“Langkah pertama untuk menaklukan sebuah masyarakat adalah memusnahkan ingatannya. Hancurkan buku-buku, kebudayaan, dan sejarahnya. Perintahkan seseorang menulis buku baru, membangun kebudayaan baru dan menyusun sejarah baru. Tak lama, masyarakat akan lupa pada masa kini dan masa lampaunya.”
Tulis salah satu sejarawan, Milan Hubl, yang menjadi korban rezim Gustav Husak, Presiden ketujuh Republik Cekoslovakia. Gustav didaulat ke tampuk kekuasaan pada tahun 1969. The president of forgetting, tindakan otoriter yang dilakukan Husak mengulang kembali sebuah kisah kelam yang pernah terjadi pada 1621, yakni gagalnya reformasi Ceko yang ditandai dengan pembantaian kebudayaan dan pemikiran.
Indonesia tidak jauh berbeda dengan Cekoslovakia pada waktu itu. Negara yang makmur nun subur ini tenggelam dalam kebangkrutan ekonomi, stagnasi politik, dan ketidakjelasan sejarah.
Soeharto melakukan atraksi kekuasaannya secara apik. Penindasan struktural, monopoli kekuasaan, dan hegemoni politik nyaris tidak kunjung usai. Ironinya, anasir kekejaman itu tidak pernah dihadirkan dalam buku-buku sejarah. Kesalahan demi kesalahan diperbaharui secara terus menerus sebagai sebuah kebaikan dan kebenaran. Diam-diam masyarakat terbiasa dan mengidap amnesia sejarah.
Pertanyaan yang muncul setelahnya adalah bagaimana cara mengobati penyakit amnesia sejarah tersebut? Bagaimana melakukan sebuah usaha melawan lupa dan merawat sejarah? Bagaimana caranya melakukan upaya penjernihan sejarah? Setidaknya mengingat kota sendiri dan mengingat identitas sendiri?
Dalam dengung pertanyaan itu, Sekolah Musa menggelar Pameran Arsip Publik Merekam Kota, Memori, Ruang, Imajinasi yang dilaksanakan dari 17 Oktober sampai 31 Oktober 2020 di Pabrik Es Minerva, Jalan Siliwangi Kota Lama, Kupang.
Kunjungan Wartawan VoxNtt.com
Pada 22 Oktober 2020, kolong langit senja yang perlahan luruh, gedung-gedung tinggi dan terlihat tua menjepit seruas jalan. Aneka barang dagangan berjejalan pada bahu jalan. Suara bising motor, peluit tukang parkir dan kegaduhan pasar malam Kupang menjadi teras depan yang mengantarkan pengunjung ke lokasi Pameran Arsip Publik Merekam Kota. Dua gadis mengumbar senyum ramah di pintu depan pameran, mempersilakan pengunjung yang belum mendaftar menuliskan nama.
Keburaman dan keusangan menjadi impresi pertama yang menyembul keluar, ketika pengunjung memasuki gedung bekas Pabrik Es Minerva Kampung Solor, Kupang. Dari pintu masuk, pengunjung disuguhkan aneka pajangan foto di setiap sisi dinding gedung. Sebuah meja ditempatkan di tengah-tengah ruangan. Di atasnya, diletakan aneka dokumen dan foto-foto ukuran kecil yang bisa dipegang dan diliha-lihat.
Dua meter ke arah Timur, dua ruang kecil bisa dimasuki pengunjung untuk melihat gantungan potret tiga orang figur yang bisa dibaca profilnya pada bagian kanan. Segelintir tokoh tersebut mempunyai andil tersendiri. Nama-nama itu bisa saja asing bagi siapa saja, tetapi mampu memunculkan kelabat masa lalu, seperti kilatan cahaya, hanya sepersekian menit saja mampu membuat pengunjung yang melihatnya bergidik, cemas, terkesan, terkesima, tertelan aneka perasaan sebagai pantulan emosi kenangan. Berbarengan dengan kilatan itu, muncul pula ilalang ingatan, bayangan akan sejarah, cerita-cerita traumatis, serta gumam tokoh-tokoh adiluhung masa lalu di kota ini, kota tua, kota lama.
Sebuah jendela yang menjuang di kamar sebelahnya dijadikan tempat foto oleh beberapa pengunjung yang berganti gaya di setiap jepretan kamera. Dari ruangan kecil itu, tolehan pengunjung tercuri oleh potret dua wanita Timor bertelanjang dada. Potret tersebut menyingkapkan sebuah kesan mendalam, potret perempuan yang senantiasa ingin diutamakan, sebuah eutopia akan adanya kesetaraan gender. Jika pengunjung mau, panitia pameran menyediakan tempat bagi pengunjung yang ingin menuliskan kesan dan pesannya sebelum berjalan keluar mengikuti pintu di sudut kanan ruangan.
Motif di Balik Pemilihan Tempat di Pabrik Es Minerva
Hemingway dalam Death in the Afternoon, menulis bahwa keanggunan gerak gunung es terjadi karena hanya seperdelapan bagiannya yang muncul di atas air. Gumpalan es adalah elemen jagat raya yang infinit, pola pergerakan tak terhingga yang teriluminasi dalam gerak meleset menuju horison tak terjangkau (bdk Setiadi, 2015:136).
Maksudnya, strategi naratif model apa yang dipakai sehingga memunculkan gerak gunung es yang hanya tampak seperdelapan saja? Bisakah pengunjung menerka-nerka bagian yang hilang atau absen dari pameran tersebut? Pada titik inilah terletak relevansi antara metode pameran dan pemilihan lokasi pameran. Selain karena Pabrik Es Minerva merupakan pabrik es pertama di Kota Kupang sebagaimana diungkapkan Frengki Lollo, Tim Kurator dan penataan artistik Pameran, ada yang mesti dicairkan dari sejarah yang sudah lama beku dalam berbagai permasalahan pengarsipan, ada yang sebuah dinamika teatrikal pertunjukkan sejarah yang sedang diramu.
Pameran Merekam Kota menghadirkan arus cerita, benda-benda, momentum, lanskap, fragmen sejarah atau sepotong adegan romantisme masa lalu yang seolah sedang bergerak. Pengunjung menangkap perubahan, pembalikan, persimpangan, percabangan kisah bergulir ke berbagai kutub dan manifestasi, dan sarat dengan kemungkinan-kemungkinan baru.
“Tujuan arsip adalah penghadiran ruang supaya orang bisa belajar sesuatu dari masa lalu. Arsip itu bahan mentah. Kalau misalnya orang belajar sejarah dari buku-buku pelajaran, itu bukan arsip, itu sudah diolah sedemikian rupa, tetapi sumber aslinya adalah dokumen, foto, surat baptis misalnya, sebuah keputusan pengadilan, itulah arsip,” ungkap Matheos Messakh, Kurator Pameran Merekam Kota.
Metode Participatory archieves sangat jelas terbangun dalam pemeran merekam kota tersebut. Metode ini menghidupkan kesadaran masyarakat agar secara sungguh-sungguh menjaga arsip mereka, menentukan strategi naratif yang ditempuh dengan cukup evokatif. Participatory archieves juga terwujud apabila pengunjung memiliki kebebasan yang sangat besar untuk memilih frame, bermain-main dengan pajangan potret aneka kisah kota lama.
“Roh dari pameran ini adalah partisipasi”, kata Armin Septiexan, koordinator Sekolah Musa.
Arsip yang dikumpulkan Sekolah Musa jumlahnya sekitar 1500-an. Dari 1500-an arsip tersebut mereka pilah lagi menjadi sekitar 150-an arsip, dengan harapan pengunjung turut memberikan informasi. Artinya, tidak hanya dari pemilik arsip saja, tetapi pengunjung biasa yang memiliki sejumlah informasi yang cukup memadai mengenai suatu peristiwa dalam foto dapat memberikan ceritanya.
“Ironinya adalah ada foto-foto tertentu yang badan pengarsipan pun tak tahu itu kejadian apa, mampu dijelaskan secara baik oleh beberapa pengunjung. Karena itu, pameran ini akan kami buka sampai akhir bulan dengan harapan para pengunjung memberikan nyawa bagi arsip tersebut. Mereka bisa memberikan narasi dan sedikit penjelasan,” imbuh Armin.
Alhasil, Pameran Merekam Kota semacam sebuah perayaan jejak langkah, inskripsi, rapuhnya kenyataan, dan nebulanya sejarah.
“Pameran ini sejatinya hanya sebagai bentuk perayaan dari kerja-kerja pengarsipan. Waktu anak muda ingin tahu sejarah kota Kupang, mereka kesulitan. Jadi kami berharap ada cerita-cerita atau narasi-narasi tentang sejarah dari para pemilik arsip yang kebanyakan dari keluarga-keluarga,” jelas Armin.
Walaupun pameran ini didominasi oleh foto, Matheos yakin seiring dengan berkembangnya arsip yang nanti dikumpulkan pasti akan ada perkembangan.
“Di akhir pameran ini akan diluncurkan sebuah website yang bisa diakses publik. Secara periodik akan ada pameran serupa, entah tiap tahun atau dua tahun sekali,” ungkap Matheos, “Tetapi akan ada terus, sebab tujuannya adalah membangun kesadaran publik, kesadaran untuk mengumpulkan, mengoleksi, dan melestarikan arsip-arsip. Dengan demikian arsip-arsip tersebut bisa terjaga dan termakan waktu”.
Peranan Fotografi bagi Pameran Merekam Kota
Nirwan Arsuka dalam menjelaskan Citra dan Waktu versi Susan Sontag, mengatakan bahwa watak objektif pada fotografi adalah sesuatu yang niscaya. Pertalian antara fotografi dan objektivitas adalah hubungan antara garam dan dapur dengan rasa asinnya. Sesuatu bahkan bisa diakui benar-benar terjadi apabila ada fotonya. Bahkan kejadian-kejadian diabadikan oleh barang mati yang disebut kamera sebagai sebuah jaminan pengabadian. Meski demikian, kamera bisa mengabadikan sesuatu karena ada tangan yang membidiknya. Gabungan antara kamera dan fotografer inilah yang memungkinkan fotografi menjadi rekaman objektif sekaligus testimoni pribadi , menjadi copy atau transkripsi sebuah momen aktual realitas, serentak inteerpretasi atas realitas itu.
Kesadaran bahwa foto adalah irisan kenyataan membuat masyarakat ilmiah dan industri citra menjadi kelompok yang paling banyak mengambil manfaat dari sistem kerja fotografi. Kaum ilmuwan menggunakan foto untuk menguji dan memperluas pengetahuan mereka. Foto menjadi sejarah yang memperjelas kenyataan-kenyataan yang rumit. Ketika sejarah diberi ruang, dan didekorasi secara lebih aktif dan memikat, sejarah telah menitis menjadi arus yang akan merangkai dan menghidupkan citra. Menghidupkan citra adalah menghembuskan waktu ke dalam citra-citra tersebut, memberi kualitas temporal bagi citra-citra tersebut, yang kemudian menjadi rangkaian cerita.
Banyaknya foto yang dipajang didominasi oleh potret kota Lama disebabkan oleh pengumpulan arsip-arsip yang lebih banyak berisi potret tentang kota Lama.
“Jadi kalau mau bicara soal sejarah kota Kupang, titik mulainya dari sini, dan memang dari visualisasi arsip-arsip seperti pelabuhan Kupang, Tedis, karena dulu kota Kupang adalah tempat yang kita duduki sekarang,” ucap Ifana Tungga dengan senyum khasnya sebagai tim pengarsipan.
Sementara Frengki Lollo menyatakan bahwa dulu kamera dilihat sebagai alat yang sangat mahal dan mewah yang hanya dimiliki oleh orang-orang yang berkuasa atau mempunyai posisi penting.
“Banyak foto yang captionnya belum ada karena arsip foto yang didapatkan juga ada lompatan generasi. Ada momen tertentu yang tidak sempat dicatat. Tapi kita tetap mengusahakan agar paling tidak mendekati atau mendapatkan gambaran bahwa ada sebuah kisah di situ,” imbuh Frengki.
Catatan Penutup
Kisah lama punya daya magnet yang cukup kuat. Ia selalu hadir dan menagih di sela-sela kesepian manusia. Kepulangan adalah inti kenangan masa lalu, meski rasanya tak lagi sama. Manusia bisa menghayatinya sebagai sebuah perayaan atas waktu. Sejarah dalam titik tertentu, merekam sebagian jati diri manusia, menangkap anasir ingatan, kelabat luka dan kebahagiaan.
“Untuk orang-orang yang suka sejarah, dan memiliki obsesi tersendiri terhadap cerita-cerita lama akan tertarik datang ke sini,” kata Christin Anakay, salah satu pengunjung, “saya sendiri suka kegiatan seperti ini. Saya punya mimpi setiap tempat yang punya nilai sejarah menjadi tempat yang benar-benar bersejarah. Bisa diupayakan mewisatakan tempat bersejarah di Kota Kupang, sehingga tanpa perlu bertanya pun kita sudah tahu di tempat tertentu pernah terjadi sebuah kejadian penting. Di setiap tempat ada papan yang berisi tulisan atau kesaksian yang menerangkan suatu jalan, jembatan, bangunan, atau jenis tempat. Dengan demikian, ketika melihat suatu tempat kita langsung mendapatkan suntikan kejadian sejarah. Impian saya begitu sih”.
Seusai menikmati hasil usaha merekam kota, para pengunjung pulang dengan pikiran sendiri-sendiri, menggenggam kenangan, berjalan pelan dengan sesekali menoleh. Ada yang tidak terlupakan dari sekian banyak kisah yang hampir dilupakan di kota ini. Kita takkan lupa.
Penulis: Dunstan Obe