*) Cerpen Esron Nursi
“ Paung. Paung. Paung”
Teriak seorang lelaki paruh baya dengan logat kental bahasa Tetun. Ia berjalan masuk-keluar dari kampung ke kampung untuk menjual dagangannya.
Lelaki itu adalah ba’i Anton. Meskipun sudah berumur setengah abad tak menyurutkan semangatnya untuk menjual paung-paungnya. Bagi dia, yang penting dagangannya terjual sehingga asap dapur rumahya terus mengepul. Berkat paung, istri tercinta dan cucu kesayanganya tidak mati kelaparan.
Anak satu-satunya ba’i Anton sudah lama merantau bersama dengan istrinya ke luar kota. Mereka terpaksa merantau demi membalikan kembali ekonomi keluarga yang makin hari makin menipis. Mereka menitipkan anak mereka kepada ba’i Anton.
***
Jalan bertanah, penuh bebatuan dan kerikil-kerikil tajam sudah akrab di kaki renta ba’i Anton. Ia tak peduli kerikil-kerikil tajam menusuk telapaknya yang makin hari makin terlihat keriput. Malahan ia dengan lincah berjalan ke sana kemari sambil berteriak memanggil pembeli.
Mulai dari subuh, Ba’i Anton keluar dari rumahya sambil melilitkan sarung di lehernya dan memikul sebuah tempayan yang berisi paung-paung hangat.
Sambil mengisap rokok saliti yang baru dibakarnya dari rumah, ia mulai berjalan sambil berteriak “ Paung. Paung. Paung” .
Ketika sampai di sebuah kampung Takarabat yang dekat dengan perbatasan Negara Timor Leste, seorang bocah yang sedari tadi masih tidur ngorok, sontak kaget ketika mendengar suara Ba’i Anton, ” paung-paung-paung”.
Dia adalah Ampi, bocah kelas IV SD yang sekolah di daerah perbatasan. Dengan sigap ia melompat dari kamarnya dan lari menemui mamanya. Sang ibu yang sedari tadi sibuk mencuci piring. Meski masih setengah kantuk, ia berkata kepada mamanya.
“Mama. Mama”
“ Ia” sahut mamaya.
“ Beli paung” ucap Ampi penuh semangat.
“uang tidak ada, nak.” Balasnya lagi dengan suara lembut penuh keibuhan.
“ aiiss.. uang dua ribu kemarin tu mama” ucapnya mulai merengek.
“Yang mana” kata mama dengan suara mulai meninggi.
“Kemarin yang sisa beli paung tu. Kan kemarin uangnya lima ribu toh, terus belinya tiga ribu. Lalu Ba’i paung kasih kembali dua ribu to,” ungkapnya.
“Ahhh… kau ini setiap hari hanya beli paung saja, pikir uang ni daun gamal di belakang ka, setiap hari pake petik” balas ibunya.
Mendengar itu, Ampi mulai menangis kuat-kuat apalagi mendengar suara Ba’i paung, panggilan keren Ba’i Anton makin mendekat.
Ba’i paung itu makin dekat melewati depan rumahnya dan ia terus merengek untuk dibelikan paung. Ya, paung buatan Ba’i Anton memang tekenal sangat sangat enak. Sebab pembuatan dan pembakaran paung itu sederhana dan alatnya masih pakai cara tradisiona.
Berbeda dengan orang –orang di kota yang sudah memakai alat canggih.
Saking enaknya, baru dengar suara Ba’i Anton, semua orang baik orang tua maupun anak-anak keluar dari rumah berdiri di pinggir jalan. Mereka menanti tak sabar untuk membeli paung-paung yang masih panas.
Apalagi anak-anak kecil, mereka begitu gembira sambil berlari menghampiri Ba’i Anton hendak membeli paung. Suasana hening menjadi riuh dan ramai dikampung itu.
Mendengar Ba’i Anton mendekat, bocah itu pun menangis menjadi- jadi agar mamanya bisa membelikannya paung. Di selah-selah tangisnya ia pun berkata.
“Kalau tidak beli paung saya tidak sekolah.”
Mendengar itu mamanya mulai marah dan memukul Ampi. Tangisan anak makin menjadi-jadi. Tak tahan, bapaknya pun memanggil Ampi dan mengajaknya untuk membeli paung. Dari kejauhan suara mamanya berteriak, “Pak, jangan terlalu manja anak tu ka, nanti besok-besok mereka jadi apa? “
***
“Sudah beberapa minggu ini, aku tidak melihat Ba’i paung lewat sini untuk menjual paung” kata ampi kepada temanya ketika mereka sedang bermain bola kaki di depan halaman rumah pak RT.
“ Iya ee saya juga tidak pernah lihat lagi Ba’i paung, dia kenapa na tidak datang jual di sini lagi ” ucap Dono.
Medengar Ampi dan Dono bercakap-cakap maka pak RT yang sedari tadi menonton mereka bermain bola pun angkat bicara. Katanya: “Woee… Ba’i paung kalian sudah meninggal minggu lalu”
“Ahhh Ba’i paung meninggal kenapa na pak RT? “ Tanya Ampi penasaran.
“ Ba’i meninggal karena stroke”
Mendengar itu Ampi dan Dono sangat sedih karena mereka tak tahu kapan lagi akan makan paung buatan Ba’i Anton.
*Penulis tinggal di Ledalero, unit Gabriel
Daftar Istilah
*Paung (bahasa Tetun): roti yang biasa dijual pagi-pagi di kampung
*Ba’I (bahasa Tetun): kakek