Ruteng, Vox NTT- Tim Keuskupan Ruteng dan Bupati Manggarai Timur Agas Andreas menggelar pertemuan di kantor bupati setempat, Senin (06/07/2020).
Pertemuan tersebut membahas pembangunan pabrik semen di Luwuk dan tambang batu gamping di Lengko Lolok, Desa Satar Punda, Kecamatan Lamba Leda.
Direktur Puspas Keuskupan Ruteng, Pastor Martin Chen dalam rilis yang diterima VoxNtt.com, Senin sore, mengatakan, pembangunan manusia yang integral sangat penting dan tidak terbatas pada aspek kesejahteraan ekonomi. Selain itu, pembangunan tersebut harus terkait dengan perlindungan dan pelestarian lingkungan.
Sebab itu, ia dan tim Keuskupan Ruteng meminta Bupati Agas untuk cermat dan sungguh-sungguh menimbang dampak-dampak negatif dari proyek batu gamping dan semen. Itu terutama kehancuran ekologis, kerusakan kultural, konflik sosial, kerugian ekonomis, dan ketidakadilan antar generasi.
Pastor Martin pun menjabarkan dampak ekologis serius yang harus dipertimbangkan Bupati Agas.
Kata dia, kerusakan kawasan karst. Sejak tahun 2018, kawasan karst itu telah ditetapkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dalam Peta Eko Wilayah.
Hal ini menegaskan realitas karst wilayah tersebut, meskipun belum ada penetapan Kawasan Bentangan Alam Karst (KBAK).
Realitas karst ini didukung oleh adanya “air tanah dalam” di wilayah tersebut dan sekitarnya, seperti yang terungkap dengan adanya sumber mata air dalam sumur, gua, dan kali atau sungai.
Menurut Pastor Martin, proyek tambang gamping dan semen akan menimbulkan limbah laut dan kerusakan biota laut, serta hutan bakau di Luwuk.
Selain itu, terjadi pencemaran sungai Wae Pesi, emisi udara, dan limbah tanah.
“Apa jaminan perusahaan dan Bupati dalam mengatasi limbah-limbah tersebut?” tukas Pastor Martin.
Ia menambahkan, pabrik semen ini membutuhkan energi listrik yang sangat besar yang ditengarai menggunakan batu bara. Hal ini sangat merusak lingkungan hidup.
Kemudian, pabrik semen membutuhkan sumber air yang sangat besar dari Wae Pesi.
“Bagaimana dampak kerusakan lingkungan dan sumber air pertanian bagi kawasan tersebut? Kehancuran hutan dan daratan (tanah) yang tidak cukup diimbangi oleh kegiatan reklamasi perusahaan,” tegasnya.
Pastor Martin juga mempertanyakan sejauh mana Bupati menjamin kewajiban reklamasi perusahaan tersebut?. Keraguan ini semakin besar setelah melihat profil perusahaan IMM (Istindo Mitra Manggarai) yang ditengarai merupakan metamorfosa dari perusahaan IMP (Istindo Mitra Perdana) yang lari dari tanggung jawab reklamasi pada lubang-lubang besar mangan di Sirise.
“Saudara Trenggono disebut sebagai salah satu pemilik dari dua perusahaan tersebut. Bupati berjanji akan mengklarifikasi dan menuntut kewajiban reklamasi Sirise, bila benar demikian,” tegasnya.
Pastor Martin juga mempertanyakan dampak kesejahteraan ekonomi. Tambahan PAD 48 sampai 50 Miliar per tahun harus dikalkulasi dengan cermat.
“Apa yang menjadi jaminan hal ini? Hal ini tampaknya menjadi ilusi bila melihat proyek-proyek tambang sebelumnya yang tidak memberikan kenaikan PAD Pemda yang signifikan, hanya ratusan juta per tahun,” tegasnya.
Peningkatan kesejahteraan ekonomi warga lokal juga harus diperhitungkan dengan cermat. Alasanya, mereka kehilangan mata pencaharian di bidang pertanian, perkebunan, peternakan, dan perikanan akibat proyek tersebut.
Sementara itu, uang ganti rugi yang tidak dikelola secara produktif menimbulkan kemiskinan yang parah.
Pastor Martin menegaskan, visi Bupati Agas tentang pembangunan pertambangan yang disandingkan dengan pembangunan bidang-bidang lain di wilayah itu menjadi tidak mungkin karena semua lahan pertanian, perkebunan, dan wilayah sekitarnya telah menjadi area pertambangan.
Kehilangan mata pencaharian pertanian dan perkebunan menghambat program kedaulatan pangan warga setempat yang menjadi salah satu arah pembangunan.
Diperparah lagi, dampak ketegangan sosial telah terjadi akibat proyek tersebut. Itu terutama antara mayoritas yang menerima dan minoritas yang menolak.
Sebab itu, ia meminta agar perlu mendengar aspirasi dan memberikan perlindungan kepada yang menolak serta perlu juga memberi pencerahan dan sosialisasi yang tepat kepada kelompok mayoritas yang menerima.
Pastor Martin juga menduga ada oknum-oknum aparat level desa, kecamatan, dan kabupaten yang “menekan” kelompok yang menolak.
“Proyek tersebut berdampak masif terhadap warga atau masyarakat di luar kampung Luwuk dan Lengko Lolok. Karena itu, aspirasi dan perjuangan mereka mesti juga diperhatikan dan menjadi pertimbangan dalam pelbagai keputusan politik,” pintanya.
Tak hanya itu, menurut dia, proyek tersebut berdampak pada kerusakan kultural akibat relokasi dan hilangnya ruang kehidupan tradisional warga setempat.
Hal ini tidak cukup ditangani dengan pembangunan kampung baru dan ritus-ritus adat.
Dalam kaitan ini, lanjut dia, tim Keuskupan meminta Bupati Agas untuk mengimplementasi Perda tentang adat dan mata air yang telah ditetapkan.
“Bertolak dari dampak-dampak di atas, dari hati yang paling dalam tim Keuskupan meminta Bupati agar berdasarkan kewenangannya tidak mendukung kelanjutan proyek pembangunan pabrik semen di Luwuk dan penambangan batu gamping di Lengko Lolok,” ucap Pastor Martin.
Masih dalam rilis itu, Bupati Matim Agas Andreas mengatakan, izin lokasi untuk pabrik semen Luwuk seluas 298 ha. Izin ini telah diberikan oleh Bupati Agas. Sedangkan izin eksplorasi batu gamping diberikan oleh pihak Provinsi NTT.
Bupati Agas menambahkan, dampak ekonomi yang bakal diperoleh dari pabrik semen ini terhadap PAD sebesar 48 sampai 50 Miliar per tahun.
Selain itu, dampak penyediaan lapangan kerja bagi sekitar 400 warga setempat.
Keuntungan ekonomi lainnya berupa sarana jalan serta geliat ekonomi yang ditimbulkan oleh pabrik semen tersebut.
Bupati Agas menegaskan keterkaitan mutlak antara pembangunan ekonomi dan lingkungan hidup. Karena itu, ia mengkawal proses AMDAL yang tepat dan bertanggung jawab, misalnya kajian emisi udara dalam batas standar. Selain itu, reklamasi wajib dilakukan oleh investor.
Terkait dengan kawasan penangkapan dan penyimpanan air (Karst) wilayah itu, bila ada penetapan kementerian terkait dan penambangan batu gamping bakal merusak kawasan Karst tersebut, maka Bupati Agas tidak akan memberikan izin lingkungan.
Ia pun mengajak semua pihak untuk mengkawal proses AMDAL dan mencari informasi akurat dan ilmiah dari ahli-ahli geologi.
Ia juga menyetujui usulan anggota tim agar Pemda Matim mengajukan Kawasan Bentangan Alam Karst (KBAK) terhadap wilayah tersebut.
Tak hanya itu, Bupati Agas juga menyampaikan rencana pembangunan bidang-bidang lain di wilayah tersebut, antara lain pengembangan pertanian organik, peternakan berbasis budaya Manggarai, pengembangan perikanan, dan pertenunan.
Ia menambahkan, pihaknya sudah mengetahui gesekan (konflik) internal yang terjadi di kalangan warga yang menerima dan menolak.
Kata dia, tentu tugas bupati untuk menciptakan keharmonisan dan suasana nyaman masyarakat. Ia juga akan memperhatikan dan melindungi kelompok menolak yang minoritas.
Sebab itu, ia mengingatkan pihak ketiga untuk tidak menimbulkan ketegangan dan konflik di wilayah itu.
Untuk diketahui, tim dari Keuskupan Ruteng yang hadir terdiri dari Vikep Borong Simon Nama, Vikep Reo Herman Ando, Direktur Puspas Martin Chen, Komisi JPIC Keuskupan Marten Jenarut, JPIC SVD Simon Suban, JPIC OFM P. Johny Dohut dan Valens Dulmin.
Bupati dan tim Keuskupan mengapresiasi dialog yang telah dilaksanakan. Berbagai informasi telah memperkaya kedua belah pihak.
Beberapa hal krusial perlu diklarifikasi dan dikawal bersama lebih lanjut.
Kedua belah pihak akan terus membangun dialog demi hal yang sama, yakni kesejahteraan yang holistik dan keselamatan warga/masyarakat (bonum commune).
Penulis: Ardy Abba