Oleh: Abel Harapan*
Ketika perekonomian dunia mulai bergerak turun akibat Covid-19, masyarakat internasional mulai beralih pada ekonomi digital. Hal ini tidak hanya terjadi di negara-negara maju berteknologi tinggi, tetapi juga di negara-negara miskin/berkembang yang sarat akan keterbelakangan teknologi digital.
Karena itu, ketika mobilitas massa di ruang publik mulai dibatasi, aktivitas ekonomi via digital tetap berlangsung. Ketika diberlakukan lockdown atau social/physical distancing dan ditutupnya pusat-pusat aktivitas ekonomi, seperti pasar atau mall, masyarakat dan pelaku bisnis mulai bertransaksi melalui media digital. Jarak fisik dan ancaman infeksi virus tidak lagi menjadi soal, sebab ruang virtual telah menjadi medan komunikasi dan interaksi.
Dalam konteks ini, pandemi telah berdampak positif bagi bertumbuhnya budaya baru ekonomi melalui ruang digital. Pada saat yang sama, masyarakat juga dipacu untuk dapat beradaptasi dengan teknologi digital. Dalam konteks yang lebih luas, ekonomi digital bisa mengurangi potensi resesi ekonomi di tengah pandemi ini.
Namun, tren ekonomi digital di tengah pandemi bukan tanpa dampak buruk. Hemat penulis, para pelaku ekonomi non-korporasi, terutama para pedangang eceran adalah pihak yang akan mendapat guncangan hebat di balik ekonomi digital ini. Hal ini sangat beralasan, sebab aktor sentral di dalam roda ekonomi digital adalah elit-ekonomi yang berjuang memenangkan kepentingannya sendiri. Untuk membedah hal ini, terlebih dahulu kita memahami konsep ekonomi digital itu sendiri.
Ekonomi Digital
Ekonomi digital (digital economy) pertama kali diperkenalkan oleh Don Tapscott, seorang penulis dan praktisi strategi bisnis asal Kanada. Tapscott menguraikan tema ini melalui bukunya yang berjudul The Digital Economy: Promise and Peril in the Age of Networked Intelligence yang diterbitkan pada tahun 1995. Ada juga istilah lain untuk ekonomi digital, seperti internet economy, web internet, atau new economy (Hartono, 2016).
Menurut Tapscott, ekonomi digital berhubungan langsung dengan perkembangan teknologi digital yang telah memiliki akarnya pada revolusi industri. Lebih lanjut, Tapscott mengatakan bahwa di dalam era ini, ekonomi bukan lagi tentang bisnis apa yang kita miliki, melainkan tentang bagaimana menyebarkan sebuah ikon bisnis, sehingga berdampak luas.
Karena itu, perdagangan bukan sekadar tentang pengetahuan, melainkan juga tentang strategi pemasaran produk melalui sistem digitalisasi atau virtualisasi. Jika hanya mengandalkan pengetahuan, sebuah perusahaan atau bisnis tidak akan mengalami kemajuan yang memuaskan. Namun, dengan bantuan teknologi digital, para pegiat ekonomi dapat menjangkau pasar secara lebih mudah tanpa pembiayaan yang mahal.
Berbeda dari sistem ekonomi lama (konvesional) yang serba terbatas, sistem ekonomi digital mampu melampaui sekat-sekat geografis dan demografis. Saat ini, sebuah perusahaan teknologi asal AS atau China dapat memiliki cabang di seluruh dunia. Bahkan, tanpa memiliki kantor khusus di wilayah Indonesia, perusahaan tersebut dapat memperdagangkan produknya dan mendapat jutaan pembeli di seluruh Indonesia.
Para pembeli atau pelanggan mereka juga tidak mengetahui perusahaan tersebut. Yang mereka ketahui hanyalah produk dari perusahaan tersebut. Karyawan mereka juga berlaku demikian. Mereka disatukan dalam komunitas perusahaan yang sama tanpa sedikit pun menggubris latarbelakang budaya, bangsa, bahasa, atau agama yang mereka miliki.
Dengan menjadi anggota sebuah perusahaan berbasis teknologi digital, mereka menjadi bagian dari komunitas global. Mereka terlibat dalam proses pemasaran produk yang sama dengan jaminan finansial tertentu. Yang dibutuhkan perusahaan dari setiap anggotanya adalah kesanggupan untuk menggunakan teknologi digital. Dengan kemampuan tersebut, mereka dapat menjajakan produknya secara lebih luas.
Lonceng Ekonomi Digital
Untuk konteks Indonesia, lonceng ekonomi digital mulai menggema ketika Presiden Jokowi menetapkan e-commerce road map yang diundangkan melalui Peraturan Presiden (Perpres) tentang Peta Jalan Sistem Perdagangan Nasional Berbasis Elektronik (SPNBE) 2017-2019.
Dilansir dari dailysocial.id (11/2/2016), ada tujuh (7) hal penting di dalam SPNBE ini, yaitu logistik, pendanaan, perlindungan konsumen, infrastruktur komunikasi, pajak, pendidikan dan SDM, dan keamanan siber.
Dalam konteks pembangunan nasional era pemerintahan Jokowi, ekonomi digital ini dipercaya dapat memacu pertumbuhan ekonomi. Tentu, aktivitas ekonomi digital sudah muncul jauh sebelum ditetapkannya road map e- commerce ini. Namun, gemanya tidak terlalu dirasakan di seluruh negeri karena hanya dioperasikan oleh sedikit perusahaan dan pelaku bisnis individual. Setelah ditetapkan sebagai strategi pembangunan nasional, ekonomi digital ini baru mulai mengembangkan sayapnya ke seluruh pelosok tanah air.
Tentu, prestasi Indonesia dalam mengembangkan ekonomi digital masih tertinggal jauh dari negara-negara lainnya. Bahkan sejumlah temuan lembaga survei mengungkapkan lemahnya kesiapan dan kesanggupan masyarakat Indonesia dalam memanfaatkan teknologi digital untuk kegiatan ekonomi.
Terlepas dari kenyataan demikian, sampai saat ini, masyarakat dan para pegiat bisnis telah mulai akrab dengan sistem digitalisasi aktivitas ekonomi. Baik penduduk urban maupun rural memiliki peluang yang sama dalam menggerakkan ekonomi digital. Hal ini terutama dirasakan melalui kalangan muda atau generasi milenial. Secara nasional, mereka adalah kelompok yang paling militan dan kreatif dalam mengembangkan ekonomi digital. Berbeda dari generasi sebelumnya yang tampak asing dengan teknologi, bagi generasi milenial, teknologi digital adalah medan hidup mereka. Hal ini terbukti dengan munculnya aneka aplikasi dan perusahaan berbasis digital yang mereka ciptakan. Kita tentu mengenal BukaLapak, Traveloka, Kebab Baba Rafi, Tokopedia, Lazada, atau Gojek yang telah dikenal publik baik secara nasional mapun internasional, khususnya kawasan Asia Tenggara.
Ekonomi Digital dan Pedagang Eceran
Tentu, kita perlu menyambut era ekonomi digital dengan penuh antusiasme dan optimisme. Bagaimana pun juga, kita tidak dapat mengembalikan roda waktu. Kita dituntut untuk terus bergerak dan beradaptasi dengan setiap perubahaan aktual. Jika kita hanya mengandalkan pola atau sistem ekonomi pra-digital, perekonomian kita tidak akan bergerak maju. Kreativitas kita semakin melorot. Daya saing kita pun semakin kalah jauh dari negara- negara lainnya. Hasil akhirnya, kita akan kembali menjadi bagian dari daftar panjang negara- negara miskin. Tentu, kita ingin terus bergerak maju. Apalagi di tengah pandemi, yang kita harapkan adalah stabilitas perekonomian nasional.
Namun demikian, di tengah pandemi, kita perlu mewaspadai dampak buruk arus ekonomi digital bagi pedagang eceran. Mengikuti definisi Kementerian Keuangan, pedagang eceran adalah pengusaha yang melakukan pemasaran dan penyerahan barang dan jasa dengan sistem interaksi atau komunikasi langsung, tanpa perantara, dan pembayaran tunai. Yang termasuk dalam pedagang eceran adalah pedagang keliling, pedagang kaki lima, pengusaha kios, warung, depot, pasar, dan toko kecil (bdk. pajak.go.id dan ilmu ekonomi.id.com, 20/9/2020).
Dalam aktivitasnya, pedagang eceran menggunakan sistem ekonomi konvensional yang ditandai dengan interaksi langsung antara penjual dan pembeli. Hal ini membedakan mereka dari korporasi besar yang menggunakan sistem yang lebih modern berkat pemanfaatan teknologi digital.
Ancaman
Hemat saya, ada dua ancaman nyata dari arus ekonomi digital bagi pedagang eceran. Pertama, hegemoni perusahaan besar. Di tengah pandemi, perusahaan-perusahaan besar memiliki kesempatan yang lebih luas untuk menguasai pangsa pasar. Hal ini ditunjang oleh strategi pemasaran, penjualan, dan transaksi yang serba digital (daring). Jangkauan pembeli mereka juga sangat luas.
Selain itu, masyarakat pembeli dapat menghemat tenaga dan biaya, karena perusahaan-perusahaan tersebut juga menawarkan paket pengiriman barang yang murah. Potensi terinfeksi virus juga semakin kecil, karena tidak terjadi kontak fisik antara penjual dan pembeli.
Di sisi lain, para pedagang eceran bergantung pada kesanggupan dan keterampilan pribadi dalam menawarkan barang dan jasa kepada para pembeli. Bahkan nasib usaha mereka juga sangat ditentukan oleh kemurahan hati pembeli. Tidak jarang terjadi perseteruan antara para pedagang eceran, karena mereka memperebutkan pengunjung (pembeli) yang sama. Pengetahuan mereka tentang sistem pemasaran digital juga sangat terbatas. Hidup serba keterbatasan ini menjadikan mereka tertinggal jauh dari perusahaan besar dalam mendigitalisasi aktivitas ekonominya.
Kedua, rendahnya jaminan keselamatan. Di daerah dengan potensi paparan virus yang rendah, keselamatan para pedagang eceran bukan menjadi masalah. Namun, hal ini tidak berlaku bagi para pedagang eceran di wilayah yang rentan dengan paparan virus. Di daerah seperti ini, nasib mereka hanya bergantung pada ‘belaskasih’ coronavirus itu sendiri. Kebergantungan mereka pada pola interaksi langsung dalam penjualan barang dan jasa merupakan sebuah momok besar di tengah pandemi. Bahkan sistem perlindungan diri mereka juga sangat rendah. Mereka hanya berbekal masker, sedangkan imunitas tubuh mereka sangat diragukan.
Selain karena sepanjang hari terpapar sinar matahari, mereka harus berjalan keliling dari rumah ke rumah, mungkin sambil membawa virus yang sama. Selain berpotensi diserang virus, mereka juga akan mengalami defisit pemasukan. Hasil akhirnya, mereka tidak sanggup membiayai kebutuhan hidup mereka setiap hari. Dalam situasi ini, lagi-lagi, mereka kalah jauh dari perusahaan-perusahaan yang telah akrab dengan strategi digitalisasi.
Bertolak dari realitas di atas, pemerintah perlu mengambil kebijakan strategis untuk memberdayakan para pedagang eceran di masa pandemi sekarang ini. Namun pemberdayaan yang dimaksudkan bukan sekadar bantuan sosial (bansos) yang diberikan begitu saja dan akan habis dalam tempo waktu tertentu. Hemat saya, pemberdayaan dari pemerintah harus didasari oleh komitmen untuk mengemansipasi para pedagang eceran dari kondisi pelik yang mereka hadapi. Untuk kebutuhan ini, pemerintah dapat melakukan pembekalan teknis tentang tata cara menggunakan teknologi digital dalam memasarkan barang dan jasa.
Selain itu, pemerintah juga perlu menyiapkan sistem kelengkapan dan perlindungan diri bagi para pedagang eceran agar mereka terhindar dari paparan virus. Tentu, masih ada strategi lainnya yang perlu dilakukan pemerintah untuk melindungi nasib dan usaha para pedagang eceran. Namun, hemat saya, kedua poin tersebut adalah persoalan krusial yang harus segera ditangani pemerintah. Tanpa kedua upaya tersebut, para pedagang eceran hanya akan menjadi korban empuk di tengah arus ekonomi digital di masa pandemi ini. Tentu, upaya ini bukan semata-mata untuk dapat survive di tengah pandemi.
Kebijakan yang sama juga merupakan strategi jitu untuk memampukan mereka terlibat dalam arena ekonomi yang serba digital pada era pasca-pandemi Covid-19. Upaya ini sekaligus sebagai bentuk keberpihakan dan solidaritas kita terhadap pedangan eceran sebagai kelompok yang sering terpinggirkan dan yang selalu terhimpit oleh perang kepentingan antarelit ekonomi.
*Abel Harapan adalah mahasiswa Semester VII di Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang. Penulis aktif dalam sejumlah perlombaan kampus seperti olimpiade sains, debat bahasa Inggris, dan kegiatan akademis lainnya.