Kupang, Vox NTT-Itu hari senja, empat pekan silam, di Rumah Makan Cottage Pantai Otan. Tiga tokoh Pulau Semau ditemui terpisah.
Kepada saya, mereka bertutur tentang kisah seputar pulau itu. Mereka masing-masing, Marthen Solet, Johny Ukat dan Martinus Tousbele.
Marthen Solet, pensiunan guru. Dia guru di salah satu sekolah dasar di Semau Utara. Tubuhnya ringkih, kian menua. Jalan hidupnya penuh onak derita sejak lama. Dia menjahit kariernya mulai dari bawah sebagai guru bantu.
Dia merajut nasib hidupnya tanpa banyak ulah, apalagi protes. Pasrah saja. Kadang kala, gaji guru honor pada masanya sungguh memilukan. Bukan saja besaran gaji yang diperoleh sangat kecil yakni Rp. 200.000/bulan, tetapi ketepatan waktu pembayaran pun kerap tak pernah jelas. Gaji yang diperoleh selalu tak cukup kuat untuk menopang dan memikul tumpukan tuntutan hidup keluarganya sebulan.
Meski demikian, dia tetap setia percaya pun optimis akan hadirnya perubahan di masa depan sebelum akhirnya dia menutup mata kekal nan abadi. Bahkan, hingga akhir masa pensiun tiba, dia hanya rela saja hidup dalam kepungan kemiskinan.
Kemiskinan dalam perspektif structuralisme dan juga Marxis, merupakan pantulan amat praktis dari akibat struktur sosial yang menindas.
“Hidup toh harus terus berlangsung. Sejarah hidupku tak lagi boleh menoleh ke belakang,” ujarnya.
Langkah demi langkah telah membentuk semacam seutas tali garis panjang sejarah hidupnya, sampai kini dia tetap bertahan, meski dia hanya pensiunan guru sekolah dasar. Pancaran mata Pak Marthen adalah mata dari seseorang yang pernah mengalami penderitaan, dan dari penderitaan itu muncul pemahaman.
Namun, meski usianya kian senja, toh Marthen Solet masih tetap sungguh sangat berharap. Dia berharap Pulau Semau menjadi salah satu destinasi wisata kesohor dunia di masa depan. Alasannya, karena Pulau Semau, tak hanya memiliki kisah klasik yang syarat mistik, tetapi sekaligus memiliki beberapa bentangan pantai pasir putih nan indah di empat lokasi tepi barat pulau itu. Disebutkan dua diantaranya, Pantai Otan dan Pantai Liman.
Di Pantai Otan, misalnya. Bentangan pantai berpasir putih halus kurang lebih 2 km. Di pantai Otan, tak hanya sebuah restoran bertaraf internasional telah dibangun dengan aneka menu sesuai pesanan, tetapi juga sedikitnya sudah empat cottage telah dibangun dengan harga cukup toleran dompet kalangan luas. Dipatok dengan harga Rp 2 juta/malam untuk turis luar NTT, dan cukup satu juta/malam untuk turis lokal NTT.
Mengapa klasifikasi harga begitu jomplang. Menurut pengelolanya, harga perlu diklasifikasi seperti itu karena terkait dengan kekuatan para pelancong dan turis yang akan ke situ.
Mereka dapat dipastikan datang ke Semau (Otan) untuk menikmati kesepian dan mendengar betapa riuhnya keheningan.
Mereka pun boleh bebas berbaring manja di pasir putih tanpa diusik orang ramai, sambil menimbang sunset senja yang turun melengkung seolah mencebur diri ke tengah batas cakrawala samudra.
Tiap Cottage Otan dapat dihuni 5 orang. Fasilitas kamar ada di dua lantai. Dilengkapi kamar mandi WC dalam dan AC nan sejuk manakala perlu. Jadi, jika rombongan anak muda menginap di Otan cukup membawa sharing modal masing-masing Rp. 200.000/malam.
Mereka dapat menginap di cottage yang pintu utamanya menghadap ke laut Sawu. Jika tidak mau menggunakan fasilitas AC, Anda pun dapat membuka pintu sembari mendapatkan belaian angin darat yang berhembus dari laut Sawu dalam keheningan sempurna tanpa diganggu nyamuk.
Sedangkan menu makanan yang tersedia, tak hanya ikan kuah asam kerapu, kakap yang diracik menjadi kuah asam khas Semau. Sayur kelor khas Pulau Semau juga disiapkan jika suka. Tetapi Anda juga boleh menikmati ikan segar bakar seturut pesanan pelanggan.
Di Otan, terasa seperti kita menemukan kedamaian alami sambil kita merenungi nasib hidup manusia. Bagi mereka yang suka menulis puisi, mungkin ini tempat yang cocok untuk merenungkan syair-syair bermakna ganda dalam larik bait-bait puisi.
Para wisatawan pun boleh saja memanjakan diri dengan menjemur tubuh setengah telanjang sepanjang senja di hari petang hingga temaram malam datang menyelimuti samudra, sambil menikmati sunset yang jatuh perlahan lembut tepat di tengah cakrawala laut Sawu.
Apalagi, jika pasangan muda mudi dan orangtua yang ingin melepas penat kejenuhan hidup di tempat ramai, di Pantai Otan semua penat dan pusing kepala tuntas punah sudah. Hidup tak pernah berjalan surut sebagaimana waktu tak pernah dan tak bakal pernah berjalan mundur.
Di Otan, kata Marthen, ditemukan kedamaian natural. Kita mendengar deburan lemah ombak yang diterpa angin dari arah barat. Di sana sini, tampak kawanan burung camar putih terbang menukik di atas permukaan laut Sawu memburu ikan yang berombongan mencari plankton.
Pantai Liman lain lagi. Deburan ombak lemah gemulai beriringan basah membuih ke pasir putih nan lembut. Angin bertiup dari laut hanya samar-samar terasa dingin. Pasang surut berlalu, dan burung-burung camar terbang menukik untuk menyambar kerang yang terdampar.
Di kejauhan, mata pelancong terdampar di pulau mungil dan lengkungan anggun leher seekor kormoran, persis sebelum burung itu menceburkan diri ke balik ombak. Tetapi, perlahan dan sangat pasti, laut mulai membujuknya dengan irama dan suaranya, karena itu sama dengan laut memecah keheningan seolah alam semesta sebagai perayu yang sedang merayu para wisatawan agar lekaslah berbaring ke tepi pantai sambil tiduran malas-malas di atas boslak alam pasir lembut putih nan halus.
Manusia, sepertinya diajak kembali ke suasana purba sebagai makhluk alam tanpa banyak main dengan aturan main tetek bengek yang mengikat. Di Pantai Liman, sedikitnya 8 km bentangan pantai berpasir putih bak hasil tepung tapioka yang baru disaring dari saringan terakhir. Halus, lembut, putih dan bersih nian.
Pantai Liman, boleh diandaikan semisal, alur-alur lekukan pinggul gadis purna puber yang sedang pasrah mencari pasangan serba ganda. Menyembul di situ sebuah bukit tandus, seolah terkesan buah dada nan ranum dari purna tumbuh, 100 meter di atas permukaan laut, membentuk diameter semacam gundukan beras tertumpah sengaja dari sokal hasil panen.
Bukit Liman, semacam sembulan purna sempurna dada gadis lepas pasrah yang berbaring manja dalam pelukan tiga peria dewasa penuh hasrat. Tak jauh dari situ, jika kita melempar pandangan ke arah barat daya, tampak sebuah pulau mungil tanpa penghuni. Kecuali kawanan burung liar yang hidup dari sopan santun laut yang menghuni pulau itu, juga menjadi lepas lelah para nelayan usai pasang kail di bilur indu laut kaya ikan.
Pulau Nusat atau kerap juga disebut Pulau Tabui, namanya. Penduduk Semau percaya Pulau Nusat adalah pulau keramat lantaran di situ marga Tousbele sering melakukan serial ritus adat istiadat. Martinus Tousbele, turunan langsung marga ini, mengakui itu tanpa interupsi.
Dia adalah titisan langsung dari marga Tousbele yang masih hidup. Kini dia tinggal di sisi timur dari pantai Liman dengan bangunan agak lumayan untuk seorang pensiunan sekelas dirinya. Tepi timur Pulau Tabui, tampak daratan mungil seperti dililit pasir putih yang ditimpa riak ombak nan lembut dari air laut warna biru tosca dikepung Semau dan Tabui.
Di Pulau Tabui direncanakan akan dibangun rumah makan super mewah untuk kalangan langka. Jarak tempuh ke itu pulau dari pantai Liman, tak lebih dari 10 menit dengan speed boat yang berkecepatan pas-pasan. Pulau itu indah semacam ciptaan Tuhan tanpa sengaja justru tetapi mencengangkan. Mungkin Tuhan pun tercengang.
Bukit Liman dikenal melalui serial mitos manusia Semau. Dikenal sebagai bukit “pemulihan”. Disebut pemulihan karena konon, aneka masalah hidup manusia dapat tertuntaskan jika telah datang dan berdoa di bukit ini.
“Datanglah ke sana, pasrahkan hidup dan hening sejenak. Dan, dengarlah keheningan sempurna, kemudian temukan betapa riuhnya suara hening,” ujar Tausbele.
Terkait dengan konteks ini, pernah satu ketika, ada dua pramugari Lion Air, asal Solo yang sedang dirundung duka. Keduanya sulit sambung jodoh. Mereka mengalami nasib serupa, sulit sekali mendapat jodoh. Jika toh ada pria ganteng yang sudah merapat meminang keduanya, tetapi selalu saja ada halangan dan rintangan. Akibatnya, pinangan batal atau dibatalkan sehingga masalah entah putus nikah atau menunda acara nikah tanpa tahu kapan akan berlangsung.
Pengalaman itu berulang terjadi. Dan, tak tahu apa daya yang harus dibuat. Tetapi, sekali waktu entah informasi diperoleh dari mana dan siapa, dua pramugari nan cantik dan elok ini datang ke Semau lalu pergi ke puncak Bukit Liman. Di sana keduanya berdoa dalam keheningan sempurna, lalu menurut kesaksiannya, keduanya memperoleh keteduhan dalam hati dan terasa begitu damai.
Nah, setelah pulang dari bukit Liman, selang seminggu kemudian, diperoleh kabar dua pramugari ini dipinang oleh belahan jiwanya sampai dijamin ke pelaminan menjadi suami istri. Menyusul peristiwa itu, sampai kini, pasangan itu selalu datang ke Bukit Liman tiap kali sempat. Menurut pengakuannya, mereka menemukan kedamaian di sini sekaligus mendapat solusi damai.
Secara etimologis, Liman terdiri dari dua kata. Yaitu Li dan Mana, dari bahasa Helong. Li berarti gerakan kaki di atas tanah untuk menari (dan itu ditafsir sebagai cara untuk mencapai riang gembira), sedang Mana dari kata asli Limai yang artinya tempat (jadi lokasi menemukan kegembiraan, kebahagiaan atau solusi atas soal yang dialami manusia).
Senada diucapkan Johny Ukat, Camat Semau Utara. Usai menamatkan study di Undana, dia langsung menekuni pegawai negeri. Dia beruntung. Sebagai pegawai dia dipercayai Bupati Kupang dari masa ke masa.
Menurut Johny Ukat, tak jauh dari Bukit Liman ada sebuah bukit keramat lain. Disebut keramat karena umumnya pengunjung datang ke sana dengan intensi khas yaitu untuk medandan diri agar lebih apik. Orang Semau mengenal bukit itu dengan nama Bukit Bun.
Masyarakat Semau menjadikan Bukit Bun sebagai tempat untuk bermandi lumpur. Lumpur Bukit Bun dialami dalam fungsi sebagai pelembut kulit wajah dan tubuh. Konon, para geolog berpendapat bahwa semburan kecil lumpur di Bukit Bun, merupakan ledakan halus dari mineral bawaan mineral perut bumi, tetapi mengalami proses pendinginan ketika sampai di permukaan kulit bumi yang memproduksi zat penghalus kulit.
Kita tidak tahu pasti kebenaran thesis ini. Tetapi, masyarakat Semau mempercayai itu sebagai salah satu tempat amat keramat untuk penyembuhan kulit, penghalusan kulit karena bukti empiric terjadi berkali-kali.
Lumpur yang keluar dari perut bumi Semau itu diakui dingin sekali. Lumpur menggelembung seperti bubur yang sedang mendidih. Tetapi, lumpur itu dingin sekali dan sejuk bukan main. Sudah banyak kalangan datang ke Semau antara lain dengan motif mau mandi dan melulur wajah dan tubuh mereka di Bukit Bun. Konon, usai dilulur lumpur Bukit Bun, kulit wajah dan tubuh menjadi halus dan lembut. Bahkan penyakit kulit pun hilang, seperti panu dan kurap. Tetapi, tak sedikit pun beraroma belerang.
“Perihal kasiat ajaib Bukit Bun, tak hanya dialami penduduk Semau dan Kupang yang datang ke situ. Pelancong dari Jawa, Sumatera, Papua, Sulawesi, Maluku pun datang ke sini. Bahkan turis manca Negara pun datang ke situ. Entah siapa dan dari mana mereka peroleh informasi tentang Bukit Bun. Pernah sekali waktu, dipergoki pasangan pria wanita asal Spanyol datang ke Bukit Bun. Pasangan ini asyik melumuri tubuh dan wajah mereka dengan lumpur. Kemudian untuk beberapa saat berselang setelahnya mereka pergi ke pantai mandi sepuas-puasnya sambil membersihkan diri dari lumpur, lalu berjemur diri di pantai pasir putih halus Liman. Hasilnya? Katanya, kulit menjadi lebih lembut, lebih bersih dan lebih halus. Pasangan Spanyol ini tak hanya mandi lumpur. Tetapi, keduanya mengemas lumpur Bukit Bun ke dalam selusin botol seukuran botol bir sebagai ole-ole untuk keluarganya di negerinya. Tidak diketahui pasti, dari manakah informasi tentang kasiat Bukit Bun mereka peroleh,” ujar Camat Semau Utara ini.
Bukan saja pelancong Spanyol yang datang ke situ, tetapi pelancong lain dari Canada, Jerman, Belgia, dan Swiss juga telah datang mandi lumpur di Bukit Bun dengan intensi yang sama. Bukit Bun, mungkin, diperlakukan semacam kolam Bethesda bagi orang setempat karena dijadikan tempat penyembuhan dari aneka sakit dan penyakit.
Karena itu singkat kisah, kata Johny Ukat, sesungguhnya ada dua bukit bertuah di Pantai Liman. Satunya bukit Liman, terletak persis di bibir pantai di tepi barat Pulau Semau, yang berhadapan langsung dengan Laut Sawu lalu bersambung terus membentang ke samudra Pasific. Satunya lagi Bukit Bun.
Bukit Liman, dipercayai sebagai tempat “pemulihan” untuk semua problem hidup manusia yang berkunjung ke situ. Pada masa silam penduduk yang tertimpa masalah, menyerahkan nasibnya ke puncak Bukit Liman. Setelahnya, ditemukan damai. Duduk bersimpuh di puncak bukit sambil merenung melihat samudra biru tosca di sana dan berdoa.
Mungkin saja, deburan ombak dan riak gelombang air laut yang menggapai pantai Liman, menjauhkan mereka dari duka lara. Biasanya, setelah duduk beberapa lama di puncak bukit itu, dibelai angin sepoi-sepoi, masalah terpecahkan.
Di Pantai Liman hari ini, telah ada 8 cottage yang nyaman dan asri. Bangunan dari bahan kayu berbentuk rumah panggung, dan beratap alang-alang. Dari tempat itu ditawarkan pemandangan nan indah permai ke laut Sawu dan Pulau Nusat. Hamparan pasir putih halus persis terletak di bawah kaki Bukit Liman dengan bentangan 8 km. Belum diketahui pasti berapa harga inap semalam di cottage ini. Ukuran bangunannya jauh lebih luas dibanding cottage di Pantai Otan.
Tiga Kekuatan Pariwisata
Menurut Marthinus Tousbele, sesungguhnya Pulau Semau memiliki tiga obyek wisata. Disebutkan, selain wisata alam pantai yang indah permai di Pantai Otan dan Pantai Liman, tetapi juga wisata budaya dan mitos-mitos yang tersimpan apik atas pulau ini yang dibuktikan melalui lokasi-lokasi yang dianggap ajaib oleh banyak kalangan di situ.
Martinus Tousbele, pensiunan pegawai negeri sipil. Ia merajut hidupnya dengan mengandalkan gaji pensiun, sambil bertani dan beternak. Tetapi, Martinus Tousbele memiliki lahan luas di Semau. Dia salah satu tuan tanah.
Menurut Martinus, tiga kekuatan pariwisata Semau itu masing-masing pantai berpasir putih indah, di Otan dan Liman, Bukit Bun (karena lumpur penghalus kulit) dan Bukit Liman (karena dipercayai sebagai bukit pemulihan manusia dari aneka masalah). Terakhir Batu Upu atau dikenal batu ajaib atau batu buaya. Dipercayai Batu Upu sebagai bangkai kapal Nabi Nuh.
Konon ceriteranya begini. Arkeolog Australia pernah menelusuri jejak bangkai bahtera Nabi Nuh. Secara akademik diasumsikan, bangkai Bahtera Nabi Nuh itu mestinya terdampar di Turki Timur. Tetapi setelah ditelusuri lebih dalam, ternyata bangkai bahtera Nabi Nuh tidak ditemukan di sana. Lalu, para ahli berpaling ke arah timur dan kemudian di temukan di Pulau Semau.
Itulah alasannya mengapa orang Semau percaya berbeda. Para leluhur Semau pun kerap berkisah hal yang sama tentang musibah bahtera Nabi Nuh itu. Apalagi, ditemukan secara empiric sebuah kerangka besar yang telah membatu berbentuk kapal yang ada di tengah Pulau Semau. Maka lengkaplah sudah keyakinan bahwa Bahtera Nabi Nuh terdampar persis di tengah Pulau Semau.
Batu Upu juga dikenal dengan sebutan lain, Daleblan (tanah lama: Bhs. Helong) yang bentuk dan rupanya persis sebuah bahtera. Menurut legenda para tetua adat dari dulu hingga sekarang, bangkai bahtera Nabi Nuh itu sesungguhnya terdampar di Pulau Semau dalam petualangan Nabi Nuh meluputkan diri dari kepungan air bah.
Bentuk Batu Upu, memang persis menyerupai bahtera. Terletak persis di tengah Pulau Semau. Di tengah kerangka batu itu terdapat sebuah lingkaran batu yang dipercayai sebagai bekas pancangan tiang layar bahtera. Tetapi, awas. Siapa pun yang akan pergi ke tempat itu harus didahului dengan upacara adat dengan membunuh dua ekor babi hitam dan merah.
“Jika tidak melalui upacara adat demikian, biasanya pengunjung akan mengalami bencana. Hal itu terbukti berkali-kali,” kata Marthinus.
Dalam kisahnya, tanah di bekas pancangan tiang layar bahtera, berkasiat tinggi karena dapat membuat penyimpan tanah itu memperoleh rejeki. Tetapi untuk mendapatkan tanah seketul dari situ, tidak selalu gampang, meski orang Semau sendiri pun susah juga. Ada-ada saja rintangan dan halangannya.
Namun, dari aspek pariwisata, kata Martinus, pemandangan dari puncak bukit batu itu amat sangat indah, karena dapat mengakses ke semua tempat, termasuk dapat melihat Kota Kupang, Rote dan seluruh kawasan Pulau Semau. Banyak orang datang ke bangkai bahtera Nabi Nuh itu untuk menyaksikan hamparan pemandangan elok yang ditawarkan Pulau Semau untuk semua kalangan. Meski tidak untuk mengambil sketul tanah dari lingkaran batu yang diduga tempat tiang layar bahtera Nabi Nuh.
Hingga kini, belum banyak orang yang berusaha menggali dan mengambil tanah dari bekas pancangan tiang layar bahtera Nabi Nuh, karena khawatir tak sanggup mengikuti ritus yang dituntut adat Pulau ini.
Tantangan
Meski pesona Semau itu sedemikian kuat, tetapi Camat Semau Utara, Johny Ukat menyayangkan perhatian pemerintah (Provinsi atau Kabupaten Kupang). Dia menyebutkan Pulau Semau berpenduduk 17.000 jiwa itu tak pernah menikmati infrastruktur yang memadai. Ini pulau tampak tak pernah disentuh oleh kebijakan publik pemerintah, sejak gubernur sebelum Victor Lasikodat.
Akses wisatawan ke lokasi wisata, jauh dari sempurna. Jalan buruk bukan main. Padahal akses menuju ke lokasi itu sangat diperlukan karena untuk mencapai dua lokasi wisata pantai indah itu dapat melalui pintu barat atau timur bahkan pintu selatan dan utara.
Jalan di sana baru mulai sedikit diperhatikan sejak tahun 2015 ketika ada dana desa masuk ke Pulau Semau. Tetapi jalan buruk yang sekarang ada tidak melemahkan semangat Johny Ukat untuk berikhtiar. Dia terus berupaya agar perhatian pemerintah kabupaten dan provinsi tercurahkan di sana.
Selain itu disebutkan, problem listrik, air, infrastruktur jalan raya, juga sama buruknya. Satu-satunya jalan terbaik di Semau ialah jalan provinsi contoh sepanjang 1200 meter. Disebut jalan provinsi contoh, karena itu jalan dijadikan contoh oleh Gubernur NTT, Victor Laiskodat tentang cara membangun jalan provinsi yang baik dan benar yaitu jalan berlebar 12 meter dan hotmix yang handal dan kuat dengan tepian yang terlindungi.
Tetapi, jalan di seluruh Pulau Semau adalah jalan neraka penuh derita. Gubernur Victor Laiskodat menyebutnya, sebagai jalan penuh tangisan dan kertak gigi, jalan penuh derita. Buruk sekali.
Bahkan, Camat Semau Utara menyebutnya, Pulau Semau adalah salah satu contoh pulau tanpa perhatian pemerintah. Padahal tampak kunjungan wisatawan ke Semau sejak pemerintahan Pak Victor mulai merangkak naik.
Memang belum didata secara baik, berapa rerata kunjungan wisatawan ke Semau. Tetapi, yang sempat terekam hanyalah kunjungan wisatawan yang datang gratis ke Pantai Liman rata-rata perbulan 400 orang. Mereka hanya disuguhi air kelapa segar, dengan harga Rp 20.000/buah.
Bukan hanya infrastruktur jalan raya yang buruk sekali. Ketersediaan instalasi air, listrik sangat sulit di Semau. Jaringan telekomunikasi pun begitu, sama saja. Bahkan bahan bakar juga susah. Johny Ukat bersaran, perlu dibangun sedikitnya dua SPBU di Semau. Satu di barat, satu di timur.
Pulau Semau memiliki 15 SD, 5 SMP dan 3 SMA. Terkait menggeliatnya pariwisata di Semau, pihaknya menggalang sekolah-sekolah agar mengutamakan pelajaran bahasa Inggris di sekolah-sekolah.
Sedangkan para petani akan dimobilisasi untuk menanam sayur secara masif, dan memelihara ternak sapi dan babi, ayam untuk menunjang kebutuhan pariwisata di daerah itu. Pulau yang dihuni lebih banyak perempuan itu (55% perempuan dan 45% laki-laki) kini berbenah diri.
Jauh sebelum agama Protestan masuk ke pulau itu tahun 1912, manusia Semau penganut Animisme. Bukit Liman, Bukit Bun, bangkai Bahtera Nabi Nuh dan Pulau Nusat selalu menjadi saksi bisu animisme manusia Semau karena di lokasi-lokasi itulah penganut Animisme menyelenggarakan tutur ritus Animisme.
Mewakili seluruh penduduk Semau, Camat Johny Ukat, Marthin Tousbele, meminta semua pihak untuk segera memberi perhatian lebih serius kepada Pulau Semau. “Tolong kami jangan hanya dilihat sebelah mata,” ujar Ukat.
“Kami sangat dekat dengan ibukota Provinsi, tolong beri perhatian untuk kami, terutama dinas-dinas terkait pariwisata,” kata Tousbele menutup pembicaraan.
Penulis: Pius Rengka