Maumere, Vox NTT- Jalur El Tari adalah area perkantoran di Sikka. Di atas tanah eks Hak Guna Usaha (HGU) Misi Maumere tersebut berdiri sejumlah kantor penting.
Berbaris rapi Kantor DPRD Sikka, Kantor Bupati Sikka, dan Rumah Jabatan Bupati, serta Pimpinan DPRD.
Di barisan belakangnya ada beberapa kantor di antaranya Dinas Sosial dan Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa.
Akan tetapi ada pemandangan lain di belakang deretan perkantoran tersebut. Di antara beberapa rumah semi permanen, ada gubuk reyot milik sepasang pemulung, Yakob Neno Bana (53) dan Maria Modesta (50).
Bermalam di Kantor
Modesta mengaku ia dan suaminya sudah tinggal di lokasi tersebut kurang lebih 2 tahun.
“Sebelum ini kami tinggal pindah-pindah. Kami jalan pilih sampah sampai malam baru tidur di kantor-kantor,” ungkapnya kepada VoxNtt.com pada Senin (17/08/2020) lalu.
Yakob berasal dari Timor. Menurut cerita sang istri, ia tak punya keluarga di Maumere.
Baca Juga: Anas Undik, Janda yang Bertahan Hidup di Tengah Gempuran Kemiskinan
Sejak kecil, Yakob dipelihara orang di Jawa. Ia sempat menggelandang pasca orangtua angkatnya meninggal. Sampai akhirnya tiba di Maumere.
Tak banyak informasi yang bisa diperoleh mengenai Yakob. Lantaran saat VoxNtt.com berkunjung ia sedang tak ada di tempat. Pun keesokan harinya Yakob sedang pergi memulung kala VoxNtt.com menyambangi kediaman mereka.
Modesta tak menceritakan bagaimana atau di mana sebelumnya mereka tinggal. Akan tetapi, dari dokumen Kartu Keluarga yang ia perlihatkan, mereka tercatat sebagai penduduk Kelurahan Kota Uneng, Kecamatan Alok. Itu merujuk pada lokasi tempat tinggal mereka saat ini.
Setelah mendapat izin tinggal di lokasi tersebut, keduanya mengumpulkan seng-seng bekas yang mereka dapatkan saat memulung.
Keduanya lantas membangun gubuk kecil berukuran 3×4 meter tepat di bawah pohon mahoni. Tingginya kurang lebih 2 meter.
Ada 3 ruangan. Satu dapur, satu ruang tidur dan satu tempat multifungsi. Di ruang ketiga ini, terdapat satu kursi dan sejumlah karung berisi sampah yang siap dijual.
Baca Juga: Hidup Sebatang Kara, Petronela Luput dari Perhatian Pemerintah
Tak ada lampu atau pun air bersih. Untuk memenuhi kebutuhan air bersih, mereka mengakses air dari salah satu kantor di depan gubuk.
Halaman belakang dibiarkan kosong.
“Ini saya pakai untuk tanam ubi dan sayur waktu musim hujan,” ungkap Modesta.
Makan Sekali Sehari
Keduanya sudah lama menggeluti profesi sebagai pemulung. Mereka mengais rupiah dari sampah plastik atau pun logam yang dibuang warga.
Meski demikian, tak banyak yang bisa mereka peroleh.
“Kami kumpul dapat langsung jual untuk makan satu kali setiap hari,” tandasnya.
Yakob pun diduga sedang sakit. Kedua kakinya tak kuat sejak mengalami kecelakaan.
Modesta menduga Yakob terserang asam urat. Mereka pernah berobat ke puskesmas, namun belum sembuh betul.
Situasi semakin rumit, lantaran belakangan anak mereka Ray Boy yang berusia 17 tahun mengalami gangguan jiwa.
Ray sebelumnya bekerja sebagai kondektur mobil tangki air. Saat ini ia dirawat oleh ibu angkatnya di Napung Langir, Kelurahan Madawat.
Meski hanya sementara, Modesta bersyukur bisa tinggal di tempat itu. Ia tak menuntut lebih atau berharap banyak.
“Kami tahu ini tanah Pemda. Kami senang bisa tinggal begini. Dulu kami pindah-pindah saja. Orang di kantor itu beri izin kami pakai air,” tandasnya lirih.
Modesta menunjuk pada beberapa ikat pelupuh yang tergeletak di tanah di belakang rumah.
“Ini ada pegawai yang datang antar untuk kami buat dinding. Ada seng dan balok juga,” ungkapnya.
Ia berterima kasih. Meski tak tahu nama orang yang telah mengantarkan bahan-bahan bangunan tersebut untuk mereka.
Penulis: Are De Peskim
Editor: Ardy Abba