Kota Kupang, Vox NTT-Beberapa waktu lalu, VoxNtt.com menghadiri sebuah acara syukuran wisuda di RT 26, Kelurahan Maulafa, Kota Kupang.
Saat itu sungguh terkejut dengan seorang mahasiswi. Ketika jam makan dia tampak sibuk, menggandeng lima bapak menuju ke dalam tenda acara. Di tenda itu mereka ikut santap malam bersama.
VoxNtt.com kemudian mendekat untuk mencaritahu tentang pemandangan yang jarang ditemui itu.
“Mereka tunanetra kaka. Di sini ada 30 KK (kepala keluarga). Saya harus urus mereka makan,” kata Natalia sambil memberi piring makan pada seorang bapak yang juga tunanetra.
Ia sudah mencedok piring makan itu berisi nasi dan lauk. Lalu menyerahkan kepada lima bapak penderita tunanetra.
Natalia menjelaskan di kompleks itu, sebanyak 30 KK adalah penderita tunanetra.
Dahaga coretan kemanusiaan, memaksa gejolak pena VoxNtt.com untuk mengungjungi kampung tunanetra itu, Minggu (02/08/2020) petang.
Pukul 15.00 Wita, VoxNtt.com tiba di sebuah kompleks perumahan yang berbahan setengah tembok dan berdinding pelupuh lontar itu.
Ada sekitar 5 rumah di sana dengan kondisi fisik yang sama. Sebagian dinding sudah rusak dimakan rayap.
Beberapa bapak, usia kisaran setengah abad, menyambut VoxNtt.com di halaman rumah, persis di sebelah kiri jalan. Hampir semua rumah itu memiliki ukuran sama, sekitar 7×10 meter.
Tuan rumah Eyustayus Agustinus Nainoe (48), beberapa menit kemudian mempersilakan VoxNtt.com untuk duduk di teras rumah sederhana itu, sambil menghidangkan segelas kopi.
30-an KK Penderita Tunanetra Berdomisili di Maulafa
“Wajahnya Wali Kota Kupang kami tidak pernah lihat. Dulu ke sini saat kampanye saja,” cetus salah satu perempuan usia sekitar setengah abad dari kursi paling kiri dekat pintu masuk rumah saat sedang asyik menenggak kopi.
Eyustayus menjelaskan, kompleks itu dihuni puluhan KK tunanetra. Sebelum tahun 2000-an mereka didata oleh Dinas Sosial untuk kemudian mendapat program pelatihan di panti disabilitas.
“Di sini hanya tempat kos. Setelah semua keluar dari panti tunanetra. Panti Hikbiah namanya. Panti itu terletak di Oepura Kota Kupang. Itu pemerintah yang buat program. Kan kalau di kampung mereka yang tuanetra itu tidak berguna kan. Pemerintah buat supaya orang cacat itu tidak boleh kalah dari orang normal. Supaya bisa mandiri,” jelas Eyustayus.
Menurutnya, setelah mendapat pelatihan di panti dan memperoleh sertifikat keterampilan. Para tunanetra itu kemudian kembali ke masyarakat.
Kata dia, sebagian besar mereka memilih Maulafa sebagai daerah tempat tinggal karena memiliki akses yang dekat ke semua tempat di Kota Kupang untuk bekerja.
“Dulu mereka tinggal di sini semua. Kalau berkumpul banyak sekali. Tapi yang lain, sudah pindah dan kos di RT 24 dan 25. Di sini sekarang hanya tersisa 5 Kepala Keluarga,” ujarnya.
Tak lama kemudian, tiga bapak penderita tunanetra datang dan duduk bersama kami di teras rumah yang sama.
Adalah Yulianus Junior (40). Ia berasal dari Kabupaten Mangarai Barat. Pada tahun 1993, ia bersama 9 orang dari Manggarai yang juga penderita tunanetra sama-sama berangkat ke Kupang untuk mendapat keterampilan khusus di Panti Hikbiah.
Menurutnya, sejak tahun 2007 ia sudah tinggal di Maulafa setelah mendapat keterampilan khusus memijat di panti itu.
Dengan keterampilan khusus memijat, setiap hari ia mendapatkan pundi-pundi rupiah dengan menjadi pemijat khusus tamu di Hotel Flobamor II Kupang.
“Saya berhenti dari Hotel tahun 2015 karena tamu sudah tidak banyak dan pemasukan saya sudah tidak cukup untuk kebutuhan keluarga lagi,” kata Yulinanus.
Memakai kacamata hitam dan baju singlet, ia kemudian menjelaskan bahwa, setelah berhenti menjadi pemijat khusus di hotel, ada pekerjaan lain yakni jual sapu dan bisnis kerupuk.
“Pijat masih saya lakukan per minggu dua kali hanya untuk langganan saya. Langganan banyak. Saya mendapatkan Rp100 ribu dari biaya sekali pijat,” jelas pria beranak dua itu.
Anak itu berumur dua tahun dan satu 11 tahun. Sebelum pandemi Covid-19, menurutnya sebulan ia mendapatkan penghasilan rata-rata sebesar Rp 2 Juta per bulan. Namun, oleh pandemi Covid-19, penghasilanya merosot jauh.
“Sebulan 250 ribu untuk biaya kos. Untuk sekarang saya jual sapu dan biasanya mangkal KFC. Delapan sapu setiap hari biasanya saya pikul dan laku terjual 3-4 dengan harga persapu Rp 20.000,” jelasnya.
Penderita tunanetra lain, Yosep Beda (52) asal Kabupaten Ende juga hadir di situ. Pria yang memiliki anggota keluarga 4 orang itu mengaku datang ke Kupang tahun 1986.
“Waktu itu pegawai Dinas Sosial yang ajak. Dulu itu kami masih sertifikat umum,” jelas Yosep.
Menurutnya, setelah mendapat serifikat keterampilan tahun 1986, ia kembali ke Ende dan kemudian datang ke Kupang pada tahun 1997.
“Pada dasarnya kami semua penderita tunanetra ini punya pekerjaan sama yakni jual sapu dan kerja di hotel untuk pijit khusus tamu,” jelasnya.
Yosep menjelaskan, Covid-19 adalah masa yang sangat sulit karena penghasilan tidak menentu.
Sementara itu hingga kini, tak ada satupun bantuan khsusus disabilitas dari Pemerintah Kota Kupang, selain bantuan Program Keluarga Harapan (PKH) dari Pemerintah Pusat.
“Dari Pemkot tidak ada. Palingan kalau bantuan Sembako kami dapat dari orang-orang yang peduli dengan kami selama ini,” jelasnya.
“Dari Pemkot tidak ada bantuan sama sekali,” sambungnya lagi.
Informasi yang berhasil diperoleh VoxNtt.com, hampir seluruh penderita tunanetra yang berdomisili di Maulafa, memiliki keterampilan dan pekerjaan yang sama yakni memijit dan menjual sapu.
Mereka menjadikan Maulafa sebagai tempat beradaptasi dengan masyarakat normal. Ini adalah pilihan mereka karena akses yang bisa menjangkau ke semua lokasi untuk mencari nafkah di Kota Kupang.
Hingga kini, bahkan sudah belasan hingga puluhan tahun, beristri dan memiliki anak, mereka tetap masih tinggal di kos-kosan karena tidak punya biaya untuk membeli tanah dan membangun rumah sebagai tempat tinggal.
Penulis: Ronis Natom
Editor: Ardy Abba