Oleh: Yosef Sampurna Nggarang
(Sekjen Pergerakan Kedaulatan Rakyat, Aktivis Pergerakan HIPMMABAR-Jakarta)
Presiden Jokowi sudah memberi perhatian begitu besar ke pemda NTT dengan terbitnya Perpres no.32/2018 tentang Badan Ototritas Pariwisata Labuan Bajo-Flores (BOP-LBF). Perpres 32/2018 ini merupakan komitmen presiden untuk mendorong percepatan pengembangan pariwisata di wilayah Labuan Bajo dan 9 kabupaten lainnya di Flores.
Kebijakan penambangan batu gamping sebagai bahan baku pabrik Semen yang terletak di Lingko Lolok, Desa Satar Punda Kecamatan Lambaleda – Manggarai Timur-NTT, terlihat menafikan kebijakan Presiden.
Perhatian presiden yang besar ini tentu karena potensi alam, baik laut maupun darat di wilayah Labuan Bajo- Flores begitu indah. Namun keindahan alam ini belum diolah dengan maksimal agar menjadi nilai tambah dan mendatangkan pundi-pundi ekonomi yang lebih besar.
Letak soalnya adalah belum adanya kesamaan visi-misi antara pemerintah pusat yang diwakili oleh BOP dan Pemda NTT. Kesamaan visi itu harusnya lebih mudah lagi diimplentasikan karena Gubernur Viktor Laiskodat merupakan Kader partai Nasdem yang nota bene bagian dari koalisi pemerintah Jokowi -Ma’ruf Amin. Jadi, dalam visi pariwisata berbasis konservasi sebagai prime mover perekonomian , Gubernur Viktor seharusnya inline dengan kebijakan pusat.
Ketika daerah dan pusat tidak inline impian distribusi pendapatan dan kemakmuran tidak terwujud karena tidak ada dorongan kebijakan yang inklusif untuk merangsang pertumbuhan ekonomi yang bisa dinikmati banyak orang.
Ironi Pertambangan
Pertambangan adalah industri ekstraktif, bisnis monopoli. Konsekensinya, pertumbuhan ekonomi dan kekayaan hanya di nikmati oleh segelintir orang, sementara dampak kerusakan lingkungan dan polusi udara menjangkau banyak orang.
Maka, nilai Perpres 32/2018 menjadi berkurang dengan lahirnya kebijakan industri ekstraktif-pertambangan dari Gubernur Vicktor. Bupati Manggarai Timur Andreas Agas pun mengekor kebijakan gubernur, tidak punya politik kebijakan sendiri yang independent sesuai sumber daya wilyahnya. Bahkan, Bupati Agas aktif sekali merayu para pemilik tanah agar bersedia menjual tanahnya untuk lokasi tambang dan pabrik semen.
Padahal, seharusnya Bupati sadar bahwa tanah itu satu-satunya aset orang kampung, menjadi basis ekonomi masyarakat dalam jangka Panjang, dan tidak beranak.
Lebih miris lagi, tanah itu dijual ke pemodal yang tak lain orang lama yang sudah mengeruk kekayaan alam di Satar Teu dan Sirise.
Kita jangan lagi mencari perbedaan antara rezim tambang Frans Lebu Raya dan rezim Viktor, antara rezim Tote dan rezim Agas. Mereka sama- sama rezim tambang yang selalu “takluk” di tangan pemodal yang sama.
Protes penolakan pertambangan batu gamping dan pabrik Semen di Manggarai Timur sekarang tidak terlepas dari kelalaian dan ketidakcakapan pemerintah dalam pengaturan tata kelola tambang. Ada fakta yang sulit dielakkan oleh Pemda Manggarai Timur dan Pemda Provinsi NTT bahwasanya bekas galian tambang mangan masih menganga di wilayah eksploitasi sebelumnya dan warga lingkar tambang jauh dari kemakmuran, tidak seperti janji manis saat investor masuk mengambil kekayaan alam.
Di sini perusahaan, Pemda Matim, dan pemda NTT terkesan bersengkongkol. Akibatnya, kewajiban reklamasi di bekas lubang tambang sebelumnya tidak dijalankan dan tidak ada tindakan apapun atas kenyataan itu.
Karut-marut ini seharusnya tidak terjadi lagi kalau saja Viktor memenuhi janjinya. Sebagaimana sudah jadi pengetahuan umum, dalam kampanye pemilihan menjadi gubernur kemarin, calon gubernur Viktor berjanji untuk memoratorium izin tambang jika terpilih. Ini memberi angin segar kepada rakyat NTT sekaligus juga alasan banyak warga NTT yang kontra tambang dan pro “Nelayan, Tani, Ternak” memilihnya.
Saat itu pernyataan Viktor dianggap sangat masuk akal, salah satunya melihat kontribusi tambang terhadap kesejahtraan. Menurut hasil penyelidikan Komnas HAM tahun 2014 terhadap 28 tambang di Manggarai (sebelum pemekaran), kontribusi dari 28 tambang mangan- terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD) hanya Rp 112.000.000 pertahun. Informasi itu didapatkan Komnas HAM dari hasil pertemuan di Ruteng dengan Bupati Manggarai ketika itu, Christian Rotok.
Atas temuan itu, tentu publik memberi respek kepada KOMNAS HAM yang kemudian ikut mendorong penghentian tambang mangan di Manggarai, khususnya di Desa Lante, Robek, Satar Teu, Sirise dan lain sebagainya. Penghentian tambang di Manggarai, NTT ini tentu sangat positif dan sangat masuk akal.
Kita tahu, dampak penambangan pada jenis tambang galian Tipe C yang rata-rata tidak hanya merusak ekosistem, biota, dan lingkungan – tetapi juga merusak tatanan adat-stiadat khususnya tatanan masyarakat yang orang Manggarai sebut Gendang One Lingko Peang.
Jadi, seluruh operasi penambangan mangan di Manggarai tidak membawa nilai tambah secara ekonom. Tidak mengherankan karena sejak awal proses perizinan tidak melibatkan partisipasi masyrakat. Serba tidak transparan alias berlangsung di belakang layar (ruang tertutup). Hanya bupati dan investor yang tahu.
Seolah-olah, urusan perizinan hanya urusan pribadi Bupati dan masyarakat tidak perlu ikut. Publik tentu menilai proses seperti apa yang terjadi di belakang layar melihat fakta kecilnya kontribusi PAD dan lingkungan hancur tanpa reklamasi.
Memang mencengangkan bahwa Bupati- bupati sangat antusias mengurus tambang, padahal potensi-potensi lain di luar tambang nyaris tidak dijamah. Padahal potensi- potensi ini menjamin sustainability, kelangsungan kelestarian alam dan lingkungan serta kehidupan ekonomi masyarakat.
Contoh nyata: pariwisata, pertanian, peternakan, dan perikanan. Melihat potensi ini,NTT tidak layak untuk pengembangan industri tambang karena mudaratnya jauh lebih besar daripada manfaatnya. Sudah seharusnya pemerintah mendorong transformasi ekonomi dan diserfikasi pengembangan usaha di NTT.
NTT memiliki potensi besar di bidang pariwisata yang bisa dikembangkan dan bisa dijual dan dipasarkan baik tingkat domestik (Indonesia) maupun internasional. Arah baru kemitraan antara pemerintah dan corporate mesti diharapkan pada publick private patnership untuk Nusa Tenggara Timur in corporate development.
Pembangunan NTT mesti dilakukan berdasarkan kombinasi antara grand design pemerintah dan swasta dalam hal ini fokus di pariwisata.
Mestinya Perpres soal pariwisata ini dikombinasi dengan kebijakan pertanian oleh Vicktor dan Agas. Kombinasi antara kedua sektor ini sangat memungkinkan, sebab mayoritas penduduk Flores- NTT adalah petani.
Pemda NTT perlu segera melakukan konsolidasi dengan para bupati, kepala dinas, dan ahli- ahli pertanian. Konsolidasi itu harus menghasilkan sebuah desain kebijakan pertanian, artinya ditentukan kabupaten atau kecamatan mana cocok tanam buah, kecamatan mana yang cocok tanam sayur, dan seterusnya , padi, jagung, kopi, peternakan (sapi,ayam,babi), perikanan.
Maka, NTT khususnya Labuan Bajo-Manggarai sebagai pintu gerbang pariwisata Flores bahkah Indonesia timur kedepannya tidak mendatangkan sayur dan buah dari luar NTT. Dengan begitu ‘kue’ pariwisata dinikmati oleh masyarakat NTT sendiri.
Karena itu, tambang yang bermasalah segera dihentikan. Pariwisata dan pertanian adalah agenda perubahan untuk mewujudkan tangga pertumbuhan ekonomi NTT yang tinggi, distribusi pendapatan merata, gini ratio rendah dan kohesi sosial . Ini semua harus segera diwujudkan. Jangan tunda. Ingat, Viktor sudah dua tahun menjabat, namun dalam dua tahun tersebut ia telah menyia-nyiakan banyak momentum emas.
Tahun depan akan memasuki tahun politik sehingga tidak ada lagi kesempatan untuk melakukan perbaikan dan perubahan. Saatnya untuk menghentikan semua jenis pertambangan yang bermasalah di NTT, sesuai dengan janji kampanye Viktor dan fokus pada pembangunan pariwisata dengan pertanian sebagai pendukungnya.
Jika pemerintah tetap lalai dan abai terhadap semua ini, rakyat akan terus berteriak, ”Tambang bermasalah, pariwisata merana, di mana Viktor dan Agas?”