Ruteng, Vox NTT- UU Nomor 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) memang sudah ada.
Meski begitu, menurut Direktur Lembaga Hukum dan Ham PADMA Indonesia Gabriel Goa, penerapan UU ini perlu diawasi, dikawal dan diperjuangkan.
“Karena lokus kinerja proses penegakan hukum di Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, rentan terhadap ‘intervensi/ pengaruh lebih kuat kuasa dan uang’,” ujar Gabriel dalam materinya saat webinar dengan tema ‘Eksploitasi Perempuan dan Anak di NTT: Antara Realita dan Solusi Perubahan’, Sabtu (04/07/2017).
Webinar tersebut diselenggarakan oleh Ikatan Alumni Syuradikara (IAS) Nusantara, Jaringan Peduli Anak dan Perempuan NTT-Debora.
Gabriel mencontohkan, Kasus Brigpol Rudi Soik dalam proses pengusutan human trafficking di Polda NTT.
Brigpol Rudi Soik diancam dipecat dan kehilangan nyawa karena mengungkap pelaku TPPO yang diduga di-backup oleh pimpinannya.
Kemudian, kasus PT Malindo Mitra Perkasa yang dicabut izin perusahaan oleh Menteri Ketenagakerjaaan Indonesia. Sayangnya, pemilik perusahaan itu tidak diproses secara hukum.
Dalam paparannya pula, Gabriel membeberkan sejumlah upaya komunikasi PADMA Indonesia dengan aparat Kepolisian terhadap berbagai kasus TPPO.
Pihaknya mendorong dan mengawal penuntasan 69 kasus TPPO di Polda NTT, serta mendampingi Brigpol Rudi Soik,
Tak hanya itu, sambung Gabriel, PADMA Indonesia juga membangun komunikasi, mendorongdan dan mengawal penuntasan 11 kasus TPPO di Polres Sumba Barat.
“Ada 11 kasus TPPO sudah diputus, hanya pelakunya saja. Sedangkan aktor intelektual TPPO bebas,” ujarnya.
Kemudian, membangun komunikasi, mendorong, dan mengawal penuntasan kasus TPPO di Polres Timur Tengah Selatan (TTS). Di sana, ada 10 kasus TPPO dan 4 di antaranya sementara disidangkan di PN Soe. Sedangkan, 6 Kasus sedang diberkaskan.
PADMA Indonesia juga membangun komunikasi, mendorong, dan mengawal penuntasan 1 kasus TPPO di Polda NTT yang korbannya berasal dari TTS.
Kemudian, 1 kasus TPPO di Polres Ngada yang korbannya berasal dari Nagekeo, 1 kasus di Polres Ende, dan 5 kasus di Polres TTU.
“Di Polres TTU 1 Kasus dengan korban Dolfina Abuk. Pelakunya telah divonis di Pengadilan Kefamenanu 3 tahun 2 bulan untuk pelaku Adi dan Pelaku lainnya divonis 2 tahun, 2 kasus TPPO sudah dilimpahkan ke JPU dan 2 kasus lainnya sedang disidik Polres TTU,” beber Gabriel.
Sebagai informasi, webinar tersebut tidak hanya menghadirkan Direktur Lembaga Hukum dan Ham PADMA Indonesia Gabriel Goa.
Pemateri lain yang hadir, antara lain, Ketua P2TP2A Provinsi NTT Elly Matheos Adonis, Koordinator TRUK-F Suster Euthokia Monika Nata dan Ketua LPA Peduli Kasih Ende, IAS 84 Yohana Afra Baboraki.
Tantangan Penanganan Kasus Prostitusi
Meski ada banyak kasus prostitusi yang terungkap, namun Koordinator TRUK-F Suster Eusthokia Monika Nata membeberkan sejumlah tantangan dalam penanganan kasus tersebut.
Dalam materinya, Suster Eusthokia mengatakan, ada banyak kasus kekerasan yang tidak tundas di Kepolisian, bahkan pelaku ditetapkan sebagai daftar pencarian orang (DPO).
Kemudian, papar dia, pihak Kepolisian selalu lamban bertindak dan kurang profesional dalam manangani kasus prostitusi, serta kekerasan terhadap perempuan dan anak.
Tak hanya itu, tantangan lain menurut Suster Euthokia, yakni ada banyak kebijakan tetapi implementasinya masih lemah. Apalagi, masyarakat tidak mengerti akan hak-hak mereka, bahkan takut pada pemerintah dan aparat penegak hukum.
“Masyarakat kurang informasi, kurang pendidikan, kemiskinan dan masih banyak rumah tidak layak huni,” terang Suster Eusthokia.
Tantangan lainnya, kata dia, yakni lembaga-lembaga agama kurang proaktif dalam kerja-kerja yang berpihak pada korban.
Faktor Penyebab Kekerasan Terhadap Anak
Sementara itu, Ketua LPA Peduli Kasih Ende, IAS 84 Yohana Afra Baboraki dalam paparannya membeberkan faktor penyebab kekerasan terhadap anak.
Ia menyebut, salah satu faktornya ialah karena tekanan kehidupan yang sangat tinggi. Kemudian, karena berasal dari keluarga yang biasa.
Yohana menambahkan, faktor lainnya seperti menggunakan kekerasan dengan alasan untuk menanamkan disiplin dan mendidik anak agar lebih baik dari anak yang lain.
Kemudian faktor masyarakat, yakni berkurangnya nilai, kesenjangan sosial, dan pengaruh media massa yang bermuatan kekerasan.
Rekomendasi
Peserta forum webinar tersebut melahirkan sejumlah rekomendasi, antara lain:
Pertama, pemerintah daerah, termasuk di dalamnya aparat penegak hukum segera mengambil sikap tegas dan adil untuk menghapus praktek prostitusi di NTT. Perlindungan perempuan dan anak, harus menjadi prioritas dalam program pembangunan, dan masuk dalam pertimbangan dan perencanaan program pembangunan di segala bidang.
Kedua, segala bentuk pelecehan dan kekerasan terhadap perempuan dan anak, khususnya kekerasan dan eksploitasi seksual, diselesaikan dengan tuntas dalam keberpihakan terhadap korban. Prostitusi harus dihapuskan dan diwaspadai dalam praktek dan keseharian hidup masyarakat NTT.
Ketiga, semua pihak yang terkait dengan persoalan perlindungan perempuan dan anak, agar bekerja sama untuk mendorong percepatan program kabupaten/kota layak anak, sehingga kerja perlindungan anak dapat dilakukan secara sistematis, masif dan terstruktur, sampai ke tingkat desa/kelurahan. Pelibatan masyarakat melalui penguatan PATBM (Perlindungan Anak Terpadu Berbasis Masyarakat) menjadi sangat krusial.
Keempat, forum webinar melihat bahwa persoalan kekerasan seksual pada anak dan perempuan adalah karena lemahnya peran masyarakat dan komunitas sosial dalam melakukan pengawasan, melakukan pelaporan serta penanganan kasus, sehingga pendidikan kepada orang tua dan masyarakat sanbat penting.
Kelima, forum webinar mendorong agar segera dilakukan edukasi penyerbaluasan informasi tentang upaya pencegahan kekerasan seksual pada anak dan perempuan, serta upaya peningkatan pendidikan keterampilan bagi anak- anak perempuan dan anak laki-laki. Sehingga memiliki kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan yang layak.
Keenam, forum webinar mendorong ada peningkatan program pariwisata daerah NTT terutama pembangunan hotel, restoran, tempat hiburan harus selalu seiring dengan penguatan perlindungan perempuan dan anak.
Ketujuh, mendorong pemerintah segera melakakukan pertemuan dengan pelaku bisnis, hotel, tempat hiburan, dan stakeholder lainnya untuk membuat kesepakatn membangun tangung jawab sosial, bahkan SOP yang tegas untuk perlindungan anak dan perempuan di lokasi bisnisnya.
Kedelapan, forum webinar meminta agar perlu dilakukan upaya peningkatan pemberdayaan ekonomi masyarakat.
Kesembilan, perlu dibuat rencana Kerja strategis dan kerja sama serta pembagian peran yang baik guna memastikan bahwa upaya perlindungan anak dilakukan secara terstruktur, terukur dan masif.
Kesepuluh, mendorong peran gereja dan lembaga- lembaga agama dalam melakukan upaya pembinaan melalui komunitas basis.
Kesebelas, mendorong adanya pendidikan dalam keluarga.
Keduabelas, perlu dilakukan pemetaan terhadap praktik-praktik nilai budaya yang menyumbang pada perlindungan anak.
Ketigabelas, mendorong gerakan keterlibatan laki-laki dalam upaya perlindungan anak dan perempuan.
Keempatbelas, masyarakat NTT kembali menghidupkan nilai luhur yang terkandung dalam adat dan budaya yang peduli satu sama lain, menghormati martabat perempuan dan melindungi anak-anak dari segala bentuk kekerasan, khususnya kekerasan dan eksploitasi seksual.
Penulis: Ardy Abba