Editorial, Vox NTT-Kunjungan Anggota DPR RI, Julie Sutrisno Laiskodat ke Keuskupan Ruteng, Senin (20/07/2020), menarik untuk dicatat.
Kedatangan istri Gubernur NTT, Viktor Bungtilu Laiskodat tersebut dalam rangka mengisi waktu reses.
Selain menyerap aspirasi gereja di bidang pertanian, lingkungan hidup, kehutanan, dan kelautan, Julie menyebut NTT sangat potensial dan memiliki keunikan sumber daya dalam bidang-bidang tersebut, dibanding provinsi lain.
Menurut dia, yang harus dibuatkan adalah grand design matang sehingga bisa menghasilkan lompatan percepatan pembangunan secara signifikan.
Sementara Uskup Ruteng, Mgr. Sipri Hormat, Pr, menegaskan, pembangunan pariwisata sangat membutuhkan wawasan pembangunan berkelanjutan dan ekologis.
Sebab itu, potensi-potensi pertanian, peternakan dan perikanan, kehutanan dan kelautan perlu digarap secara maksimal. Dalam rangka pembangunan yang berkelanjutan tersebut, Mgr Sipri menilai pertambangan kurang cocok untuk konteks NTT.
Pernyataan Uskup ini sebenarnya penegasan gereja Manggarai di tengah polemik pertambangan batu gamping dan pembangunan pabrik semen di Manggarai Timur.
Pertemuan Uskup yang mewakili pihak gereja dan Ibu Julie sebagai pihak pemerintah bisa dibaca sebagai langkah dialogis untuk mencari format yang tepat dalam membangun NTT. Sebelumnya, Gubernur Viktor sendiri juga telah mengunjungi keuskupan Ruteng untuk berdialog seputar masalah tersebut.
Terlepas dari polemik dan perbedaan persepsi yang sedang berkecamuk, potensi pertanian NTT selama ini memang sudah menjadi sektor primer yang telah lama menggerakan ekonomi rakyat.
Namun mengapa provinsi ini masih terkategori miskin di tengah kelimpahan sumber daya alam yang ada? Mengapa angka kemiskinan NTT justru mendapat sumbangan banyak dari para petani? Untuk itu perlu ditelisik masalah dan tantangan seputar pertanian NTT.
Tantangan Pertanian NTT
Dalam diskusi bertajuk “Kemiskinan dan Pola Pengembangan Lahan Kering NTT” di Aula DPD Propinsi NTT, Kota Kupang, Selasa (07/01/2020), beberapa pakar pertanian mengungkapkan beragam masalah.
Tony Jogo, penasehat pertanian Gubernur NTT menilai masalah utama para petani NTT adalah ketersediaan air. Banyak lahan pertanian di NTT tidak produktif karena kekurangan air.
Menurutnya, mekanisasi pertanian memang sangat dibutuhkan, tetapi itu merupakan tahap lanjut setelah kebutuhan air sudah dipenuhi.
Ia juga menyoroti masa depan pertanian NTT dimana motivasi orang NTT untuk menjadi petani makin berkurang.
“Usia petani di NTT makin kurang produktif, ini yang perlu diwaspadai ke depan” sebutnya.
Selain Tony, akademisi Universitas Kristen Artha Wacana Kupang, Zet Malelak, mengungkapkan tantangan pertanian NTT dan Indonesia pada umumnya adalah kekurangan lahan akibat geliat pembangunan infrastruktur.
“Saat ini Indonesia tak terkecuali NTT mengalami deagrikulturalisasi” katanya.
Di tengah kondisi tersebut, berdasarkan hasil penelitan, jumlah jam kerja petani sangat sedikit yakni 99 hari kerja per tahun. Selebihnya, kata Zet, para petani menganggur.
Sementara Alex Lamba, praktisi pertanian NTT juga ikut memberikan gagasan dalam mengurai masalah pertanian NTT.
Ia melihat bahwa penyebab utama petani di NTT selalu miskin disebabkan oleh kekurangan modal dan alat produksi modern untuk mengolah tanah yang keras dan berbatu-berbatu (lahan kering).
Dengan kata lain, petani selalu kalah berhadapan dengan ciri khas pertanian lahan kering NTT. Dari berbagai pengalaman yang ia temui di lapangan, Alex menyimpulkan petani NTT terus miskin karena tak sanggup mengolah tanah yang kering, tandus, keras dan berbatu-batu.
Menurutnya, kondisi tanah NTT harus dilawan dengan tenaga mesin yang tepat. Tanah yang keras dan berbatu itu harus digemburkan dengan excavator.
Selain menggemburkan tanah alat ini juga bisa dipakai untuk membuat bendungan alami di daerah yang cekung untuk menanam air. Excavator juga bisa dipakai untuk membuka lahan baru bagi petani.
Dari uraian ini, setidaknya tiga masalah utama sedang menghantui hulu pertanian NTT yakni ketersediaan air, kekurangan lahan dan deagrikulturalisasi akibat industrialisasi, serta kekurangan modal dan alat produksi modern.
Sementara di sektor hilir, para petani masih sering mengeluhkan kesulitan mengakses pasar serta persoalan harga rendah akibat panjangnya rantai distribusi serta monopoli.
Persoalan-persoalan ini mestinya dibereskan dulu sebelum kita bregerak terlalu jauh di sektor pariwisata sebagai prime mover pembangunan NTT di era kepemimpinan Viktor-Jos.
Tanpa membereskan sektor kerakyatan seperti pertanian, peternakan, perikanan dan kelautan, mustahil mimpi itu bisa berdampak pada kesejahteraan rakyat.
Kunjungan Gubernur Viktor ke Sikka pada Minggu 26 Juli 2020 menunjukan keresahan itu. Ia mengatakan, di tengah kemiskinan NTT saat ini, sebagian besar pasokan pangan berasal dari luar NTT.
“Sudah miskin, semua dari luar,” ungkapnya di sela-sela kunjungan ke kebun hortikultur milik Yance Maring, petani muda di Sikka yang menggunakan teknologi irigasi tetes pada Minggu (26/7/2020) di Wailiti, Maumere.
Tak hanya di Maumere, di Labuan Bajo saja sebagai sentra pariwisata NTT, sayur dan buah-buahan masih didatangkan dari luar daerah seperti Bima dan Makassar.
Semoga keresahan Gubernur NTT dan lirikan bu Julie ke sektor pertanian segera dijawab dengan format kebijakan yang tepat dan fokus sehingga pariwasata mendatangkan berkat dan para petani sejahtera. (VoN).