feedback atau umpan balik yang diberikan guru, asesmen sumatif dapat membantu guru untuk memodifikasi strategi pengajaran dan membantu siswa untuk memperbaiki kualitas pembelajarannya. Dengan asesmen sumatif, siswa dapat mengidentifikasi kekurangan-kekurangannya dan mengambil langkah untuk memperbaikinya. Hal ini penting karena asesmen tidak sekadar memberikan nilai pada pekerjaan siswa atau mengkomparasi capaian siswa dalam bentuk rangking tapi hasil asesmen harus menjadi basis data dan informasi yang valid bagi guru dan siswa untuk memodifikasi dan memperbaiki praktek pengajaran dan pembelajaran siswa.
Untuk mencapai tujuan tersebut, guru memainkan peran kunci. Pemerintah perlu meningkatkan kapabilitas guru dalam merancang perangkat evaluasi siswa yang berkualitas melalui peningkatan professional judgement dan meminimalisasi agenda akuntabilitas dan performativity yang seringkali mengekang kreativitas guru (Haiward, 2015). Untuk itu, peningkatan kemampuan membuat asesmen harus terintegrasi dalam program peningkatan profesionalisme guru atau pelatihan guru.
Beberapa model asesmen yang bersifat konstruktif yang dapat diterapkan di antaranya project, portofolio, asesmen multiple inteligence, asesmen diri sendiri (self-assesment), asesmen teman (peer-assessment), asesmen yang berorientasi ketrampilan berpikir tingkat tinggi dan asesmen yang otentik seperti natural history yang mendorong siswa untuk melakukan observasi langsung alam, binatang dan tumbuhan serta historical journalism dalam bentuk wawancara tokoh-tokoh local dan mengumpulkan cerita-cerita local untuk dikompilasi atau dipresentasikan.
Peer assessment dan self-assessment perlu didorong untuk diterapkan di sekolah. Dengan melibatkan siswa dalam mengevaluasi dirinya sendiri dan teman-temannya, mereka akan bertumbuh menjadi pembelajar yang aktif yang mengembangkan rasa tanggung jawab dan komitmen atas diri dan proses pembelajarannya.
Pentingnya Kurikulum yang Konstruktif
Untuk mendukung implementasi pedagogi dan asesmen yang kontruktif, dibutuhkan kurikulum yang lebih fleksibel untuk menyesuaikan dengan konteks dan kebutuhan yang beragam di sekolah. Indonesia perlu meniru apa yang dilakukan Skotlandia dengan menyusun Curriculum of Excellence (CfE) yang menempatkan guru sebagai episentrum kurikulum nasional (Hayward, 2015).
Karena begitu signifikannya peran guru dalam implementasi kurikulum di ruang kelas, pemerintah Skotlandia sungguh-sungguh mendengar dan memperhitungkan aspirasi para guru dalam pengembangan kurikulum nasional. Akhibatnya adalah CfE tersebut tidak kaku dan rigid tapi menyediakan ruang bagi guru untuk memodifikasi dan menyesuaikan dengan konteks dan kebutuhan sekolah.
Seiring dengan rencana Kemendikbud untuk mengembangkan kurikulum baru, pemerintah perlu melibatkan perwakilan guru dari berbagai pelosok untuk mendengar suara dan aspirasi mereka. Hal ini tidak bisa dihindari mengingat kondisi Indonesia yang sangat beragam yang tentu membutuhkan kurikulum yang dapat mengakomodasi kebutuhan yang beragam. Dalam situasi seperti itu, kurikulum mesti fleksibel sehingga guru-guru dapat menginterpretasikannya sesuai konteks dan kebutuhan di sekolah.
Untuk itu, statements of outcomes atau indicator performa siswa mestinya tidak terlalu detail tapi harus dirumuskan lebih luas agar guru memiliki ruang untuk memodifikasi pedagogi dan asesmen siswa. Pengembangan kurikulum harus menjadi kerja kolaboratif antara pemerintah, guru dan ahli pendidikan. Selain itu, pengembangan kurikulum mesti menyelaraskan konten kurikulum, pedagogi atau pengajaran dan asesmen siswa.
Dengan kurikulum yang fleksibel, guru-guru dapat memiliki kelonggaran untuk mengimplementasikan pendekatan konstruktivisme yang membutuhkan kreativitas dan inovasi.
Menerapkan pendekatan konstruktivisme baik dalam pengembangan kurikulum, pedagogi dan asesmen dapat memfasilitasi anak-anak untuk menjadi pribadi-pribadi yang kreatif, berinisiatif, mampu memecahkan masalah, berpikiran out of the box, berani dan punya tanggung jawab dan rasa memiliki atas proses pembelajarannya sendiri. Dan hal ini sejalan dengan kebijakan Merdeka Belajar yang memberikan kesempatan yang luas bagi guru dan siswa untuk menjadi pembelajar yang merdeka dan berdaulat yang sejatinya menjadi constructivists yang handal.