Oleh: Marianus Mantovanny Tapung
(Dosen Unika St. Paulus Ruteng)
Politik daur ulang sangat kental pada pada kontestasi pemilihan presiden 2019 lalu. Propaganda politik dengan tagar ‘#2019GantiPresiden’ sangat masif saat itu melalui berbagai media dan kanal. Yang menjadi target dari tagar ini adalah Presiden Jokowi yang sudah menyelesaikan masa jabatan periode pertamanya, dan kembali bertarung untuk masa jabatan kedua.
Propaganda tagar ‘#2019GantiPresiden’ ini menggema dengan sangat masif, terstruktur dan sistematis, yang diskenario oleh tim pemenangan Prabowo-Sandi, sejumlah partai pendukung seperti Gerindra, PKS, PAN, dll, serta sayap-sayap gerakannya.
Sudah pasti kampanye ini sangat mengganggu posisi Jokowi dan Maruf Amin yang didukung PDIP, Golkar, Nasdem, PKB, Hanura, dll. Dengan berbagai upaya keras, pihak Jokowi-Ma’ruf berusaha menangkal propaganda ini, dengan lebih banyak menginformasikan dan menyosialisasikan program-program dan capaian pembangunan selama periode Jokowi-Kalla.
Ikhtiar keras dalam mengiformasikan dan menyosialisasikan gagasan program dan capaian pembangunan berbuah manis. Jokowi terpilih lagi menjadi presiden Indonesia untuk periode 2019-2024. Sebaliknya, kampanye dengan tagar ‘#2019GantiPresiden’ mengalami kegagalan.
Kemenangan Jokowi-Ma’ruf sebesar 55,50% dan Probowo-Sandi sebesar 44,50%; dan selisihnya sebesar 11%. Untuk Jokowi dan Probowo, pemilihan presiden 2019 adalah tanding ulang (remacth) setelah pemilihan presiden 2014, di mana peroleh suara Jokowi-Kalla lebih tinggi sebesar 6,3% (53,15%) dari Probowo-Hatta sebesar 46,85%.
Jargon Jadi Biang Kekalahan
Bila kembali ke belakang, menurut saya ada beberapa hal pokok mengapa tagar ini mengalami kegagalan di tahun 2019. Pertama, gerakan ini belum mewakili sebagian besar keinginan masyarakat luas bangsa Indonesia. Tingkat kepercayaan masyarakat kepada Jokowi relatif di atas 60%, meski kerap mengalami fluktuasi. Masyarakat Indonesia masih menginginkan kepemimpinan Jokowi berlanjut, tentu dengan beberapa evaluasi penting di sektor-sektor tertentu.
Menurut saya, tagar ‘#2019GantiPresiden’ hanyalah bagian dari upaya untuk memanipulasi masyarakat untuk merubah pilihannya politiknya di Pilpres 2019. Hal ini terkonfirmasi oleh pendapat pengamat politik Universitas Islam Negeri Syarief Hidayatullah Jakarta, Adi Prayitno, yang menyebut pembuatan tagar ‘#2019GantiPresiden’ sebagai bagian dari upaya agitasi dan propaganda kepada masyarakat untuk meruntuhkan kredibilitas pemerintah yang sedang berkuasa.
Sementara, Sekjen PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto meyakini kalau gerakan ‘#2019GantiPresiden’ bukanlah aspirasi dari akar rumput atau rakyat kebanyakan. Gerakan tersebut adalah manuver politik dari kubu oposisi karena menguatnya elektabilitas Jokowi di mata masyarakat waktu itu (https://mediaindonesia.com/read/detail/214282-miskin-gagasan-tim-paslon-02-lakukan-praktik-politik-daur-ulang).
Kedua, tagar ‘#2019GantiPresiden’ cukup berkontribusi terhadap kekalahan pasangan Prabowo-Sandi. Sebab untuk sebagian orang yang melek politik demokrasi, tagar ini dilihat sebagai bentuk pemaksaan kehendak, jika tidak mau dikatakan sebagai upaya coup de ‘tat. Tagar ini dianggap menjadi ancaman bagi kenyamanan masyarakat, serta sangat menganggu ideologi persatuan dan kesatuan negara bangsa.
Melihat isi gerakannya yang tidak konstruktif, tidak sedikit masyarakat yang mengritisi, tidak terprovokasi, dan bahkan menolak dengan tegas tagar ini. Kalangan akademisi, pelaku usaha, dan birokrat, dan mahasiswa banyak pula yang melawan gerakan ini dengan serius.
Ketiga, kekalahan cukup telak dengan selisih 11% Probowo dari Jokowi menarasikan tentang hal penting, yakni: melawan petahana tidak cukup menggandalkan jargon, propaganda dan agitasi. Sebagai penantang, selain memiliki amunisi modal biaya politik, juga yang tidak kalah penting adalah gagasan program pembangunan, berikut memiliki kepercayaan politik dari masyarakat. Sudah barang tentu, mengandalkan nama besar, modal, trah dan kedudukan di partai sebenarnya belum cukup paralel dalam mendulang suara kemenangan. Rekam jejak dan figur masih menjadi poin penting dalam menentukan tingkat kedisukaan dan keterpilihan masyarakat.
Keempat, demi mendukung ‘#2019GantiPresiden’ maka diproduksi juga isu turunan seperti Jokowi berdarah PKI, anak desa, dan berkepribadian ‘planga-plogo’. Alih-alih termakan berbagai isu ini, Jokowi justru semakin mendapat simpati dari masyarakat. Di tengah tingkat literasi politik masyarakat yang sudah agak membaik, memainkan secara berulang-ulang isu-isu pribadi, bernuansa suku, ras, agama dan keturunan, serta isu-isu yang tidak sesuai dengan fakta seperti infrastruktur rusak, korupsi dan penyimpangan moral, agaknya sudah tidak relevan lagi. Bahkan bisa menjadi pedang bermata dua bagi yang memproduksi isu tersebut, atau menjadi pukulan balik (back fire), jika tidak dikelola dengan cerdas dan bijak. Produksi isu-isu daur ulang, sebenarnya pilihan buruk untuk kelompok yang tidak cukup produktif dan kreatif, dan berkekurangan dalam hal membangun gagasan.
Pamer Jargon pada Politik Lokal
Secara sengaja atau tidak sengaja, sadar atau tidak sadar, tagar ‘#2019GantiPresiden’, bahkan sudah diadopsi dan diadaptasi demi kepentingan kontestasi politik lokal. Tagar ini sudah berganti baju dengan propaganda ‘Ganti Bupati’.
Proses adopsi dan adaptasi bisa saja berlangsung secara artifisial, seperti hanya sekedar mengambil tagline kerennya saja, bisa juga menyentuh hal yang substansial seperti mendaraskan berbagai alasan mendasar mengenai keinginan menggantikan kepala daerah.
Dalam kaca mata politik kekuasaan, memainkan tagline atau jargon dalam bentuk apapun sejauh tidak menyentuh wilayah pribadi, mengancam kenyamanan hidup bermasyarakat dan integrasi berbangsa, menjadi sah dan tidak bisa disalahkan.
Menjadi tidak cukup sah dan bisa dipersalahkan secara moral politik apabila dalam gerakannya, tidak banyak membawa kebaikan bagi peradaban politik lokal. Lebih dari itu, menjadi preseden buruk secara moral politik, apabila diikuti dengan upaya mendaur ulang isu-isu sempalan yang malah membuat kadar kualitas jargon memudar, berikut kehilangan pamor etisnya.
Bila benar pengandaian saya bahwa propaganda ‘Ganti Bupati’ merupakan turunan dari dari tagar ‘#2019GantiPresiden, maka ada dua hal yang perlu menjadi perhatian: Pertama, bila semangatnya tidak didasarkan pada pendasaran yang kuat dari segi gerakan, maka akan terjebak dengan politik daur ulang. Artinya, semangatnya tetap similiar dengan tagar ‘#2019GantiPresiden’, tetapi tempus dan locus-nya saja yang berbeda. Kedua, bila semangat ini dikomodifikasi dengan menyampaikan gagasan-gagasan bernas dan menyakinkan, saya kira dapat menjadi kekuatan yang dahsyat dalam melawan petahana atau paket lain.
Karena itu, tagihan yang paling berat bagi mereka yang mereproduksi semangat ini adalah kreasi, inovasi dan substansi saat menyampaikannya kepada masyarakat konstituen. Hukum alamiah dalam dunia gerakan intelektual menyuruh, lebih sulit memodifikasi karya orang lain dari pada menciptakannya sendiri. Secara psikologis, terdapat rasa canggung dan tidak percaya diri bila mengadopsi gagasan orang lain tanpa kekuatan kreasi dari diri sendiri.
Salah satu pengertian menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata ‘ganti’ atau ‘per-ganti-an’ adalah proses menukar sesuatu yang sudah tidak ada atau hilang. Menurut saya, sebagai sebuah proses, maka ‘pergantian’ mesti didasarkan pada kaidah jawaban atas pertanyaan berikut ini: Mengapa diganti? Siapa yang menggantikan? Apakah yang menggantikan tepat kualitasnya untuk mengisi yang hilang? Bagaimana proses pergantiannya? Pertanyaan-pertanyaan ini mesti dijawab dengan lugas dan tuntas demi menghindari multitafsir dan polarisasi pemahaman masyarakat lokal.
Bila pertanyaan dasar ini belum bisa dijawab gamblang, maka kekuatan jargon cepat atau lambat mengalami penyusutan dari segi semangat dan implementasinya. Dalam konteks kontestasi politik lokal, agar jargon ‘ganti bupati’ tidak hanya sekedar buih (lipstik), maka perlu kemukakan beberapa alasan yang adequat dengan menjawab sejumlah pertanyaan fundamental di atas. Yang menjadi ‘core value’nya, melawan atau merubah sesuatu mesti didasarkan pada dalil-dalil yang cukup beralasan dan bisa menyakinkan masyarakat umum.
Untuk menegaskan ini, saya teringat pernyataan Sekjen PDI Perjuangan, Hasto Kristianto, bahwa menjadi calon kepala daerah harus kedepankan prestasi dan rekam jejak baik seperti keluarga, prestasi dalam karir, apakah mulus atau diberhentikan di tengah jalan, retorika atau kerja, dan memiliki visi-misi yang jelas. Dan menurutnya, mengalahkan petahana saat sekarang sangatlah tidak mudah, karena itu perlu sampaikan isu yang jauh lebih menarik kepada publik, daripada hanya sekedar produksi konten serangan negatif, melalui praktik politik daur ulang dan memanipulasi dukungan tokoh (masyarakat) (https://www.gesuri.id/analisis/absurditas-2019gantipresiden-agitasi-kaum-karbitan-b1Tx1ZbpL).
‘Ganti Bupati’, Salah Alamat
Sementara, secara konstititusional, dalam UU Pemilu 7 tahun 2017 dan Peraturan Komisi Pemilihan Umum No.6 dan 10 tentang Pemilihan Serentak Kepala Daerah (Gubernur, Bupati/Walikota), jarang dan bahkan tidak ditemukan istilah ‘ganti’ atau ‘menggantikan’. Yang lazim digunakan adalah istilah ‘pemilihan’ (election) untuk menggambarkan konstitusionalitas suksesi kepemimpinan lokal dan nasional.
Karena itu, bila kata ‘Ganti Bupati’ dikenakan pada konteks pemilihan kepala daerah, maka bisa dianggap sebagai salah kaprah atau salah alamat (nefas oratio). Mengapa demikian? Penggunaan istilah ‘Ganti Bupati’ dalam konteks pemilukada memiliki korelasi maknanya dengan dimensi lain, yakni:
(1) Suksesi kemimpinan kepala daerah harus didasarkan pada proses demokrasi yang melibatkan masyarakat umum secara langsung, umum, bebas, rahasia dan adil serta sesuai dengan aturan yang berlaku.
Dengan demikian, segala upaya menggantikan pemimpin lokal tidak seturut prosedur tahapan pemilu dianggap sebagai tindakan inkonstitusional; apalagi secara de facto dan de jure, masih ada kepala daerahnya.
(2) ‘Memilih’ pemimpin adalah term politik yang paling koheren dengan semangat UU Pemilu, di mana termaktub di dalamnya partisipasi masyarakat secara sadar, tanpa paksaan, dan/atau tekanan dari pihak lain saat memilih pemimpinnya. Pemaksaan kehendak kepada masyarakat dengan cara apapun akan menciderai martabat demokrasi lokal, dan bisa berdampak pada segregasi sosial yang menguras energi dan biaya dalam memulihkannya.
Kita tidak mau kenyamanan dan ketentraman masyarakat menjadi taruhan politik lima tahunan. Meski demikian, seturut perspektif demokrasi substansial, segala produk demokrasi langsung perlu diterima semua masyarakat dengan hati yang lapang, termasuk hasil Pilkada yang dilangsungkan 9 Desember 2020.