Ruteng, Vox NTT – Organisasi Katolik Vox Populi Institute Indonesia kembali menggelar diskusi politik seri XVIII yang bertajuk ‘Memburu Tiket Parpol’, Senin (03/08/2020), pukul 14.00-16.30 WIB.
Ketua Umum Vox Point Indonesia Yohanes Handojo Budhisedjati mengatakan Parpol memiliki peran penting dalam memberikan tiket kepada calon kepala daerah pada Pilkada 9 Desember mendatang.
“Parpol-lah yang mengusahakan seorang kandidat di samping mereka yang maju secara independen. Akan sangat mustahil juga jika Pemilu tanpa partai,” kata dia dalam diskusi online itu.
Menurutnya, calon yang berkompetisi dalam Pilkada harus memenuhi empat kriteria utama.
Keempatnya yakni elektabilitas, integritas, kapabilitas, dan finansial. Meski demikian, ia tidak menampik munculnya berbagai praktik yang kotor dalam Pilkada.
“Ada banyak pertanyaan kita dalam Pilkada, contoh saja biaya yang digelontorkan kandidat yang sangat bombastis. Terutama bagaimana mengembalikannya, kalau dihitung secara matematis uang itu tidak bisa dikembalikan dengan cara formal (berdasarkan gaji, red),” kata Handojo.
Politisi Partai Golongan Karya (Golkar) Melkiades Laka Lena menjelaskan memburu tiket partai merupakan pekerjaan yang tidak mudah apalagi calon yang tidak memiliki partai politik (independen).
Partai, kata dia, akan mengutamakan kadernya dalam Pilkada maupun Pilpres.
“Ini pekerjaan yang sukar-sukar mudah, mudah-mudah sukar, apalagi bagi orang yang tidak berpartai politik, karena sejatinya kader politik itu akan mengutamakan kader partainya,” katanya.
Melki membeberkan tiga kategori calon yang akan diusung partai yakni petinggi partai, kader partai atau keluarga dekat partai.
“Ini yang menjadi logika partai politik,” kata Wakil Ketua Komisi IX DPR RI itu.
Di samping ketiga kategori tersebut Melki mengakui partai juga bersandar pada hasil survei terhadap calon pemimpin sehingga lebih terbuka.
Hal itu termasuk mempertimbangkan kapasitas dan elektabilitas hingga kemampuan logistik.
“Survei itu itu menjadi satu-satunya jurukan partai. Makin kesini satu-satunya menjadi di samping kategori tadi. Saat ini partai politik terbuka dengan suara rakyat melalui survei,” tuturnya.
Sementara, Calon Bupati Kabupaten Nabire, Papua, Fransiskus Xaverius Mote menyampaikan partai seharusnya turun secara langsung ke daerah untuk mendapatkan kandidat yang siap bekerja untuk rakyat.
Hal itu dilakukan melalui mekanisme partai dengan melibatkan organ-organ partai dari pusat hingga daerah.
“Calon kepala daerah idealnya tidak lagi memburu partai politik. Malah sebaliknya partailah yang memburu kandidat yang layak. Dalam hal ini Parai politik tau benar, siapa yang pantas dan siapa yang layak untuk menjadi calon pemimpin di daerah,” beber calon bupati yang mengusung tagline Nabire Sejahtera ini.
Partai mesti mempertimbangkan ke depannya agar bakal calon kepala daerah tidak lagi berbondong-bondong dan antre ke Jakarta untuk merebut hati partai.
Partai kata dia, mesti turun langsung di daerah dan menakar calon-calon yang memiliki elektabilitas dan integritas.
“Saran kami juga kepada partai politik untuk mengenal ke bawa, tidak boleh diputuskan di Jakarta saja. Jangan Jakarta yang mengambil kebijakan di daerah, siapa yang unggul di daerah, itu yang harus didukung,” kata Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Papua ini.
“Harus memburu kandidat yang pas dan menetapkan dia. Karena maju mundurnya Indonesia juga di tangan Partai Politik,” tambahnya lagi.
Sementara itu, calon Wakil Bupati Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU) NTT, Eusabius Binsasi mengemukakan komunikasi politik menjadi instrument yang penting dalam mendapatkan dukungan partai politik.
“Faktanya, meskipun calon pemimpin punya integritas, elektabilitas, akuntabilitas hingga isi tas percuma saja kalau tidak didukung oleh partai politik,” kata Mantan Direktur Jenderal (Dirjen) Bimbingan Masyarakat (Bimas) Katolik Kementerian Agama periode 2014-2019 itu.
Untuk itu, Wakil dari Juandi David ini menekankan komunikasi politik harus dibangun oleh calon mulai dari tingkat daerah kabupaten, provinsi sampai dengan tingkat pusat.
Komunkasi yang dibangun adalah untuk mensinergikan cita-cita dan kemampuan calon pemimpin daerah dengan visi misi partai.
“Saya mendatangi semua partai dengan harapan akan mendapatkan rekomendasi. Karena kalau saya mendapat partai tertentu belum tentu saya mendapat peluang,” kata Eusabius yang telah terdaftar sebagai anggota Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) dan dukungan dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).
Lucius Karus, peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia menilai situasi pandemi ini bisa menjadi peluang sekaligus celah dalam Pilkada tahun ini.
Menurutnya, terdapat banyak praktik penyimpangan yang bisa saja terjadi dalam proses perekrutan Pilkada.
“Coba kita bayangkan fokus kita saat ini adalah Covid-19. Di saat bersamaan ada yang bergerilya mendapatkan tiket partai. Perburuan tiket di tengah masyarakat yang kurang fokus dan serius ini menjadi rentan bagi praktik penyimpangan untuk mendapatkan tiket tersebu,” katanya.
Di sisi lain Pilkada di tengah Covid-19 ini mampu menciptakan pembatasan terutama nafsu untuk mendapatkan tiket partai.
Ia menilai proses rektutmen kepala daerah ini memberi peluang bagi praktik jual beli kursi untuk mendapatkan tiket di partai politik.
Ia menambahkan, koalisi yang dibangun untuk mengusung kepala daerah lebih banyak dibangun atas inisiatif calon kepala daerah. Tidak ada format dari DPP partai di Jakarta yang memastikan koalisi yang sama dari suatu daerah ke daerah yang lain.
Hal yang terjadi adalah calon diminta untuk mencari sendiri partai politik untuk bergabung dengan partai koalisi.
“Karena ini inisiatif calon kepala daerah maka bagaimana soal meyakini partai tadi dan saya tidak yakin itu dengan kata-kata kosong itu bisa meyakinkan elit partai politik. Dari daerah menuju Jakarta banyak sekali yang harus dilewati untuk mendapatkan nomor-nomor elit partai politik,” ujarnya.
“Ada jalan berliku yang dilalui calon tadi pasti megundang jalan pintas untuk bisa menjadi calon definitif ,” tambahnya lagi.
Penulis: Pepy Kurniawan
Editor: Ardy Abba