Oleh: Apolonius Anas
Direktur Lembaga Bimbingan Kursus dan Pelatihan U-Genius Kefamenanu
Acara hel keta di kali Nain Kefamenanu Timor Tengah Utara beberapa waktu lalu menjadi sorotan di group Facebook Biinmafo News.
Saya membaca postingan per postingan linimasa terkait hajatan itu. Kemudian meneliti dan menelisik diksi, narasi serta sudut pandang bahkan relung hati terdalam para netizen pada kolom komentar.
Memang acara itu menjadi pemicu angin kritik yang dihembuskan kepada pasangan muda dalam hajatan pilkada TTU Kristina Muki dan Yosep Tanu. Pasangan Kristina Muki dan Yosep Tanu didaulat sebagai bakal Calon Bupati dan Wakil Bupati utusan dari Partai Nasdem dalam perhelatan pilkada TTU tahun 2020.
Ada yang mendukung namun ada pula yang secara keras mengekspresikan penolakan acara adat yang super sakral di tanah Biinmafo. Hel keta dijadikan sarana berpolitik. Begitulah tuduhan netizen terhadap pasangan ini.
Beberapa netizen mengungkapkan bahwa kegiatan itu melanggar beberapa aturan terkait protokol Covid-19 tingkat kabupaten TTU, hadirnya Aparatur Sipil Negara dalam aktivitas politik hingga kendaraan berpelat merah lalu lalang dalam moment sakral menjadi lipatan tuduhan yang disampaikan netizen.
Memang dalam suksesi pilkada 2020 ini, masyarakat dikejutkan dengan munculnya tokoh perempuan dalam kancah politik. Kristina Muki. Di satu sisi dia digadang-gadang menjadi penerus estafet kepemimpinan sang suami Raymundus Sau Fernandes tetapi juga mampu mewakili tokoh perempuan di panggung pilkada TTU 2020.
Ini menarik karena pada perhelatan politik di NTT tahun ini hanya ada dua tokoh perempuan yaitu Maria Geong calon bupati Manggarai Barat dan Kristina Muki sebagai calon bupati TTU. Bisa jadi isu gender menjadi titik incar dimainkan demi memenangi kotestasi.
Menariknya paket Kristina Muki dan Yosep Tanu memulai genderang perhelatan pilkada TTU dengan menampilkan aktus political healing (rekonsiliasi politik) melalui ritus budaya hel keta sebagai jejak awal melakoni proses pilkada.
Menurut saya pasangan ini dinilai cerdik dan lihai membaca konektivitas antropologis dan geopolitik belakangan ini konteks kehidupan TTU. Pasangan ini mampu mengemas dan meramu sajian politik dan kebudayaan dalam satu kemasan kontroversial.
Ini menjadi kejutan tersendiri manakala aktivitas politik sudah masuk ke ranah esensi dari nilai kebudayaan itu. Pasangan ini dinilai jago mengemas narasi politik dalam mantel budaya.
Pada tulisan ini saya tidak membahas soal dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh pasangan Kristina Muki dan Yosep Talan seperti yang dituduhkan para netizen di kolom komentar melainkan fokus pada bagaimana fenomena proses berpolitik masuk dalam ranah entitas etnis. Sebab selama ini, para politisi lebih cendrung abu-abu, senyap dalam melakukan pendekatan politik(visitasi) kepada tokoh berpengaruh dalam konteks adat budaya bahkan memakai cara standar mencari dukungan dari pemimpin adat.
Sangat sedikit yang menggunakan inklusivitas suatu budaya di depan umum dalam actus berpolitik. Namun apa yang terjadi di kali Naen beberapa waktu lalu menegaskan bahwa political discourse sudah masuk di ranah entitas terdalam dari kebudayan itu.
Hel keta adalah identitas Biinmafo. Hanya upacara hel keta menjadi kekhasan dan unik bagi adat perkawinan di seantero tanah Biinmafo. Ia menjadi pembeda.
Esensi Hel Keta
Seperti diketahui selama ini praktik budaya hel keta di tanah Biinmaffo merupakan tahap awal suatu pasangan muda direstui sebagai suami istri tidak hanya dari dunia nyata melainkan dari para leluhur.
Hel keta dimaknai sebagai upaya penyembuhan dan penyegaran jiwa bagi kedua belah pihak terutama calon pengantin sekiranya di masa lalu nenek moyang mereka pernah berseteru, berperang atau melakukan tindak kekerasan yang berujung pada pertumpahan darah.
Barangkali naluri jiwa yang terejawantah dalam bentuk kekerasan itu masih memagari perangai dan prilaku generasi sekarang yang ingin hidup berkeluarga. Menghentikannya aura dan prangai negatif butuh rekonsiliasi batin dan jiwa. Intinya leluhur perlu didamaikan terlebih dahulu karena merekalah yang mampu memberi restu bagi suatu pasangan.
Upacara sakral hela keta adalah jawabannya. Melalui hel keta keluarga Biinmafo terbentuk. Itu terpatri sampai hari ini. Katakanlah kalau sepasang anak muda mau menikah yang harus dilakukan terlebih dahulu adalah hel keta sebagai bukti awal sah secara adat.
Pada konteks ini makna kebudayaan terjawab bahwa kebudayaan merupakan hasil manifestasi prilaku masyarakat masa lalu yang mengakar sebagai hasil dari daya cipta, rasa dan karsa manusia kemudian menjadi petunjuk kehidupan bagi generasi selanjutnya.
Hel keta tidak lahir begitu saja tetapi ia sebagai buah kebajikan budi dan luluhnya hati nenek moyang tanah Biinmafo terdahulu yang memerlukan dan memastikan bahwa perdamaian sebagai unsur hakiki dalam suatu peradaban manusia. Simpulannya hela keta menjadi sikap rekonsiliasi yang efektif dan elegan atas kekacauan hidup di masa lalu.
Kesakralan budaya hel keta terletak pada tiga hal yakni tutur adatnya (peaceful lyrics), lokasi (river banks) dan media korban (sacrification) sebagai silih atas kekisruhan di masa lalu. Terkait dengan itu, yang menjadi perdebatan etnolinguistik dari acara hel keta di kali Naen adalah bagaimana pemangku adat yang menjalankan acara adat tersebut menyampaikan tutur adat dalam acara hela keta untuk tujuan politik.
Ketika tutur adat hel keta dipaksakan masuk dalam konteks politik maka akan terjadi friksi makna bukan saja dari nenek moyang yang terdahulu tetapi juga masyarakat yang masih eksis dan menjunjung nilai kesakralan hel keta.
Jika tutur adat hel keta fleksibel dalam urusan apa saja maka ke depan perlu adanya pembaharuan budaya secara menyeluruh agar entitas budaya tidak gampang dicaplok ke ranah politik untuk kepentingan tertentu.
Selain itu, apakah nenek moyang tanah Biinmafo benar-benar menggariskan dan menasbihkan bahwa hel keta tidak hanya dalam konteks adat perkawinan biologis semata seperti yang dilakukan selama ini tetapi juga dalam hajatan politik sebagai perkawinan idiologi atau perspektif politik?
Di sini bisa jadi tafsiran hakiki dari hel keta sebagai esensi dasar kebudayaan tanah Biinmaffo menjadi amburadul dan akan berdampak pada kerancuan narasi ektra dan intra hel keta di masa depan. Selain itu apakah ini bentuk pelecehan terhadap kesakralan budaya hel keta sebagai milik bersama saudara dan sedarah Biinmafo? Para budayawan punya kans mendiskusikan secara tersendiri soal ini.
Memang tak pernah diduga sebelumnya oleh berbagai kalangan bahwa aktus politik yang dimainkan oleh pasangan Kristina Muki dan Yosep Tanu sangat berbeda. Mereka berani menyapa insan demokrasi di seluruh penjuru TTU melalui media budaya hel keta sebagai profil politik yang tentu saja sangat lekat dan erat dengan kesehariaan masyarakat TTU.
Walaupun tampaknya acara itu berpolemik dan penuh kontroversi di tengah masyarakat. Mereka lihai menabuh gendrang politik yang menghadirkan entitas budaya sebagai salah satu bentuk diskursus politik.
Pasangan ini berhasil mengkonversi kesakralan hel keta ke dalam aktus dan panggung politik. Celah itu belum pernah dimainkan dalam pertunjukan politik selama ini. Pasangan cukup jeli dan lihai melihat fenomena itu. Sebab jika ditinjau dari sisi antropologis memang budaya hel keta sebagai lambang rekonsiliasi.
Lumrah dalam Berpolitik
Apakah wajar ketika hel keta digiring masuk ke ruang politik? Dalam kaca mata masyarakat awam berpolitik tentu saja tidak. Bahwasannya nilai esensi dari hel keta bukan bersentuhan dengan perkawinan idiologi politik. Melainkan murni kekhasan adat perkawinan biologis masyarakat Biinmaffo.
Namun kalau kita sedikit jernih melihat dari sudut pandang politik sebenarnya politisi yang memiliki prilaku politik yang lihai akan selalu mencari cara apa saja dalam menarasikan atau mewacanakan pandangan ideologi politiknya sejauh tidak melanggar hak asasi manusia.
Atas dasar itu boleh jadi acara hel keta di kali Naen sebagai bentuk improvisasi dan dialektika berpolitik yang memang sengaja dibuat sebagai upaya untuk menjadi bahan perguncingan atau mempercakapakan secara menyeluruh paket yang diusung sekaligus bahan gossip politik.
Tentu saja pasangan ini tidak peduli soal narasi antagonis dari netizen yang menolak secara de facto hajatan hel keta itu tetapi bagaimana mencari rating(popularitas) percakapan di dunia maya maupun nyata pasangan yang diusung. Syukur-syukur ada netizen atau kalayak luas yang mengambil sikap protagonis.
Yang namanya politisi tentu lihai memainkan dan memakai tema apa saja sebagai rujukan dan tujuan politik sejauh isu yang diangkat tidak berhubungan dengan rasisme, merendahkan etnis lain dan money politics atau menghancurkan harkat dan martabat manusia.
Pada konteks pemahaman seperti ini mestinya acara hel keta tidak dimaknai sebagai salah satu upaya menghalalkan segala cara dari pasangan Kristina Muki dan Yosep Tanu jika memang rujukannya adalah atas nama rekonsiliasi hati dan jiwa.
Kalau memang dugaan dan persepsi netizen benar bahwa kegiatan hel keta di pinggir kali Naen melanggar aturan maka dalam koridor hukum berdemokrasi ada institusi Bawaslu sebagai tempat yang pas. Dan mestinya lembaga seperti Bawaslu mampu mengurusi pelanggaran itu dan menjembatani narasi para netizen yang menolak. Atau kalau memang acara adat hel keta untuk tujuan politik adalah bentuk pelanggaran budaya maka tentu saja tetua adat dan pemerhati budaya mestinya gusar dengan gelagat politik seperti itu. Namun kenyataannya sejauh ini tidak ada instansi yang repot dan reseh atau mempertanyaakan hajatan hel keta di Naen itu.
Fenomena kejutan dalam teatrikal politik apalagi menjelang pilkada sebenarnya hal yang wajar dan lumrah sebagai wujut dari gendrang suksesi kepemimpinan di suatu wilayah. Justru di situlah makna dari pesta demokrasi. Semua politisi berjuang sekeras mungkin mencari “politic discourse” dan “policy profil” yang pas sebagai pundi yang elegan dan mumpuni dalam menapaki kotestasi sekelas pilkada demi menarik hati pemilih.
Di sini pemilih atau rakyat tetap berada di puncak jika masyarakat mempunyai literasi politik dan kecerdasan berpolitik. Suatu kecerdasan yang mampu membedakan dan mendeteksi hal benar dan salah yang diwacanakan para politisi dan tameng-tameng yang dipakai. Seorang politisi dalam konteks pilkada TTU yang sangat kompetitif tentu saja membutuhkan politikus ulung, jitu dan lihai yang mampu menguasai medan laga dan bagaimana cara memulai suatu kontestasi politik. Ini menjadi kunci.
Masing masing politisi tentu punya sudut pandang dan cara tersendiri tergantung konteks tema kedaerahan dan peran yang dimainkan serta filosofi hakiki sang politisi. Para politisi yang bermain di area pertahanan selalu punya cara bagaimana memulai suatu kontestasi politik. Itulah seni berpolitik. Dan untuk sampai pada level seperti ini butuh kecerdasan berpolitik.
Ia tidak lahir begitu saja namun berkanjang dalam pergulatan yang berkepanjangan. Ia kebal (menghalau pro kontra) tetapi juga tebal bukan saja logistik politik tetapi juga idiologi dan naluri politiknya. Tidak hanya modal duit yang disanjungkan sebagai sokongan logistik tetapi yang lebih penting gaya bermain. Ia bagai tim sepak bola. Salah bermain maka kekalahan menanti. Atau suatu tampilan musik orkestra yang mesti para pemusik lihai memainkan alat musiknya.
Sebab politik itu adalah seni,ia butuh improvisasi dan dialektika. Politik sebenarnya bukan soal hate and love. Dalam politik tidak ada yang absolut. Selalu ada tesis-tesis baru sebagai medan laga yang bisa diperguncingkan. Sehingga sampailah pada satu konsep dasar suatu kontestasi berpolitik yakni ujian kecerdasan mencari “cela”.
Ketika cela satu sudah pernah dipakai atau digunakan maka butuh cela lain sebagai perangkap untuk menggiring polarisasi gagasan. Siapa yang cerdas bermain di celah sempit, berbeda itulah yang menjadi pemenang dalam suatu kontestasi. Hari kemarin pasangan Kristina Muki dan Yosep Tanu besok lusa mungkin pasangan lain bisa mengusung isu yang lain. Masyarakat siap menanti hidangan dan sajian politik yang disuguhkan oleh para kontestan.