Kupang, Vox NTT – Dunia pendidikan Indonesia saat ini harus menekuni kenyataan baru selama virus corona atau Covid-19.
Aktivitas belajar dan mengajar harus dilakukan secara virtual mulai dari tingkat SD, SMP, SMA, hingga perguruan tinggi.
Seluruh siswa di Indonesia harus belajar di rumahnya masing-masing.
Di sisi lain, para guru harus memutar otak agar kegiatan belajar dan mengajar berjalan secara efektif.
Di kota besar misalnya, yang segala akses bisa ditempuh, para guru kerap kelimpungan memberikan materi. Apalagi yang berada di pelosok, rasanya sulit dibayangkan-apalagi dilakukan.
Misalnya, buruknya jaringan internet yang menyebabkan percakapan terputus, pengawasan orangtua yang minim.
Dalam situasi seperti sekarang, ada hal yang hilang, yakni dialog secara langsung antara pendidik dan peserta didik.
Yuliani Eka Suryanti, seorang guru honorer yang mengajar di Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri 1 Ndoso, Desa Tentang, Kecamatan Ndoso, Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur (NTT) bercerita, ada hal yang hilang dalam kesehariannya.
Proses tatap muka dengan para murid sudah tidak berjalan selama hampir tiga bulan.
Beberapa bulan terakhir mereka berada dalam situasi dilematis.
“Beberapa bulan terakhir kami berada dalam situasi dilematis. Bukan hanya tentang rindu, tetapi juga tentang imbauan work from home (WFH) dan home learning,” ungkap Ani demikian Yuliani disapa kepada VoxNtt.com, Kamis (06/08/2020).
Kegelisahan dimulai cerita dia, semenjak diterbitkan Instruksi Gubernur NTT Viktor Bungtilu Laiskodat terkait sistem pembelajaran selama Covid-19 yaitu home learning dari tanggal 20 Maret sampai 4 April 2020.
“Peserta didik wajib belajar dari rumah, dengan tiga metode pembelajaran yang ditawarkan yaitu online, ofline, dan penugasan manual terstruktur,” tutur Ani.
Jebolan Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang itu mengungkapkan di SMAN 1 Ndoso memutuskan untuk memilih tawaran pembelajaran dengan metode penugasan manual.
Mengingat kondisi lingkungan tidak mendukung untuk pelaksanaan pembelajaran online.
Kebanyakan siswa tidak memiliki android. Kebanyakan daerah asal peserta didik juga tidak memiliki akses jaringan internet dan listrik.
Setelah dua minggu dirumahkan, ternyata masa darurat corona diperpanjang hingga 30 Juni 2020. Dan masih menawarkan metode pembelajaran yang sama.
“Gelisah bercampur rindu semakin bertambah, kembali kami memutuskan untuk memilih pembelajaran dengan metode penugasan manual,” ucap Ani.
Kata dia, ada bedanya dengan yang pertama. Kalau yang pertama, tugas langsung diberikan kepada peserta didik sebelum dirumahkan. Sedangkan yang kedua, mereka memutuskan untuk mengunjungi peserta didik dari rumah ke rumah.
“Awalnya memang agak berat, mengingat peserta didik tidak hanya berasal dari satu daerah yang dekat dengan sekolah, tetapi lebih banyak yang berasal dari daerah yang jauh dari sekolah,” pungkasnya.
Bagi Tim
Dengan semangat melayani dan pengabdian, para guru membagi tim untuk mengunjungi siswa dari rumah ke rumah di setiap kampung
“Setiap satu pekan, kami berkunjung tiga kali. Pertama mengantar tugas, kedua memantau proses pengerjaan tugas, dan ketiga mengumpulkan tugas. Hal ini kami lakukan sejak bulan April hingga bulan Juni,” jelas Ani.
“Mendaki gunung, lewati lembah, menyusuri tapak-tapak batuan tak beraspal yang jauhnya belasan bahkan puluhan kilometer,” ceritanya
Menurut Ani, pada saat mengunjungi para siswa itu sebagian dari mereka memanfaatkan kendaraan bermotor. Dan sebagian memilih berjalan kaki, mengingat medan dan kondisi jalan di wilayah itu tidak mendukung.
“Melewati lembah dan mendaki gunung sambil menikmati pemandangan alam ciptaan Tuhan yang sungguh luar biasa,” ungkapnya.
“Lelah, istirahat sebentar dan lanjut lagi. Lelahnya terbayar, ketika melihat senyum ramah mereka diiringi sapaan ” selamat pagi, ibu. Selamat pagi, pak”. Ah rindu.. Sapaan rindu itu dibalas dengan senyum cerah di balik masker.Di balik masker, menanyakan kabar mereka. Jawaban “baik” adalah kelegaan tersendiri,” kata Ani.
Waktu bercanda gurau dibatasi, mengingat situasi pandemi yang makin hari makin parah. Di sela candaan, para guru menyerahkan surat tugas kepada siswa
“Kemudian memberitahu kapan surat rindu (tugas) itu mereka resapi dan kapan harus dibalas. Mengingat balasan surat rindu mereka akan diambil pada waktunya,” imbuhnya.
Menurut dia, pada tahun ajaran baru 2020/2021, belum juga diizinkan untuk melakukan pembelajaran tatap muka.
Guru masih menggunakan metode penugasan manual dengan mengunjungi peserta didik dari rumah ke rumah.
“Lekas sembuh rindu, lekas sembuh bumiku. Izinkan kami melepas rindu tanpa disekati jarak dilain waktu,” harap Ani
Tidak Semua Siswa dan Orangtua Punya HP Android
Lain hal diceritakan Martina Timung, guru Honorer di Sekolah Dasar (SD) Inpres Watu Tere di Desa Ndoso, Kecamatan Ndoso, Kabupaten Manggarai Barat.
Martina menceritakan bahwa dalam proses pembelajaran secara virtual tidak efektif karena rata-rata siswa dan orangtua tidak memiliki Handpone android.
“Waktu bulan Juli kami guru-guru dalam satu hari mengunjungi siswa di dua Kampung. Kami ke Kampung Raja cukup jauh dan kami berjalan kaki,” ceritanya.
Ia menceritakan jarak dari sekolah ke Kampung Raja itu sekitar 5 Km. Sementara jarak sekolah ke Kampung Ndoso sekitar 1 Km.
Ia mengaku, mereka tidak bisa melakukan proses belajar mengajar secara virtual (daring) karena jaringan susah.
“Tidak bisa daring, karena jaringan susah. Telfon biasa saja susah jaringan apalagi jaringan internet. Terus anak-anak dan juga orangtua tidak semua ada HP apalagi yang namanya HP android,” katanya
Ia berharap pemerintah harus meninjau kembali tentang belajar dari rumah.
“Harapan kami semua disini pemerintah harus tinjau kembali tentang belajar dari rumah ini mengingat kami yang di daerah pedalaman,” harapnya.
Penulis: Tarsi Salmon
Editor: Ardy Abba