Maumere, Vox NTT- Senin 7 September 2020, tepat 16 tahun aktivis HAM Munir Said Thalib meninggal dalam penerbangan dari Singapura menuju Amsterdam.
Munir hendak melanjutkan studi di Universitas Utrecht, Belanda.
Tak lama setelah Garuda dengan nomor GA-974 yang ditumpanginya meninggalkan Changi, Singapura, Munir mulai menunjukkan gejala sakit.
Ia bolak-balik ke toilet. Seorang dokter yang turut menumpang dalam penerbangan tersebut membantu merawatnya.
Namun sayang, sebelum pesawat tiba di Amsterdam, Munir telah meninggal dunia. Ia lalu dimakamkan di kampung halamannya, Batu, Malang beberapa hari kemudian.
Banyak Kejanggalan
Ada banyak kejanggalan terkait kematiannya. Dua bulan setelah kematian Munir, Kepolisian Belanda kemudian mengumumkan temuan kadar arsenik dalam beberapa organ tubuh lulusan Fakultas Hukum Universitas Brawijaya itu.
Munir diracuni dengan arsenik. Dugaan awal arsenik tersebut terdapat dalam jus jeruk yang diminumnya.
Kala itu, dugaan pelaku mengarah Polikarpus, seorang Pilot yang ‘menyusup’ dalam penerbangan tersebut. Polikarpus diketahui sempat menukar tempat duduknya dengan Munir. Munir yang duduk di kelas ekonomi bertukar tempat dengan Polikarpus.
Munir sempat meminum jus jeruk yang ditawarkan pramugari setelah bertukar tempat dengan Polikarpus.
Ada dugaan Polikarpus meracuni Munir di Bandara Changi. Seorang saksi kunci, musisi, Ongen Latuhamallo melihat Polikarpus sempat duduk bersama Munir saat transit di Changi. Kala itu, Polikarpus datang membawa dua gelas minuman di Coffee Bean di Bandara Changi.
Kesaksian Ongen menjadi dasar hakim memvonis Polikarpus dengan hukuman 14 tahun penjara.
Selain itu, Polikarpus yang adalah seorang pilot sedang dalam masa cuti. Mengherankan kemudian, ia berada di dalam pesawat dan bertugas sebagai crew pesawat berdasarkan surat yang ditandatangani Dirut Garuda Indonesia.
Dalam persidangan kala itu, Dirut Garuda Indra Setiawan, mengaku pernah menerima surat dari BIN.
Lantaran menandatangani surat penempatan Polikarpus tersebut, Indra divonis penjara 1 tahun.
Kejanggalan lain yakni terungkap komunikasi melalui telepon antara Polikarpus dan pejabat BIN, Muchdi. Bahkan, Polikarpus diduga merupakan agen BIN yang direkrut sejak ia bertugas di Papua.
Muchdi sempat ditetapkan sebagai tersangka meski akhirnya dibebaskan karena tidak dapat dibuktikan perannya dalam persidangan.
Kejanggalan lainnya lagi adalah hilangnya dokumen TPF.
TPF yang dibentuk oleh SBY telah bekerja dan menghasilkan dokumen. Sayangnya sampai saat ini dokumen tersebut tak pernah terungkap ke publik.
Belakangan pada 2016 lalu diketahui bahwa dokumen TPF hilang.
Kematian Saksi Kunci
Pada 2018 lalu, Polikarpus resmi bebas bersyarat.
Meski demikian kasus ini masih menyisakan tanda tanya siapa otak di balik pembunuhan Munir.
Meski demikian sejumlah saksi kunci telah meninggal dunia. Mereka yang meninggal di antaranya Ongen.
Ongen meninggal setelah sempat disiram air di jalan oleh pengendara yang sempat terlibat keributan dengannya.
Selain itu, berdasarkan data Komite Solidaritas untuk Munir (KASUM) ada juga saksi kunci lain yakni seorang purnawirawan. Purnawirawan yang pernah menjadi pejabat BIN tersebut menghubungi KASUM untuk bertemu.
Ia mengaku mengetahui ada sketsa rencana pembunuhan Munir. Akan tetapi, belum sempat bertemu purnawirawan yang tak disebutkan namanya tersebut diketahui meninggal dunia.
Demikian juga, saksi kunci lain yang menjadi alibi Polikarpus bahwa ia dijemput seseorang. KASUM memperoleh informasi bahwa orang tersebut telah meninggal dunia.
Selain itu, ada pula mantan pejabat BIN, Bijah Soebijanto yang disebut ahli alibi. Bijah ahli membaca dokumen telepon menjadi dokumen hukum.
KASUM sempat membuat janji dengan Bijah. Namun belum sempat bertemu, yang bersangkutan dikabarkan meninggal.
Penulis: Are De Peskim
Editor: Ardy Abba