*Oleh: Ardy Abba
Soleman Tasesab dan kawan-kawannya menuduh Pemerintah Desa Bone, Kecamatan Nekamese, Kabupaten Kupang tidak terbuka tentang informasi pembangunan dan pemberdayaan masyarakat tahun anggaran 2015 sampai dengan 2019.
Buktinya, kata dia, kepala desa dan aparatnya tidak memajang papan informasi tentang APBDes, sehingga masyarakat minim mendapatkan informasi tentang pembangunan dan penggunaan dana di desa.
Kepala Desa Bone Mesakh Bana memang telah menampik bahwa selama menjabat sebagai kepala desa sejak tahun 2017 hingga 2019 pengelolaan Dana Desa tidak transparan. Menurut dia, Pemerintah Desa Bone selalu memasang papan informasi Dana Desa.
Untuk mengetahui mana yang benar dari pernyataan keduanya memang urusan hukum. Namun, pernyataan Soleman Tasesab merupakan suara sumbang perwakilan masyarakat di luar Desa Bone, yang mungkin ada ruang suram tentang informasi pembangunan di desa. Itu terutama di desa-desa yang masih kategori tertinggal.
Skala nasional, misalnya, Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendes PDTT) mencatat ada 45 persen desa di Indonesia masih kategori tertinggal. Sebab itu, keterbukaan informasi sangat dibutuhkan masyarakat desa.
Di Provinsi Nusa Tenggara Timur juga harus diakui tidak semua pemerintah desa menyadari pentingnya keterbukaan informasi pembangunan kepada masyarakat.
Akibatnya, banyak masyarakat yang apatis terhadap seluruh sistem pembangunan di desa karena ketidaktahuannya. Bahkan ada masyarakat berontak melawan kebijakan pemerintah karena akses informasi tidak disalurkan dengan baik.
Mengapa masyarakat apatis? Mengapa pula masyarakat cenderung melawan? Dua pertanyaan penting ini tentu saja menggugah kita untuk melihat lebih serius terhadap pembangunan di desa.
Jawaban paling dekatnya mengapa kemudian masyarakat apatis? Mungkin karena pemahaman masyarakat masih kurang untuk ikut terlibat dalam seluruh sistem pembangunan di desa.
Kurangnya sosialisasi dari pemerintah desa dan ada ruang suram keterbukaan informasi membuat partisipasi politik terhadap pelaksanaan pembangunan makin rendah.
Kemudian, mengapa pula masyarakat berontak melawan? Bisa dua jawaban, pertama, masyarakat ingin tahu tentang seluruh pembangunan di desa lewat keterbukaan informasi. Sebenarnya sikap ini sangat dibutuhkan dalam rangka menjalankan roda pembangunan di desa. Sebab, keterbukaan informasi merupakan salah satu asas penting dalam pemerintahan yang baik.
Kedua, masyarakat sadar bahwa dialah pemilik sesungguhnya uang miliaran yang masuk ke desa. Sebab itu, sebagai pemilik tentu saja dia berhak tahu seluruh penggunaannya. Informasi pelayanan publik dan pembangunan wajib diketahui masyarakat.
Baca Juga: Mangan yang Mangap
Sayangnya, tidak jarang ketika masyarakat ingin mendapatkan salinan APBDes dan dokumen resmi pemerintahan desa lainnya justru menemukan kendala. Terkesan tertutup, bahkan mungkin tidak dikasih oleh pemerintah desa.
Padahal, dasar hukum keterbukaan informasi publik sudah ada dan negara sudah menyadari hal itu sebagai sesuatu yang penting dalam menjalankan pemerintahan yang baik. Sebut saja misalnya, Pasal 28 F UUD 1945. Di sana, disebutkan bahwa setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya. Setiap orang berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, dan menyimpan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.
Baca Juga: Guru di Tengah Badai Pandemi
Tidak hanya itu, ada juga dalam Undang-undang Nomor 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.
UU Nomor 14 tahun 2008 ini sebenarnya mengamanatkan untuk melindungi hak setiap orang agar memperoleh informasi. Karena itu kewajiban badan publik termasuk pemerintah desa menyediakan dan melayani permintaan informasi secara cepat, tepat waktu, biaya ringan, proporsional, dan cara sederhana. Kemudian, pengecualian bersifat ketat dan terbatas. Selanjutnya, kewajiban badan publik termasuk pemerintah desa untuk membenahi sistem dokumentasi dan pelayanan informasi.
Sebenarnya negara ini mengatur keterbukaan informasi publik tidak hanya sampai di situ saja. UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa juga secara khusus mengatur tentang keterbukaan dalam rangkaian pembangunan di desa.
Pasal 26 ayat (4) huruf (f) UU Desa mengatur bahwa dalam menjalankan tugasnya, kepala desa berkewajiban untuk melaksanakan prinsip tata pemerintahan desa yang akuntabel, transparan, profesional, efektif dan efisien, bersih, serta bebas dari kolusi, korupsi, dan nepotisme.
Kemudian, pada huruf (p) diatur bahwa kepala desa juga memiliki kewajiban untuk memberikan informasi kepada masyarakat desa.
Masih di UU Desa, Pasal 27 huruf (d) mengatur bahwa dalam menjalankan hak, tugas, kewenangan, dan kewajiban kepala desa wajib memberikan dan/atau menyebarkan informasi penyelenggaraan pemerintahan secara tertulis kepada masyarakat Desa setiap akhir tahun anggaran.
Kemudian, Pasal 68 ayat (1) huruf (a) dinyatakan bahwa masyarakat desa berhak meminta dan mendapatkan informasi dari pemerintah desa serta mengawasi kegiatan penyelenggaraan pemerintahan desa, pelaksanaan pembangunan desa, pembinaan kemasyarakatan desa, dan pemberdayaan masyarakat desa.
Keterbukaan informasi pada UU Desa juga terdapat pada Pasal 86 ayat (1) dan ayat (5). Di sana, dinyatakan bahwa desa berhak mendapatkan akses informasi melalui sistem informasi desa yang dikembangkan oleh pemerintah daerah kabupaten/kota. Sistem informasi tersebut dikelola oleh pemerintah desa dan dapat diakses oleh masyarakat desa dan semua pemangku kepentingan.
Di balik adanya berbagai UU tersebut maka diharapkan pemerintah desa perlu meningkatkan partisipasi politik masyarakat dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan.
Hal itu bisa dilakukan dengan cara meningkatkan sosialisasi kepada masyarakat tentang pentingnya ikut serta dalam proses pembangunan. Kemudian menyadarkan masyarakat yang masih bersikap apatis terhadap berbagai sistem pembangunan di desa.