Ruteng, Vox NTT – Badan pengawas pemilu (Bawaslu) Kabupaten Manggarai membeberkan sejumlah potensi pelanggaran pada tahapan pencocokan dan penelitian (Coklit).
Ia mengungkapkan sejumlah potensi pelanggaran yang mungkin terjadi, dan akan menjadi fokus pengawasan Bawaslu Kabupaten Manggarai.
Koordinator Divisi Hukum, Penanganan Pelanggaran dan Penyelesaian Sengketa Bawaslu Kabupaten Manggarai, Fortunatus Hamsah Manah mengungkapkan sejumlah potensi pelanggaran yang mungkin terjadi dan menjadi fokus pengawasan di tahapan Coklit di antaranya;
Pertama, petugas Pemuktahiran Data Pemilih (PPDP) tidak melakukan Coklit atau melakukan Coklit tetapi tidak sesuai mekanisme, tata cara dan prosedur termasuk pelaksanaan protokol Covid-19.
Kedua, ada pihak yang sengaja memberi keterangan yang tidak benar mengenai dirinya atau diri orang lain saat Coklit data pemilih.
Ketiga, ada pihak yang melakukan perbuatan memalsukan data dan daftar pemilih.
Keempat, PPS, PPK hingga KPU kabupaten/kota yang tidak melakukan verifikasi dan rekapitulasi terhadap data dan daftar pemilih.
Kelima, KPU kabupaten/kota tidak memberikan salinan DPS (Daftar Pemilih Sementara) kepada Bawaslu kabupaten dan tidak mengumumkan Daftar Pemilih Sementara.
Khusus untuk penyelenggara, ancaman pidananya ditambah seperti tiga lebih besar dari ancaman pidana maksimum.
Hal itu diingatkan pihaknya agar sejak awal kerja-kerja pemuktahiran data pemilih dilakukan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Menurutnya, ada dua jenis pelanggaran yang mungkin terjadi di tahap Coklit yaitu pelanggaran administrasi dan pidana.
“Untuk pelanggaran administrasi, Bawaslu Kabupaten Manggarai berupaya untuk langsung memberi saran perbaikan saat itu juga di tempat Coklit,” ungkap Alfan kepada VoxNtt.com, Selasa (27/07/2020).
Namun jika tidak diindahkan, maka Bawaslu Kabupaten Manggarai akan memberi rekomendasi perbaikan secara tertulis, dan jika tetap tidak diindahkan, maka akan diproses secara hukum administrasi.
Protokol Covid-19 juga menjadi fokus pengawasan Bawaslu Manggarai, dan pelanggaran terhadap protokol Covid-19 oleh PPDP dan PPS masuk kategori pelanggaran administrasi atau pelanggaran terhadap mekanisme, tata cara dan prosedur Coklit.
Pihaknya juga mengingat adanya ancaman pasal pidana di tahap Coklit di antaranya memberikan keterangan tidak benar mengenai diri sendiri dan diri orang lain.
Selain itu juga memalsukan data pemilih, upaya menghilangkan hak pilih dan penyelenggara pemilihan yang tidak melakukan verifikasi dan rekapitulasi data pemilih.
Dikatakan Alfan, hak pilih adalah hak konstitusional yang dijamin oleh Undang-undang Dasar 1945, dan berbunyi kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-undang Dasar.
Hak pilih juga, menurut Alfan, dijamin dalam konstitusi sebagaimana dinyatakan dalam Putusan MK Nomor 011-017/PUU-I/2003.
Yang menyebutkan,”Menimbang, bahwa hak konstitusional warga negara untuk memilih dan dipilih adalah hak yang dijamin oleh konstitusi, undang-undang, maupun konvensi internasional, maka pembatasan, penyimpangan, peniadaan dan penghapusan akan hak dimaksud merupakan pelanggaran terhadap hak asasi warga negara.
Selain itu, hak pilih secara spesifik termuat dalam UU Nomor 30 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang berbunyi,
“Setiap warga mendapatkan hak dipilih dan memilih dalam pemilihan umum berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”.
Dalam Pasal 56 Ayat (1) dan (2) Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016, berbunyi, Pertama, warga negara Indonesia yang pada hari pemungutan suara sudah berumur 17 (tujuh belas) tahun atau sudah/pernah kawin, mempunyai hak memilih.
Kedua, warga negara Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didaftar 1 (satu) kali oleh penyelenggara.
Sementara di Pasal 57 ayat (3) UU Nomor 10 Tahun 2016 dikatakan,” untuk dapat didaftar sebagai pemilih, warga negara Indonesia harus memenuhi syarat tidak sedang terganggu jiwa/ingatannya dan atau tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
Penulis: Pepy Kurniawan
Editor: Ardy Abba