Kupang, Vox NTT-Sungguh malang nasib masyarakat Besipae, Desa Linamnutu, Kecamatan Amanuban Selatan, Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS).
Di tengah warga negara yang lain merayakan hari ulang tahun (HUT) kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) ke-75 dengan penuh kegirangan, mereka malah diterjang tembakan senapan aparat di atas tanah adat.
Saat kebanyakan warga negara dari Sabang hingga Merauke memekikan Indonesia Maju, mereka malah dipukul mundur dari gubuk mereka, menggunakan moncong senjata aparat yang diperalat negara.
Sementara, rumah mereka digusur dan dibongkar paksa. Anak-anak kehilangan tempat tinggal, sementara beberapa bayi dan Ibu hamil harus dibaringkan di bawah tenda, beratapkan daun lontar beralaskan tanah. Sungguh memilukan.
Viral di medsos, video Ibu-ibu dan anak-anak polos, tampak sangat terpukul oleh karena harga diri mereka diinjak-injak aparat yang tampak gagah dengan senapan laras panjang.
Sungguh nahas memang, warga itu mengalami mati harga di tengah riuh suara pekikan, NKRI Harga Mati! sesama warga bangsa.
Informasi yang diterima VoxNtt.com, sebagaimana sedang viral di media sosial, sehari pasca HUT NKRI ke-75, Selasa 18 Agustus 2020 tepatnya pukul 11.30 wita terjadi penggusuran dan pembongkaran secara paksa terhadap rumah 29 kepala keluarga (KK), warga Besipae dari tempat mereka, di kawasan instalasi peternakan oleh aparat gabungan, bersenjata laras panjang.
Aparat itu, terdiri dari Brimob, TNI dan Pol PP.
Sedangkan mereka (warga), diusir ke luar dari tempat yang diakui sebagai tanah adat yang sudah ditempati bertahun-tahun. Sementara penggusuran dan pengusiran paksa itu disebut-sebut, karena mereka bersih keras tidak ingin keluar dari tempat mereka.
Menurut warga Besipae, mereka lakukan itu karena belum ada penyelesaian yang jelas antara mereka dengan Pemprov, sehingga mereka mati-matian terus duduk di atas lahan mereka.
Karena tak ingin keluar, beberapa anggota brimob langsung melepaskan tembakkan ke tanah sebanyak 3 (tiga) kali. Percikan api keluar dari moncong senjata menyala di tempat itu, sehingga menimbulkan ketakutan yang luar biasa terpancar dari wajah anak-anak dan Ibu-ibu.
Tak berhenti di situ, mereka mendorong beberapa ibu dan anak, di antaranya, Ibu Yohana Bait, Mama Ester dan anak-anak menggunakan senjata agar keluar dari wilayah itu, saat mereka berusaha meminta aparat menghentikan aksi penembakan yang bisa menimbulkan trauma bagi anak.
Demikian dijelaskan Ketua Umum Forum Mahasiswa Nasional (FMN) Cabang Kupang, Fadly Anetong dalam release yang diterima VoxNtt.com, Selasa (18/08/2020) malam.
Ia menjelaskan, tembakan tersebut menyebabkan ketakutan luar biasa bagi warga dan berpotensi menimbulkan trauma, serta merusak psikologi anak-anak di tempat itu.
“Masyarakat yang terdiri dari anak-anak, pemuda, serta orang tuanya sontak terkejut dan ketakutan mendegar bunyi tembakan dalam kerumunan, tindakan tersebut membuat masyarakat bersama anak-anak sangat terganggu, ketakutan serta ada yang trauma dan menangis dengan tindakan tersebut,” ujar Fadly.
Karena ketakutan serta banyak anak kecil di lokasi, masyarakat pun beranjak mencari tempat perlindungan untuk mengamankan diri dari ancaman penembakan yang dilakukan Brimob.
Menurut Fadly, aksi tembakan Brimob tersebut sempat terekam camera dan diabadikan dalam video yang berdurasi kurang lebih 3 (tiga) menit.
Ia menegaskan, apa yang terjadi di Besipae kini, tengah menunjukkan watak pemprov NTT di bawah Rezim Gubernur Laiskodat, sangat anti terhadap rakyat.
FMN, terang dia, mengecam keras aksi intimidatif yang dilakukan pemerintah dan aparat bersenjata terhadap masyarakat Besipae, Pubabu.
Perampasan tanah rakyat Besipae, kata dia, akan diikuti bermacam akibat yang sangat merugikan warga, mulai dari berpotensi kehilangan akses terhadap pendidikan/sekolah bagi anak-anak hingga memperburuk perekonomian warga.
Hal itu, karena tanah yang diklaim Pemprov merupakan sumber mata pencaharian dan pendapatan masyarakat Besipae saat ini. Itu menjadi andalan mereka dalam memenuhi kebutuhan hidup setiap hari dan pendidikan anak-anak mereka.
Dampak ikutan lainnya adalah, memperburuk SDM masyarakat, khusunya yang tanahnya dirampas karena mereka akan kehilangan sumber pemenuhan kebutuhan untuk biaya sekolah dan kehidupan harian.
Ia juga menegaskan, represivitas aparat di lokasi juga telah menghempaskan ruang demokrasi yang menjunjung tinggi hak-hak rakyat. Bukan menghilangkannya.
Sementara itu, lanjut dia, anak-anak juga berpotensi mengalami gangguan psikologi akut.
“Bukan saja hanya pada psikologi, tetapi situasi ini dapat memicu timbulnya penyakit, karena sejak tanggal 4 agustus hingga saat ini, masyarakat tidur beralaskan tikar dan beratap Langit. Kemudian secara ekonomi, masyarakat yang ada di Besipae juga sangat dirugikan, karena sejak bulan Februari 2020 hingga saat ini, masayrakat tidak fokus dalam pekerjaan karena mendapatkan intimidasi. Belum lagi ditambah dengan situasi Covid-19 yang menjadikan kemerosotan ekonomi Global tak terkecuali juga masyarakat yang ada di Besipae,” ujarnya.
Di tengah pandemi yang berdampak pada kemerosotan ekonomi ini, kata dia, mestinya mendorong pemerintah untuk fokus memperhatikan kondisi masyarakat. “Bukan malah membuat masyarakat Besipae seperti hewan tak bertuan di tanahnya sendiri,” tandasnya.
Sebagaimana diketahui, sebelumnya sudah beberapa kali Pemprov NTT terlibat konflik dengan Warga Besipae.
Dipublikasikan berbagai media, pada 12 Mei 2020, sekitar Pukul 15.00 WITA, mereka (Warga Besipae) dikejutkan oleh kedatangan Gubernur NTT, Viktor Laiskodat dan Bupati Timor Tengah Selatan (TTS), Epy Tahun bersama rombongan di lokasi Besipae.
Seturut publikasi, ketika itu, Gubernur pulang dari Kualin. Tiba di Besipae, langsung turun dari mobil meminta untuk masuk ke lokasi yang sudah dipagari warga. Permintaannya ditolak warga, dengan alasan, belum ada penyelesaian masalah atas konflik yang sudah berlangsung belasan tahun.
“Sempat terjadi keributan karena Pak Gubernur memaksa masyarakat untuk membongkar pagar yang dibuat masyarakat. Keributan kecil itu juga diwarnai dengan beberapa ibu di kampung melepaskan bajunya,” sebut Imanuel Tampani, Ketua Ikatan Tokoh Adat Pencari Kebenaran dan Keadilan (ITA PKK) masyarakat adat Pubabu seperti dilansir Mongabay Indonesia, Rabu (13/5/2020).
Meski sempat menegang, namun berhasil mereda usai seorang ibu merangkul kaki Gubernur Laiskodat dan dilanjutkan dengan dialog antar-warga dan Gubernur. Dalam dialog itu, Gubernur berjanji untuk bertemu lagi pada Juni 2020.
Namun, bukannya datang untuk berdialog, Pemprov NTT sebagaimana diberitakan Pos Kupang malah datang berkantor di lokasi tersebut sejak 04 hingga 13 Agustus.
Selama berkantor di sana, mereka meminta warga untuk keluar dari kawasan tersebut hingga tiba pada tindakan kekerasan yang melibatkan aparat bersenjata pada Selasa, 18 Agustus 2020.
Atas situasi tersebut, FMN Cabang Kupang menuntut:
- Mengecam Tindakan Anti Rakyat Yang Dilakukan Oleh Aparat Kepolisian (BRIMOB), TNI dan POL PP
- Mengecam Tindakan Pemprov NTT Yang Melakukan Penggusuran Terhadap Masyarakat PUBABU Tanpa adanya upaya penyelesaian yang baik.
- Segera Kembalikan/bebaskan Bapak Kornelius Nomleni
- Tarik Seluruh Aparat Keamanan Yang Terus Melakukan Intimidasi Terhadap Masyarakat PUBABU
- Hentikan Pembangunan Sebelum Ada Penyelesaian Konflik
- Wujudkan Pendidikan Yang Ilmiah,Demokratis Dan Mengabdi Pada Masyarakat
- Jalankan Reforma Agrarian Sejati Dan Bangun Industry Nasional
Penulis: Ronis Natom
Editor: Boni J