Labuan Bajo, Vox NTT- Komunitas Guru Mabar, Menulislah (GMM) membedah buku berjudul “Guru Mabar Berkreasi di Tengah Badai Covid-19” di Aula SMKN Negeri 1 Komodo Labuan Bajo, Sabtu (03/10/2020). Buku tersebut diterbitkan oleh Perennial Institute.
Kegiatan bedah buku setebal 210 halaman tersebut dibuka langsung oleh Bupati Manggarai Barat Agustinus Ch Dula. Kegiatan dihadiri oleh guru-guru Mabar dan peserta lain dengan mengikuti protokol kesehatan pencegahan Covid-19.
Panitia menghadirkan pembedah, antara lain, Dr. Mantovanny Tapung Dosen Unika St. Paulus Ruteng. Dia adalah penulis buku: ‘Narasi Bangsa yang Tercecer’ dan ‘Politik Berkeadaban”, penulis di koran nasional dan lokal, Sekretaris Eksekutif Perennial Institute.
Kemudian moderator, Dr. Marsel R. Payong, M. Pd yang juga Dosen Unika St. Paulus Ruteng dan Direktur Eksekutif Perennial Institute.
Informasi yang dihimpun, karya intelektual ini telah digagas dan diinisiasi penerbitannya oleh Gode Afridus Bombang (almarhum), Yuliana Tati Haryatin dan Yosep Min Palem.
Selain itu, ada pula nama penggagas lain seperti Silvester Joni, Gusty Richano, Fransiskus Ndejeng, dan lain-lain.
Ada pula beberapa penulis luar dalam buku ini. Mereka ialah Prof. Drs. Feliks Tans, M. Ed., Ph.D Dosen Undana Kupang, Pastor Bernad Raho. MA. Dosen Sosiologi di STFK Ledalero, Yohanes Sehandi, M. Si Dosen Bahasa dan Sastra Indonesia Universtas Flores, Pastor Yosep Laba Makin Guru SMAK Loyola Labuan Bajo, Dr. Marsel Ruben Payong, M. Pd Dosen Teknologi Pembelajaran Unika St. Paulus Ruteng dan Direktur Eksekutif Perennial Institute, dan Willem Berybe Pensiun Guru SMAK Geovani Kupang dan mantan guru Seminari Kisol, serta Usman Ganggang Guru di Bima, NTB dan mantan Koresponden mingguan DIAN.
Dr. Marsel R. Payong dalam paparannya menjelaskan, pandemi Covid-19 telah berdampak pada pembatasan aktivitas manusia. Peraturan protokol kesehatan yang mengharuskan jaga jarak sosial dan fisik telah banyak berdampak pada rendahnya kreativitas dan produktivitas pada dimensi kehidupan manusia, tidak terkecuali dalam dimensi pendidikan.
Salah satu dampak pandemi Covid-19 terhadap dunia pendidikan, sebut Marsel, yakni terjadinya perubahaan pengarusutamaan konsep pendidikan dan pola pembelajaran, yang biasanya konvensional atau luring (di luar jaringan) menjadi daring (dalam jaringan).
Protokol kesehatan dan perubahan pola ini menjadi tantangan tersendiri, sekaligus peluang bagi para pendidik (guru) agar tetap menjalankan aktivitas kreatif sekaligus produktif.
Itu seperti yang dilakukan para guru di Mabar yang tergabung dalam Komunitas ‘Guru Mabar, Menulislah” (GMM) ini.
“Ketika kebanyakan orang ‘tak berkutik” saat wabah ini, justru mereka memanfaatkannya untuk mengungkapkan gagasannya tentang pendidikan dan hal-hal lain yang terkait, dalam bentuk buku bunga rampai berjudul: ‘Guru Mabar Berkreasi di Tengah Badai Covid-19’,” terang Marsel.
“Selain bunga rampai ini dapat menjadi menjadi alternatif sumber pengetahuan, berikut informasi bagi para pembaca di masa pandemi ini, tetapi lebih dari itu, dengan memuat gagasannya, para guru kreatif ini dapat mengaktualisasikan kemampuan menulis, yang justru menjadi salah satu kompetensi penting seorang guru profesional, sesuai amanah Pasal 10 ayat (1), UU Nomor 14 tahun 2005 dan Permendiknas Nomor 16 tahun 2007,” imbuhnya.
Dikatakan, salah satu kecerdasan abad 21 dan menjadi tuntutan revolusi 4.0 adalah kecerdasan digital dan menjadi bagian dari gerakan literasi digital.
Ia menilai, apa yang dilakukan guru-guru yang tergabung dalam Komunitas ‘Guru Mabar Menulislah’ selama pandemi ini merupakan bagian dari gerakan literasi digital ini. Mereka sudah berkreasi dalam dunia maya.
Buku “Guru Mabar Berkreasi di Tengah Badai Covid-19” merupakan produk literatur yang merupakan hasil berselancar secara kreatif di dunia maya.
Buku ini adalah bentuk siberkreasi yang menjadi tak terhindarkan di dunia serba digital saat ini. Dan ke depannya, siberkreasi seperti ini menjadi habitus (kebiasan) yang harus dijalankan oleh hampir 7 miliar populasi penduduk di muka bumi ini.
“Saya berharap guru-guru ini bisa menjadi pahlawan digital untuk gerakan literasi digital demi menebar kebaikan dan kebenaran bumi di Mabar ini pada masa mendatang,” kata Marsel.
Ia menambahkan, buku “Guru Mabar Berkreasi di Tengah Badai Covid-19” menjadi pemantik baru bagi diskusi yang ke sekian kalinya, terkait kondisi literasi pada Negara Indonesia.
Pemeringkatan literasi internasional, Most Literate Nations in the World, yang diterbitkan Central Connecticut State University (2016) menunjukkan, tingkat kemampuan membaca dan menulis masyarakat Indonesia sangat ketinggalan.
Indonesia berada di urutan ke-60 dari total 61 negara. Posisi paling atas diduduki Finlandia, disusul Norwegia, Islandia, Denmark, Swedia, dan Swiss. Sementara Kompas.com (23/11/2011) menulis “Tradisi Menulis Lebih Rendah daripada Minat Baca”.
Menurut inisiator sekaligus penggagas Yuliana Tati Haryatin, buku “Guru Mabar Berkreasi di Tengah Badai Covid-19” adalah bagian penting dari proses sosiologis, psikologis, historis, religius, ideologis, eksistensial dan tanggung jawab moral.
Dengan karya ini, guru-guru yang tergabung dalam komunitas GMM sedang menunjukkan sekaligus menegaskan identitas dan entitas keberadaan dirinya sebagai homo sapiens.
Yuliana mengatakan, manusia yang berakal budi tidak saja dikenang karena potensi pemikiran, tetapi juga telah mengejawantahkan potensi itu dalam bentuk karya.
“Karya ini akan dikenang sebagai bagian dari proses hidup anda di muka bumi ini, dan meskipun kehidupan direnggut dari diri kalian. Karya ini akan berharga bagi kepentingan diri dan kepentingan orang lain, terutama geliat literasi di Mabar ini,” terang Yuliana.
Dengan adanya karya ini, tambah dia, Mabar tidak saja menjadi episentrum peradaban pariwisata, tetapi juga peradaban literasi. Bila kekuatan pariwisata dipadukan dengan kekuatan literasi, maka akan muncul peradaban baru yang disebut peradaban litera-wisata, gradasi atau tingkatan serta dan harga tawar peradabannya jauh lebih tinggi dari wisata premium.
Menurut dia, tidak ada artinya wisata premium bila tidak didukung oleh narasi-narasi tertulis mengenai potensi alam dan budaya di Mabar ini. Bila ditumbuhkembangkan dengan baik, narasi-narasi ini dapat menjadi dasar gerakan litera-wisata, yang nantinya bisa menjadi ikon berharga bagi Mabar, yang mungkin tidak ada pada daerah lain di NTT ini, termasuk Manggarai dan Manggarai Timur.
“Dapat diduga, bila litera-wisata semakin menggeliat dan menjadi gerakan bersama pada masa-masa mendatang, maka suatu saat hak kesulungan geo-kultur kemanggaraian akan bergeser dari Manggarai ke Manggarai Barat,” kata Yuliana. (VoN)