Kupang, Vox NTT- “Politik adalah tipu-tapu”. Demikian penggalan kalimat yang sempat dilontarkan seorang tokoh masyarakat Manggarai beberapa waktu silam.
Tak hanya tokoh masyarakat yang disinggung di atas, penggunaan frasa “politik tipu-tapu” juga sering dilontarkan oleh masyarakat umum bahkan kata “tipu-tapu” itu sendiri sudah diterima sebagai bahasa seharian dalam masyarakat Manggarai.
Bagian yang menarik dari kalimat tersebut adalah “tipu-tapu”. Menurut ahli linguistik dari Universitas Nusa Cendana, Prof. Frans Bustan, M.Lib, kata ini tampil dalam bentuk reduplikasi leksiko semantis.
Semantik leksikal atau yang dikenal sebagai lexicosemantics, adalah subbidang semantik linguistik.
Unit analisis dalam semantik leksikal adalah unit leksikal yang tidak hanya mencakup kata-kata tetapi juga sub-kata atau sub-unit seperti imbuhan dan bahkan kata-kata dan frasa majemuk.
Semantik leksikal melihat bagaimana makna unit leksikal berkorelasi dengan struktur bahasa atau sintaksis.
Dijelaskan Prof. Frans, bentuk sebenarnya adalah “tipu-tipu” berupa perulangan.
Perubahan kata “tipu” menjadi “tapu” tidak hanya terjadi pada tataran leksikal, tetapi juga tataran semantis.
Secara semantis, demikian Prof. Frans, adanya intensitas makna dari kata “tipu-tapu”.
Sebagai sandingan pembanding, misalnya, kata “rimpet” menjadi “rimpe-rampet” yang menunjuk pada hidung yang sangat pesek.
Dengan demikian, kata “tipu-tapu” menyiratkan makna kesangatan dalam menipu dan pelakunya adalah penipu kelas kakap melalui umbaran janji-janji palsu dalam politik.
Selain itu, sifat fleksibel yang dimiliki oleh suatu bahasa menyebabkan bahasa selalu mengalami perubahan dan perkembangan.
Perubahan dan perkembangan ini sesuai dengan situasi, kondisi serta keperluan penuturnya.
Lalu apakah penggunaan “tipu-tapu” dapat dibenarkan secara tata bahasa?
Menurut Prof. Frans, hal itu dapat dibenarkan.
“Ya … dengan makna kesangatan” jawabnya.
Dari situ, jelas Prof, bisa dirumuskan kaidah sistemik bahasa Manggarai berkenaan dengan reduplikasi leksikosemantis. (VoN).