*Oleh: Ardy Abba
Virus corona memang ganas. Ia sudah menyebar secara global meliputi area geografis yang luas. Makanya, penyakit ini disebut pandemi.
Penyakit yang diduga muncul pertama kali di Wuhan, Tiongkok tersebut telah menggangu stabilitas di berbagai sektor kehidupan manusia. Ini tidak bisa dibantah. Faktanya memang demikian. Tak ketinggalan pada sektor pendidikan.
Di Indonesia, misalnya, sektor pendidikan amat terganggu. Tampak mati suri. Jantung kemajuan yang namanya pendidikan itu sudah dirongrong akibat wabah corona.
Pemerintah tampak ketar-ketir antara dua persepsi. Sisi pertama, ingin menyelamatkan nyawa akibat serangan corona. Di sisi yang lain, bagaimana menyelamatkan jantung kemajuan yang namanya pendidikan itu.
Sari-sari ilmu pengetahuan harus tetap dipompa. Harus tetap didistribusikan hingga ke seluruh generasi penerus bangsa. Dengan begitu, maka bangsa ini tidak akan mati konyol lantaran ditindas oleh perubahan zaman.
Dalam rangka ini, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Nadiem Makarim pun mengeluarkan kebijakan. Kebijakan Nadiem itu muncul pasca tiga bulan sebelumnya sekolah ditutup akibat pandemi corona.
Pertama, Nadiem memutuskan untuk membuka kembali sekolah di zona hijau dan boleh bertatap muka langsung di sekolah. Kedua, murid masuk ke sekolah tergantung orangtua. Ketiga, SMP, SMA, SMK mulai sekolah pada bulan pertama tahun ajaran baru. Sedangkan SD 2 bulan lagi. Keempat, Madrasah berasrama di zona hijau tetap dilarang. Kelima, Checklist untuk sekolah zona hijau dibuka. Keenam, Jumlah siswa di kelas dikurangi. Ketujuh, Dana BOS untuk kebutuhan pencegahan Covid-19. Kedelapan, Kampus tetap ditutup.
Tak hanya itu, diterapkan pula untuk pembelajaran jarak jauh (PJJ). Pembelajaran antara guru dan siswa tidak lagi berada di satu tempat. Bahan-bahan dan instruksi-instruksi detail yang bersifat khusus dikirimkan atau disediakan oleh guru untuk para siswa. Para siswa kemudian melaksanakan tugas-tugas yang akan dievaluasi oleh guru.
Kebijakan PJJ saat ini memang menuai pro-kontra pandangan dari berbagai pihak. Pihak pertama memandang, PJJ sangat efektif. Itu terutama bagi para peserta didik yang lebih dewasa dan memiliki motivasi kuat untuk mengejar sukses dan senang diberi kepercayaan melakukan proses belajar secara mandiri.
Pihak kedua memandang, kesuksesan paket PJJ, yang meninggalkan ketaatan pada jadwal seperti pada proses pembelajaran tatap muka, bukanlah merupakan suatu pilihan yang mudah baik bagi guru maupun peserta didik. Apalagi PJJ tentu saja membutuh teknologi. Internet harus lancar. Listrik harus tersedia, dan lain-lain.
Tantangan di Daerah Terpencil
Kebijakan PJJ ini ternyata tidak semudah seperti yang dibayangkan. Tidak seperti membalikan telapak tangan. Ada tantangan berat yang dihadapi oleh seorang guru. Itu terutama di daerah pelosok yang jauh dari kelancaran teknologi. Jaringan internet sangat susah. Listrik pun tidak ada.
Salah satu contohnya, tantangan berat yang boleh dihadapi Yuliani Eka Suryanti. Seorang guru honorer yang mengajar di Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri 1 Ndoso, Desa Tentang, Kecamatan Ndoso, Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur (NTT) itu mengaku ada yang hilang dalam kesehariannya.
Yuliani gelisah karena proses tatap muka dengan para murid sudah tidak berjalan selama hampir tiga bulan. Kegelisahan dimulai sejak diterbitkan Instruksi Gubernur NTT Viktor Bungtilu Laiskodat terkait sistem pembelajaran selama Covid-19 yaitu home learning dari tanggal 20 Maret sampai 4 April 2020.
Peserta didik wajib belajar dari rumah, dengan tiga metode pembelajaran yang ditawarkan yaitu online, offline, dan penugasan manual terstruktur.
Jebolan Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang itu mengungkapkan di SMAN 1 Ndoso memutuskan untuk memilih tawaran pembelajaran dengan metode penugasan manual. Mengingat kondisi lingkungan tidak mendukung untuk pelaksanaan pembelajaran online.
Kebanyakan siswa tidak memiliki android. Kebanyakan daerah asal peserta didik juga tidak memiliki akses jaringan internet dan listrik. Setelah dua minggu dirumahkan, ternyata masa darurat corona diperpanjang hingga 30 Juni 2020. Dan masih menawarkan metode pembelajaran yang sama.
Baca Juga: Gelisah Bercampur Rindu dari Guru Honor di Mabar
Kata dia, ada bedanya dengan yang pertama. Kalau yang pertama, tugas langsung diberikan kepada peserta didik sebelum dirumahkan. Sedangkan yang kedua, mereka memutuskan untuk mengunjungi peserta didik dari rumah ke rumah.
Guru lain di Kecamatan Ndoso, Maria Aflatirna Marlin juga menyampaikan isi hatinya. guru SDI Lareng, Desa Golo Ru’a, Kecamatan Ndoso itu mengaku harus rela berjalan kaki mengelilingi dua kampung. Dia menyambagi dari rumah ke rumah untuk memberikan pelajaran bagi murid-muridnya.
Jarak dari rumah ibu Afla di Tentang menuju Kampung Lareng dan Kampung Paci yaitu 2 kilometer. Hal itu dilakukannya bersama rekan-rekan guru yang lain. Tujuannya sungguh mulia. Dia tidak mau murid-muridnya tidak mendapatkan ilmu dari guru.
Ibu Afla mulai mengunjungi murid-muridnya sejak tanggal 13 Juli 2020 hingga kini mulai pukul 07.30-12.30 Wita. Waktu itu kata dia, tidak cukup. Kadang dirinya pulang sore hari dari rumah murid-muridnya karena jarak yang cukup jauh di setiap kampung.
Baca Juga: Curhat Guru di Pedalaman Ndoso: Rela Jalan Kaki Keliling Dua Kampung
Ibu Afla mengakui saat ini kemajuan teknologi sangat berkembang pesat, termasuk digunakan dalam sistem PJJ. Namun di sekolahnya tidak menggunakan pembelajaran melalui virtual, sebab jaringan internet cukup susah. Untuk menelepon saja tidak bisa. Di sisi lain, meskipun internet ada di sebagian tempat, namun murid-muridnya tidak bisa menggunakan alat komunikasi tersebut.
Nasib dua guru tersebut merupakan contoh tantangan yang diboleh dialami ‘pahlawan tanpa tanda jasa’ di daerah pelosok akibat wabah virus corona. Wabah virus corona memang harus diakui telah membuat seluruh lini kehidupan berjalan pincang, termasuk pendidikan. Semoga semuanya kembali normal dan badai virus corona segera berlalu.