Arnoldus Jemadu, S.Fil.
(Aktivis Sosial yang Tinggal di Jakarta )
Judul tulisan ini lahir dari fenomena yang muncul di Media Sosial belakangan ini. Pertama, tulisan Media Online voxntt.com pada Rabu, 23 September 2020 menerbitkan sebuah berita yang menarik untuk dikaji. Judulnya beritanya, “Sentuhan Pemda Manggarai untuk Unika Ruteng, Sebuah Kesaksian.” Tulisan ini lahir dari sebuah pengakuan dari seorang imam, David Jerubu, selaku Dekan Falkultas Ilmu Kesahatan dan Pertanian Universitas St. Paulus Ruteng.
Dalam tulisan ini Pater David menjelaskan historisitas Universitas St. Paulus Ruteng hingga pada akhirnya melihat peran pemda Manggarai selama Masa Kepemipinan Bupati Deno Madur. Salah satu kutipan langsung yang dipakai oleh voxntt.com dari Pater David, “Perjalanan kepemimpinan Deno-Madur (Deno Kamelus-Victor Madur) selama durasi waktu lima tahun ini telah menyentuh ranah pendidikan.”
Hal ini memang didukung dengan beberapa data yang memperlihatkan keberpihakan Pemda Manggarai selama masa kepemimpin Deno Kamelus. Ini fenomena pertama.
Kedua, sebuah surat undangan dari komunitas Ngada dan Nangakeo yang disingkat KOMANDO untuk mengadakan sosialisasi calon Bupati Manggarai periode 2020-2025, Paket Deno-Madur. Salah satu nama sebagai pihak yang mengundang adalah Pater Hubert Muda, SVD. Surat undangan ini diekspos di Grub Facebook Manggarai Bebas Berpendapat. Undangan ini ramai diperdebatkan di media Sosial.
Ketiga, sebagai bagian kelanjutan dari fenomena kedua, memperlihatkan sebuah video Pater Huber Muda, SVD yang memberikan sebuah parang kepada Paket Deno-Madur sebagai sebuah bentuk dukungan dari Keluarga besar Ngada dan Nangakeo dalam Pilkada 2020.
Fenomena yang ada melahirkan sebuah pertanyaan di kalangan masyarakat di Manggarai terkhusus pendukung lawan politik petahana, bolehkah imam berpolitik praktis?
Saya berusaha memberikan beberapa catatan atas beberapa fenomena yang sedang ramai dibicarakan di media sosial. Walaupun harus diakui, tulisan ini tidak mewakili pihak atau lembaga tertentu.
Pertama, berita voxntt.com itu tidak salah secara normatif. Apalagi dikaji dengan standar jurnalistik yang benar. Sah saja. Pengakuan Pater David itu benar. Ia dengan tulus dan jujur mengakui keberpihkan Pemda Manggarai dalam dunia pendidikan. Misalnya, usaha Pemda Manggarai dalam menyukseskan peningkatan status STKIP menjadi sebuah Universitas. Itu hal yang harus hargai dan menjadi sebuah sejarah berharga dalam keberadaan Universitas Katolik St. Paulus Ruteng.
Lantas, apa salahnya? Tulisan dan pengakuan ini memang menjadi polemik saat berada pada pusaran Pilkada 2020. Apalagi, Petahana menjadi salah satu calon dalam Pilkada 2020. Hal ini berhubungan dengan penilaian etis semata.
Jika saja pengakuan seperti ini tidak terjadi pada moment sekarang, ia tidak menjadi sebuah diskursus, apalagi sampai pada sebuah penilaian iman/pastor terlibat dalam politik praktis.
Etis, dalam arti tidak melukai rasa pendukung dari paket lain, jika pengakuan ini berlangsung tahun lalu pada saat peresmian UKI St.Paulus Ruteng, atau sesudah Pilkada 2020 berlangsung.
Kedua, Imam setelah ditahbiskan tetap saja terlibat dalam politik. Paulus Budi Kleden, dalam buku, Aku Yang Solider, Aku Dalam Hidup Berkaul- Sebuah Refleksi Tentang Aku yang Berkaul dari Perspektif Mistik dan Politik menjelaskan posisi Imam dalam berpolitik. Ia menyebut keterlibatan itu sebagai bagian dari politik selibat. Dengan status yang demikian mendorong seorang imam untuk menyuarakan ketidak-adilan yang ada dan terjadi di dalam masyarakat.
Hal yang sama ditulis penulis dalam buku Teologi Telibat, ia melihat posisi Gereja sebagai lembaga yang telibat dalam politik Kritis. Gereja tidak boleh menjadi penonton tapi menyuarakan ketimpangan yang ada dan terjadi di dalam masyarakat.
Apalagi saat hak orang kecil dipinggirkan di dalam kehidupan bermasyarakat. Gereja wajib menyuarakan hak mereka demi menggapai kebaikan bersama (Paulus Budi Kleden, 2012)
Keberadan Gereja yang demikian, mengutip teori sistem dari David Eston, menjadi input dan pressure dalam sebuah masyarakat. Tujuan satu, kebijakan pemerintah perlu mengakomodir kepentingan masyarakat yang terpinggirkan dalam ruang publik (David Eston,1965). Sehingga dengan demikian, mengutip teori klasik dari Filsuf Aristoteles, kebaikan bersama (bonum commune) bisa terpenuhi di dalam masyarakat.
Ketiga, Imam dengan hak politik yang ada di dalamnya secara normatif terlibat dalam politik praktis. Ia tetap memiliki hak untuk memilih pemimpin. Tetapi tidak memiliki hak untuk dipilih. Hal ini termuat di dalam norma hukum Kanonik.
Imam dilarang mengambil bagian dalam partai politik sebagai sebuah jalan untuk mendapatkan kekuasaan politik. Kanon 287 menegaskan bahwa, “Janganlah mereka turut ambil bagian aktif dalam partai-partai politik dan dalam kepimpinan serikat-serikat buruh, kecuali jika menurut otoritas Gereja yang berwenang hal itu perlu untuk melindungi hak-hak Gereja atau memajukan kesejahteraan umum.”
Keempat, dalam situasi yang politik yang ada, saat masyarakat terbelah dalam pilihan untuk mendukung calon tertentu, gerakan para imam perlu dipoles dengan baik sehingga tidak dilihat sebagai bentuk dukungan terhadap calon tertentu.
Hal ini didasari pada status imam sebagai Public Figure, perlu menjadi bahan pertimbangan dalam ketelibatan di ruang publik. Ia tetap mengedepankan netralitas sambil tetap merangkul semua pendukung dalam Pilkada 2020.*