Kupang, Vox NTT- Dewan Pimpinan Wilayah Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) mendorong adanya Omnibus Law.
Dorongan tersebut muncul atas masukan dan saran dari akademisi asal Fakultas Hukum Universitas Katolik Widya Mandira Kupang, Mikael Feka.
Omnibus Law sendiri merupakan regulasi atau Undang-undang (UU) yang mencakup berbagai isu atau topik. Secara harafiah, definisi Omnibus law adalah hukum untuk semua.
Ketua DPW PKB NTT Yucudianus Lepa mengaku pihaknya sudah menyiapkan tema untuk menyambut Hari Pangan Nasional pada 24 September 2020.
PKB NTT, katanya, berinisiatif meyiapkan kegiatan kecil tetapi dampaknya sangat besar untuk masyarakat NTT.
Menurut Lepa, masalah tanah muncul karena nilai ekonomis akan tanah. Masalah tanah juga muncul karena harga atas tanah itu sendiri.
“Menurut catatan kami, konflik atas tanah karena saling klaim antarmasyarakat. Lalu antarmasyarakat dengan pemerintah. Konflik antarmasyarakat dan pengusaha. Biasanya penguasa bersembunyi di belakang pemerintah,” tegasnya saat diskusi terkait reforma agraria menyambut Hari Pangan Nasional di Kantor DPW PKB NTT, Rabu (23/09/2020) petang.
PKB NTT menginisiasi agar hal-hal yang didiskusikan ini akan direkomendasikan ke pusat.
Hal ini tentu saja sangat penting bagi PKB NTT karena berhubungan dengan petani. Hasil pertemuan akan jadi masukan bagi DPP PKB terkait UU Pokok Agraria termasuk dalam kerangka Omnibus Law.
Sebelumnya, Mikael Feka mengatakan Omnibus Law merupakan salah satu cara menghindari obisitas UU dan menghindari disharmonisasi antarperundang-undangan.
Omnibus Law berusaha untuk mensingkronkan semua. Saya sarankan kita mendukung Omnibus Law. Bahwa ada subtansi yang perlu diperbaiki atau dikritisi silahkan,” jelas Mikael.
Dalam diskusi yang membahas soal reforma agraria itu, Mikael juga menyentil soal konflik agraria yang terjadi di Indonesia umumnya dan NTT, khususnya.
Ia menjelaskan, konstitusi Negara tidak pernah disebut punya hak milik, tetapi hak menguasai.
Dasar konflik agragria menurut dia, adalah konflik antarmasyarakat. Hal ini bisa juga akan berimbas pada konflik vetikal antara masyarakat dengan pemerintah. Itu karena belum bersatunya masyarakat dalam menghadapi konflik agraria dengan pemerintah.
“Esok (24/09) itu akan berusia 60 tahun sesuai dengan UU Reforma Agrari Tahun 1960. Pemerintah sebagai representasi dari rakyat. Tentang bagaimana pemerintah menjaga mensejahterakan rakyat,” katanya.
Sekarang yang menjadi soal, lanjut Mikael, adalah eksekusi peraturan perundang-undangan itu belum dilakukan belum maksimal.
Indonesia tidak punya kemampuan untuk membuat UU yang mampu bertahan sangat lama. Tetapi tidak dengan UU pokok agraria yang bertahan lama. Sebuah produk hukum yang tidak pernah dirubah satu kata pun.
Ini tentu saja menjadi tantangan besar untuk merdeka dari aspek agraria.
Reforma agraria hanya satu yakni petani diberikan hak atas tanah. Indikatornya harus dari bawah. Agraria adalah napas dari konstitusi.
Menurut Mikael, pemerintan selalu berpatokan pada UU Nomor 33 tahun 2011 tentang tanah, air dan sumber daya yang dikuasai negara dalam setiap konflik agraria.
“Dalam UU itu jelas, Negara itu menguasai tetapi rakyat itu memiliki. Karena masyarakat ada sebelum negara. Negara baru muncul 1945. Negara memiliki kekuatan (power). Negara punya kuasa untuk membuat UU serta memiliki kuasa untuk menggunakan kekuatan,” ujar dia.
Penulis: Ronis Natom
Editor: Ardy Abba