Editorial, Vox NTT- Ada banyak pihak yang memberikan pandangan, kritik, saran dan sejenisnya soal rencana penambangan batu gamping dan pembangunan pabrik semen di Desa Satar Punda, Kecamatan Lamba Leda, Kabupaten Manggarai Timur.
Komentar boleh saja beragam. Namun, saya tertarik untuk memahami lebih dalam pernyataan penuh tajam yang keluar dari mulut Wili Nurdin. Ia menyodorkan sorotan lain, mungkin lain dari yang lain.
Tentu bukan karena sorotan lain tidak penting. Tetapi pernyataan mantan Ketua DPC PDIP Manggarai Timur itu memang penting, bahkan urgen untuk segera dibuka ke ruang khalayak.
Pada 17 Juni 2020 lalu dalam kesempatan wawancara dengan wartawan VoxNtt.com, Wili Nurdin secara tegas meminta DPRD untuk menelusuri dan mendesak Pemkab Matim mempertanggungjawabkan dana reklamasi ekploitasi tambang mangan di Serise yang sudah meninggalkan lubang-lubang.
Di mata Wili, reklamasi pasca tambang di Serise dan Lengko Lolok, Desa Satar Punda merupakan tanggung jawab PT Istindo Mitra Perdana dan PT Arumbai Mangan Bekti. Dua perusahaan tersebut dilaporkan pernah mendapatkan izin operasi produksi mangan di wilayah Desa Satar Punda.
Baca: Ada Lubang Menganga di Satar Punda
PT Istindo Mitra Perdana dan PT Arumbai Mangan Bekti harus melakukan pemulihan kembali lubang bekas galian mangan yang masih mangap dan Pemda Manggarai Timur harus mengawasinya.
Wili juga menyodorkan opsi lain. Jika dua perusahaan yang sudah mengeruk isi bumi di Desa Satar Punda selama puluhan tahun itu meninggalkan lokasi tambang tanpa melakukan reklamasi, maka selanjutnya sudah menjadi tugas Pemda.
Pemda, menurut Wili, tidak boleh sembunyi dari tanggung jawab. Uang jaminan reklamasi pun dipertanyakan oleh pria yang sudah “makan garam” di dunia politik itu.
Bagi dia, dalam sistem kepemerintahan, orang boleh saja berganti tetapi berkas penting seputar usaha pertambangan tidak mungkin diganti.
Ia menambahkan, apabila uang jaminan reklamasi ada di Kabupaten Manggarai atau pun provinsi, maka DPRD dan Pemda harus menanyakan hal tersebut.
Hal itu agar tidak menimbulkan dugaan bahwa pemerintah sudah melakukan kongkalingkong dengan pihak perusahaan PT Arumbai Mangan Bekti dan PT Istindo Mitra Perdana.
Baca: Terkait Tambang, Wili Nurdin: DPRD Matim Jangan Seperti Kucing Sembunyi Kuku
Menariknya, Bupati Manggarai Timur Agas Andreas malah terkesan “lempar tanggung jawab”. Ia memang tidak menampik adanya dana reklamasi pascatambang berdasarkan Undang-undang. Tetapi Bupati Agas menyebut yang memberikan izin penambangan mangan untuk PT Arumbai Mangan Bekti di Desa Satar Punda tersebut adalah Pemkab Manggarai.
Pernyataan itu disampaikan Agas saat berdialog dengan Aliansi Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) Cabang Ruteng dan Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Cabang Manggarai di ruang rapat Bupati Manggarai Timur, Kamis, 2 Juli 2020 lalu.
Baca: Tambang Mangan di Sirise Belum Direklamasi, Bupati Agas: yang Beri Izin Pemda Manggarai
Lantas benarkah pernyataan Bupati Agas itu? Benarkah dana jaminan reklamasi atau tanggung jawab reklamasi tambang mangan di Desa Satar Punda masih ada di Pemkab Manggarai?
Bola panas yang dilemparkan Bupati Agas kemudian langsung direspon Pemkab Manggarai. Kepala Dinas Lingkungan Hidup Daerah (DLHD) Manggarai Kanis Nasak mengaku pihaknya belum mendapat dokumen terkait eksploitasi tambang mangan di Serise dan Lengko Lolok itu.
Baca: DLHD Manggarai Akui Belum Ada Dokumen, ke Mana Dana Reklamasi Tambang Mangan Sirise?
Jika demikian jawaban Kadis Nasak, lantas tanggung jawab siapa untuk menutup kembali lubang mangap bekas galian tambang mangan di Desa Satar Punda? Jawaban atas pertanyaan ini penting dibuka ke ruang publik.
Tanggung Jawab Reklamasi
Undang-undang Mineral dan Batubara (Minerba) sudah memasuki era baru. Hal ini setelah diterbitkannya UU Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.
UU Nomor 3 Tahun 2020 mungkin saja hadir untuk memberikan pengaturan yang efektif dan komprehensif untuk menyelesaikan permasalahan pengelolaan pertambangan mineral dan batubara saat ini dan di masa depan.
Salah satu poin penting yang telah disempurnakan adalah reklamasi dan pascatambang.
Kembali ke UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Minerba. Pasal 100 disebutkan bahwa pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) wajib menyediakan dana jaminan reklamasi dan jaminan pascatambang.
Kemudian, jika pemegang IUP dan IUPK tidak melaksanakan reklamasi sesuai dengan rencana yang telah disetujui, maka Menteri, Gubernur, atau Bupati/Wali Kota sesuai dengan kewenangannya dapat menetapkan pihak ketiga untuk melakukan reklamasi dan pascatambang dengan dana jaminan tersebut.
Sekarang, dalam UU Nomor 3 Tahun 2020, pemegang IUP dan IUPK yang izin usahanya dicabut atau berakhir tetapi tidak melaksanakan reklamasi/pascatambang atau tidak menempatkan dana jaminan reklamasi atau pascatambang dapat dipidana paling lama 5 tahun penjara dan denda paling banyak Rp 100 Miliar.
Selain sanksi pidana, pemegang IUP dan IUPK dapat dijatuhi pidana tambahan berupa pembayaran dana dalam rangka pelaksanaan kewajiban reklamasi dan/atau pascatambang yang menjadi kewajibannya.
Itulah bunyi UU yang mengatur reklamasi pascatambang. Sekarang, tanggung jawab dan uang jaminan reklamasi pascatambang di Desa Satar Punda masih menjadi misteri.
Jika masih misteri, pertanyaan pentingnya adalah mampukah aparat penegak hukum membuka tabir misteri di balik belum direklamasikannya bekas galian mangan yang masih mangap di Desa Satar Punda itu?.
Penulis: Ardy Abba