Kupang, Vox NTT-Salah satu ciri khas makhluk hidup adalah kemampuan beradaptasi demi mempertahankan diri.
Kemampuan ini juga dimiliki virus termasuk virus korona (SARS-CoV-2) yang bermutasi menjadi Korona D614G.
Mutasi virus itu sendiri adalah filtur replika virus yang pasti terjadi dan tidak dapat dihindari. Virus berkembang biak dengan membuat replika diri mereka diri sendiri.
Upaya penyesuaian atau adaptasi ini dilakukan virus untuk dapat bertahan hidup di sekitar inangnya dalam tubuh manusia.
Mutasi juga menjadi penyebab virus ini berpindah dari hewan ke manusia. Awalnya virus korona, hanya menular antar hewan. Namun, mutasilah yang akhirnya membuat virus ini bisa ditularkan dari hewan ke manusia.
Saat bermutasi, virus mengalami perubahan pada materi genetik. Khusus untuk virus korona, mutasi itu dinamai D614G.
D614G terletak di dalam protein yang menyusun spike atau “ujung runcing” yang digunakan virus untuk menerobos ke dalam sel manusia.
Berikut fakta tentang D614G yang dirangkum VoxNtt.com dari berbagai sumber.
Pertama, Daya Infeksi 10 Kali Lebih Tinggi
Mutasi ini telah tersebar hampir di seluruh pelosok dunia, yaitu 77,5 persen dari total 92.090 isolat mengandung mutasi D614G.
Di Indonesia seperti dilansir dari tirto.id, mutasi virus corona D614G ditemukan di wilayah Yogyakarta dan Jawa Tengah. Hal ini dikemukakan oleh Pokja Genetik FK-KMK UGM.
Dijelaskan, tim Pokja telah berhasil mengidentifikasi Whole Genome Sequencing (WGS) empat isolat dari Yogyakarta dan Jawa Tengah dan telah dipublikasikan di GISAID, tiga di antaranya mengandung mutasi D614G.
Ketua Pokja Genetik FKKMK UGM, dr. Gunadi mengatakan, saat ini mutasi D614G pada virus SARS-CoV-2 yang mempunyai daya infeksius 10 kali lebih tinggi.
Meski daya jangkitnya 10 kali lebih tinggi, hingga kini, para ahli masih terus meneliti apakah mutasi virus korona lebih mematikan atau tidak bagi manusia.
Kedua, Sejak Maret 2020
Kelompok Penelitian Virus Corona dan Formulasi Vaksin dari Professor Nidom Foundation (PNF) memperkirakan, mutasi virus korona ada di Indonesia sejak bulan Maret lalu.
Hal ini diungkapkan Prof Chairul Anwar Nidom dilansir dari Kontan.
“Mutasi D614G sudah ada sejak awal virus (corona) itu di Indonesia, sejak Maret 2020. Perkiraan saya, sekarang lebih banyak lagi,” katanya.
Untuk diketahui, Tim PNF menganalisis seluruh jenis virus corona di Indonesia dari data sekuens genom virus corona yang dimuat di Global Initiative on Sharing All Influenza Data (GISAID).
Dari data tersebut, peneliti menemukan, penyebaran virus corona jenis D614G sudah ada sejak SARS-CoV-2 pertama kali dikonfirmasi di Indonesia.
Ketiga, Belum Ditemukan Berbahaya
Ahli Virus dari Yale School of Public Health, Nathan Grubaugh mengatakan sejauh ini, mutasi virus korona tidak berbahaya.
Ia menjelaskan, mutasi adalah sifat alamiah virus.
“Mungkin ada beberapa mutasi dari waktu ke waktu yang muncul dan memiliki dampak epidemiologis, tetapi kita jarang menemukannya,” tulis Grubaugh dalam jurnal ilmiah berjudul “We shouldn’t worry when a virus mutates during disease outbreaks”, dilansir dari CNN Indonesia.
Sementara Richard Kuhn, virologis dan direktur Institut Peradangan, Imunologi, dan Penyakit Menular di West Lafayette, Indiana, AS, menjelaskan kecepatan mutasi virus korona memang sangat tinggi, namun hal ini ternyata bisa berbahaya bagi virus itu sendiri.
Dia menjelaskan, bisa jadi virus itu jadi lebih sulit bertahan hidup atau mereplikasi diri. Kemungkinan kedua, ia tetap bertahan dan makin bervariasi.
Senada dengan Kuhn, Dr. Lucy van Dorp, dari University College London, dilansir dari BBC, menjelaskan, virus terus bermutasi bisa menciptakan beberapa perubahan.
Perubahan itu bisa membantu virus bereproduksi atau malah akan menghambatnya.
Hal yang sama juga jelaskan Direktur Jenderal Kesehatan Malaysia Noor Hisham Abdullah. Katanya, jenis D614G merupakan virus yang sepuluh kali lebih menular daripada jenis asli yang ditemukan di China.
Namun demikian, mutasi itu tampaknya tidak begitu mematikan daripada jenis aslinya, katanya seperti dikutip dari cnbcindonesia.com. (VoN).