Oleh: Fr. M. Yohanes Berchmans, Bhk
Kepala SMPK Frateran Ndao Ende-Flores
“Aku memang tidak bisa mengubah apa yang telah aku mulai, tetapi aku masih bisa mengubah arah yang akan aku tuju”.
Para sahabat kita masih ingat tentunya jargon Jokowi saat kampanye, dan seiring dengan kemenangan Jokowi sebagai presiden dan Yusuf Kalla sebagai wapres dalam pilpres 9 Juli 2014, maka tampaknya kita akan memasuki era perubahan yang signifikan melalui konsep REVOLUSI MENTAL yang dikumandangkan.
Kita juga pernah mendengar kata REFORMASI yang juga bermakna PERUBAHAN lalu dimana letak perbedaan keduannya? Letak perbedaanya pada waktu, yakni revolusi mental bermakna perubahan fundamental dalam waktu singkat, sedangkan reformasi perubahan tidak radikal dalam waktu singkat, melainkan terencana dan bertahap.
Entah revolusi mental atau reformasi yang jelas muaranya PERUBAHAN. Perubahan yang signifikan tersebut sebaiknya kita sikapi dengan kesiapan untuk BERUBAH dari kita masing-masing, agar tidak menjadi korban perubahan. St. Paulus dalam suratnya (Roma 6: 6-7) berkata tanggalkan manusia lama dengan cara hidup yang lama dan kenakan manusia baru dengan cara hidup yang baru pula (2 Korintus 5: 7).
Lebih lanjut, bahwa seruan revolusi mental Jokowi tidak hanya untuk para birokrat yang ada dipemerintahan dan jajarannya, melainkan bagi semua saja, termasuk kita yang ada di satuan pendidikan. Dan dalam konteks satuan pendidikan, maka stakeholder yang ada di dalamnya harus menjadi garda terdepan dalam mewujudkan revolusi mental serta PERUBAHAN adalah harga mati. Dengan demikian, di satuan pendidikan, perubahan harus menjadi barometer dan bagaikan metamorphosis bagi peserta didik.
Makna Revolusi Mental
Revolusi dalam bahasa Latin revolutio, artinya berputar arah yang berarti perubahan fundamental atau mendasar dalam struktur kekuatan atau organisasi yang terjadi dalam periode waktu yang relatif singkat. Sedangkan mental atau tepatnya mentalitas adalah cara berpikir atau kemampuan untuk berpikir, belajar dan merespons terhadap suatu situasi atau kondisi. Jadi, Revolusi Mental dapat diartikan perubahan yang relatif cepat dalam cara berpikir kita, dalam merespon, bertindak dan bekerja.
Dalam konteks satuan pendidikan, revolusi mental berarti perubahan paradigma ataupun mindset semua stakeholder dalam menciptakan sekolah yang berkualitas. So, sebagai pelopor atau agen perubahan, insan pendidik dan tenaga kependidikan, serta peserta didik, harus memiliki paradigma ataupun mindset yang sama tentang sekolah yang berkualitas.
Dengan demikian, semua komponen yang ada harus memiliki target (goal setting) dan atau tujuan yang satu dan sama. Jika sudah memiliki paradigma ataupun mindset yang sama, harus diikuti pula dengan cara kerja yang cekatan ( efisien) tetapi juga efektif. Yang lebih penting lagi, bahwa perubahan paradigma ataupun mindset harus diikuti oleh perubahan sikap dan tingkah laku semua stakeholder yang ada di satuan pendidikan.
Selain itu, juga dibutuhkan komitmen dan konsistensi semua komponen dalam mengimplementasikan revolusi mental dalam konteks satuan pendidikan. Revolusi mental ala satuan pendidikan tersebut harus menjadi embrio lahirnya sekolah yang berkualitas.
Sekolah yang berkualitas bukan hanya gedungnya yang mewah, fasilitasnya yang memadai, tetapi yang lebih penting adalah kualitas hidup warganya, baik intelektualnya juga sikap (attitude) dan perilakunya (behavior). Dan untuk mendukung Gerakan Nasional Revolusi Mental (GNRM), maka lahirlah pendidikan karakter sebagai basis Revolusi Mental yang muaranya melahirkan generasi emas, generasi yang cerdas dan berkarakter.
Makna revolusi mental bagi satuan pendidikan adalah terjadinya perubahan pola/cara pikir yang diiringi perubahan sikap dan perilaku warga sekolah, dengan komitmen yang tinggi serta konsisten yang bermuara pada lahirnya generasi emas, generasi muda yang cerdas dan berkarakter untuk membangun bangsa, dan inilah sekolah yang berkualitas.
Jadi, sesungguhnya sekolah berkualitas bukan terletak pada angka atau nilai UN yang menjadi ukuran kualitas satuan pendidikan, melainkan pada karakter (sikap, perilaku), atau pada hati yang terwujud dalam tindakan.
Oleh kareana itu, harapnnya, kiranya setiap satuan pendidikan harus menjadi garda terdepan dan pelopor ataupun agen penggerak revolusi mental yang akan melahirkan generasi yang cerdas dan cekatan dalam berpikir dan bertindak (efisien, efektif) serta berkarakter. Dalam hal ini, peran pendidik menjadi sangat penting sebagai orang kunci (key person) dalam melahirkan generasi yang cerdas dan cekatan (generation of intelligent and deft) serta berkarakter.
Makna Reformasi
Kata Reformasi secara etimologis berasal dari kata reformation yang artinya adalah perbaikan atau pembentukan baru. Secara harfiah reformasi memiliki makna yaitu suatu gerakan untuk memformat ulang, menata ulang atau menata kembali hal-hal yang menyimpang untuk dikembalikan pada format atau bentuk semula, sesuai dengan nilai-nilai ideal yang dicita-citakan rakyat.
Makna serta pengertian reformasi pada saat sekarang banyak disalah artikan, sehingga gerakan masyarakat yang melakukan perubahan yang mengatasnamakan gerakan reformasi juga tidak sesuai dengan pengertian reformasi itu sendiri.
Dalam konteks satuan pendidikan, reformasi menjadi sangat penting guna menciptakan iklim kerja yang kondusif. Iklim kerja yang kondusif hanya terjadi jika setiap pendidik saling mendengarkan, saling mendukung, saling menghormati dan menghargai, saling bekerjasama atau bersinergi, serta saling menggerakan yang dilandasi oleh CINTA persaudaraan.
Di dalam “saling” itulah, ada proses take and give. Dengan demikian, reformasi lebih kepada reformasi diri para pendidik dan tenaga kependidikan, yakni memperbaiki diri atau membaharui diri, agar menjadi manusia baru. Selain memperbaiki diri juga memperbaiki kinerja. Jika setiap pendidik bisa mereformasi kinerjanya dari yang “sekadar” atau minimalis menjadi maksimalis, maka dia adalah seorang reformis yang profesional.
Pendidik yang reformis tidak hanya bisa mengoreksi orang lain, tetapi juga harus mengintrospeksi diri atau mengaca diri. Ingatlah pula filosofi lima jari tangan, 1 jari menunjuk orang lain, dan 4 jari menunjuk diri sendiri. Lebih lanjut, jika setiap pendidik dan tenaga kependidikan dapat memperbaiki diri, dan kinerjanya, bukan tidak mungkin akan tercipta sekolah yang BERKUALITAS, yang tercermin dalam kualitas diri peserta didik.
Reformasi memang tidak seradikal revolusi mental yakni perubahan dalam waktu yang relatif singkat. Namun, apakah itu revolusi mental atau reformasi yang terpenting muaranya adalah PERUBAHAN diri menjadi manusia baru, yang memiliki hati dan budi yang baru, yang tercermin dalam tindakan dan sikap yang baik nan positif. Juga melalui kinerja, melalui 3P (Performance/Penampilan, Pelayanan dan Prestasi), pada diri pendidik dan tenga kependidikan, serta akan berdampak pada PERUBAHAN pada diri peserta didik, secara holistik, baik itu intelektual, spiritual, emosional, sosial, moral, sebagai buah dari hasil belajar.
Inilah sesungguhnya makna GuRu yang dalam bahasa sansekerta secara eimologi berasal dari dua suku kata, yaitu Gu artinya darkness (kegelapan) dan Ru artinya light (cahaya, sinar, terang). Oleh karana itu, secara harfiah, GuRu atau pendidik adalah orang yang menunjukan “cahaya, terang, sinar atau pengetahuan atau kepandaian atau kebijaksanaan (widya) dan memusnahkan kebodohan atau kegelapan (awidya)”.
Menurut Sudira (2012:2):proses transformasi dari “Gu” ke “Ru”, atau gelap (awidya) menuju terang (widya) berjalan secara terus menerus tanpa henti sebagai proses long life education. Itu artinya bahwa GuRu sendiri harus terlebih dahulu berpengetahuan (Widya) atau menjadi cahaya, sinar, terang, pelita (Ru), bagi peserta didik yang masih berada dalam kegelapan (Gu) atau kurang berpengetahuan (Awidya), sebagaimana yang tersurat dalam lirik lagu HYMNE GuRu. Sebab tidak mungkin seorang GuRu memberi dari apa yang tidak dimilikinya atau dalam bahasa latinnya NEMO DAT QUOD NON HABET. Sehinnga, dengan demikian tugas guru adalah menciptakan PERUBAHAN pada sikap dan perilaku (changes in attitudes and behavior) peserta didik.
Penutup
“Aku yang sekarang adalah pilihan yang aku ambil di masa lalu. Sekarang aku harus lebih bijak memilih langkah selanjutnya”.
Revolusi mental dan reformasi yang sempat terdengar begitu lantang, hasilnya tidak seperti yang diharapkan. Revolusi mental yang menjadi jargon Jokowi saat berkampanye sekarang ini banyak menuai kritikan, mungkin kita juga salah satunya.
Saya berpendapat tidaklah benar mengkritik Jokowi, mengapa? Karena untuk mengubah mentalitas, jangan menunggu orang lain untuk mengubahnya. Kita sendirilah yang harus mengubahnya dengan komitmen, konsistensi dan kesungguhan.
Demikian juga dengan reformasi, jangan pernah mereformasi sistem, organisasi, institusi sebelum kita mereformasi diri kita terlebih dahulu. Jadi, baik revolusi mental maupun reformasi, substansinya adalah PERUBAHAN, mulai dari cara berpikir, bersikap, bertingkah laku, berkinerja, bertindak/berbuat.
Sebab jika kita ingin mengubah “segala sesuatu”, dalam lingkup satuan pendidikan mulailah dengan mengubah diri kita dahulu. Sebab, kalau bukan kita siapa lagi, dan kalau bukan sekarang saatnya kapan lagi? Siapa tahu kontribusi dari setiap kita dapat melahirkan sekolah yang berkualitas. Semoga !!!