Ruteng, Vox NTT- Aliansi Peduli (API) NTT akan menggelar aksi demonstrasi untuk menyikapi rencana pemerintah membangun Geopark di Pulau Rinca Labuan Bajo, Kabupaten Manggarai Barat.
Aksi tersebut rencananya akan berlangsung di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Gedung Manggala Wanabakti Jl. Gatot Subroto No.2, RT.1/RW.3, Senayan, Jakarta Pusat pada Jumat, 06 November 2020 mendatang.
Salah satu anggota API NTT Gabriel Goa menjelaskan, pembangunan Geopark di Pulau Rinca yang kemudian menelan anggaran sekitar 69,19 milliar, menimbulkan kerancuan dalam hal konservasi di kawasan Taman Nasional Komodo.
Hal itu karena Pulau Rinca merupakan salah satu habitat terpenting dari tiga pulau utama di kawasan Taman Nasional Komodo yakni Pulau Komodo dan Pulau Padar.
“Mengizinkan Pulau Komodo dan Padar dibuat eksklusif, sementara Pulau Rinca dibuatkan massal dan diperbolehkan “betonisasi” merupakan logika yang cacat dalam konservasi,” ujar Gabriel dalam rilis undangan yang diterima VoxNtt.com, Rabu (04/11/2020) malam.
Ia menilai ketiga pulau tersebut sama-sama penting dan mesti dilindungi ekosistemnya dari segala bentuk pembangunan yang masif dan merusak bentang alam yang natura.
Di sisi lain, lanjut Gabriel, keberadaan pembangunan itu merusak potret keindahan wisata alam yang menawarkan pengalaman trekking dan berwisata di alam. Sebab Geopark berupaya memudahkan wisatawan yang membuat mereka menyaksikan komodo dari jalan layang.
Dengan desain demikian, pengunjung akan kehilangan kesempatan untuk menikmati alam. Sebaliknya mereka melihat Komodo seperti di kebun binatang. Sementara, peran dari naturalis guide yang di mana menjadi sumber pencarian orang lokal semakin dikebiri.
Apalagi menurut Gabriel, pembangunan itu tidak luput dari kepentingan investasi.
Di kawasan yang sama, KLHK memberikan izin investasi kepada PT Segara Komodo Lestari di mana dibangun restoran, hotel, dan rest area. Izin tersebut diprotes dan pengaplingannya dibongkar pada tahun 2018 karena dianggap mengancam ekosistem di kawasan tersebut.
Ironisnya, lanjut Gabriel, izin tersebut tidak pernah dicabut. Sementara pemerintah pusat tiba-tiba hadir dengan rencana membangun Geopark yang melayani wisata masal di kawasan yang sama.
“Ibarat hanya menggantikan judul, pembangunan Geopark tersebut adalah upaya membangun penginapan, restoran, dan rest area. Pertanyaannya, apakah rencana PT SKL sudah terintegrasi ke dalam rencana pemerintah melalui pembangunan Geopark? Tidak diketahui pasti. Yang jelas, skema pembangunan di Labuan Bajo selalu melibatkan swasta. Pemerintah bertugas membangun infrastruktur, sementara pihak swasta didorong berinvestasi,” tegas Gabriel.
Ia juga menjelaskan, melalui Pepres Nomor 32 tahun 2018, Presiden Jokowi membentuk Badan Otorita Pariwisata Labuan Bajo-Flores (BOPLBF).
Pada tahun 2019, kelima direkturnya dilantik oleh Menteri Pariwisata, Arief Yahya. Pembentukan BOPLBF ini tidak lain adalah untuk mendukung rencana wisata super premium di Labuan Bajo dan mendorong percepatan investasi.
Namun, kehadiran lembaga super ini menurut Gabriel, membawa banyak persoalan dalam dua tahun terakhir. Proses pembentukannya tidak melalui proses yang demokratis. Sementara kewenangannya sangat politis dengan anggaran yang fantastis.
Selain itu, lanjut Gabriel, BOPLBF juga mengambilalih lahan seluas 400 hektare untuk dimanfaatkan demi kepentingan investasi.
BOPLBF juga terlibat aktif dalam mengambil kebijakan yang terkait dengan upaya wisata premium dan pembangunan infrastruktur di Kota Labuan Bajo dan kawasan Taman Nasional Komodo.
“BOP yang adalah lembaga bentukan pemerintah pusat itu semakin mengebiri otonomi daerah dan keleluasaan Pemda,” ujar Gabriel.
Di sisi lain, lanjut dia, proses pembentukan BOPLBF tidak diketahui oleh DPRD Mabar. Pejabat di Kabupaten Manggarai Barat pun masih bingung dengan peran yang mau dilakukan BOPLBF.
Ia menambahkan, sejak dibentuk tahun 1980, TNK telah menjadi sumber penghidupan banyak orang. Tidak hanya di dalam kawasan sebagai zona inti dari TNK tetapi juga Labuan Bajo pada khususnya yang menjadi zona penyanggah. Keindahan alamnya telah menarik banyak wisatawan dan membuka lapangan pekerjaan bagi banyak orang.
Pada tahun 1991, UNESCO memberikan pengakuan atas status Taman Nasional Komodo (TNK) sebagai situs warisan dunia (the world herritage site).
Status ini disandang TNK karena berhasil memenuhi dua kriteria yaitu kriteria ke-7 lanskap alam yang indah dan kriteria ke-10 sebagai habitat alami satwa unik bernama Varanus Komodoensis.
Status ini diperteguh lagi melalui pengakuan New 7 Wonders Foundation pada tahun 2012 atas TNK sebagai salah satu dari New Seven Wonders of Nature.
Karena itu, Gabriel menegaskan ambisi yang terlampau akrobatik memajukan pariwisata di Labuan Bajo-Flores dengan mengubah TNK sebagai destinasi premium akan sangat berdampak buruk bagi masa depan pariwisata Labuan Bajo sendiri.
Distribusi aliran keuntungan pariwisata bagi usaha-usaha kelas menengah ke bawah dari masyarakat lokal juga menurut Gabriel, akan terhenti.
Belum lagi kerusakan ekologis yang dihasilkan dan penyingkiran komunitas-komunitas lokal.
Dengan demikian maka, API NTT mendesak pemerintah untuk segera menghentikan proses pembangunan Geopark tersebut karena terbukti melanggar, mengesampingkan sejumlah peraturan perundang-undangan yang belaku dan justru lebih mengutamakan kepentingan para pemilik modal yang rakus dan serakah juga tidak berperikemanusiaan.
Penulis: Igen Padur
Editor: Ardy Abba