Oleh: Frederikus Magung
Mahasiswa STFK Ledalero
Runtuhnya orde baru yang ditandai dengan lahirnya zaman reformasi merupakan salah satu bentuk arus globalisasi dan reformasi politik yang mengubah tatatan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Reformasi politik ini tanpa kita sadari mengkonstruksikan suatu paradigma berpikir tentang demokrasi yang sebagaimana Abraham Lincoln sebut sebagai Democracy is government of the people, by people, and for people, demokrasi adalah bentuk pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.
Pada opsi tersebut, demokrasi sebagai alat memuluskan kebijakan pemerintahan, menampung aspirasi masyarakat, dan mempertanggungjawabkan kesadaram atas hak serta kewajiban politik rakyat.
Karena itu, sistem pemerintah meski menjadi ujung tombak menyalurkan kepentingan masyarakat dalam pembuatan kebijakan publik, sesuai dengan mekanisme demokrasi yang salah satunya terafiliasi dalam proses pemilihan umum atau pilkada.
Perhelatan pilkada sebagai sebuah bentuk imunisasi reformasi demokrasi yang ditandai dengan mengubahnya sistem sentralistik menjadi desentralistik. Tentu ini merupakan sejarah peradaban bangsa Indonesia, karena demokrasi berdiri di atas tahta kehidupan manusia demi terwujudnya UUD 1945 yang tertuang dalam Alinea ke-empat yakni melindungi segenap bangsa Indonesia, memajukan kesejateraan umum, dan mencerdaskan kehidupan bangsa.
Falsifikasi Pilkada Serentak
Pilkada serentak 2020 hampir mencapai pada puncaknya, 09 Desember 2020. Setiap palson sudah dan sedang mengagung-agungkan aspirasi rakyat. Keluar masuk kampung, menyapa rakyat sembari menebar janji kampanye, bergaya hidup ala rakyat, membicarakan nasib rakyat secara berkoar-koar.
Lebih dari itu, para elite negara pun, lebih khusus partai pengusung paslon (pasangan calon) memperjuangkan stabililitas kemenangan pasangan calon yang diusungnya. Bahkan mereka (baca; elite partai) “mempertuhankan” demokrasi serta menjustifikasi lawan politik sebagai yang tidak layak menjadi pemimpin masyarakat, serta dengan itensi mengamini kekuasaan semu yakni mendapatkan birokrasi pemerintahan. Namun sayangnya, kenyataan dan harapan jauh panggang dari api.
Maka demikian, kita perlu mengklarifikasi pelbagai falsifikasi demokratisasi pilkada. Hal ini esensial (paling tidak) untuk meredam kekeliruan yang terus mencekam dan mengancam demokrasi. Pertama, merebaknya aliansi oligarki berbasis elite politik. Suara rakyat selalu dijadikan sebagai dalih untuk melanggengkan kekuasaan sekaligus membungkam yang bersuara kritis.
Otoritas kekuasaan elite politik menelorkan amanah partainya hampir melampaui batas konstitusional Lembaga Eksekutif pemerintahan. Stimulisasi kekayaan membuka corong besar bagi kekuasaan yang otoritatif. Kekayaan menafikan dirinya sebagai benteng memperjuangkan kekuasaan.
Pepatah klasik berguyon “ada uang, ada kuasa. Kekayaan dan kekuasaan tidak dapat dimusnahkan satu di antaranya, keduanya bagaikan dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan. Winters benar bahwa, politik oligarki adalah politik pertahanan kekayaan (ed. Abdil Mugnis Mudhoffir dan Coen Husanin Pontoh, 2020: 13). Kekayaan selalu bersifat relasional dalam kontestasi pilkada.
Kedua, tingginya intensitas golongan putih (Golput). Indonesia sebagai negara yang menganut sistem demokrasi tentu melaksanakan pemilihan umum sebagai suatu cara memilih lansung kepala pemerintahan pada tingkat pusat hingga daerah. Namun, tak dapat dielakkan bahwa masih begitu banyak rakyat yang memilih untuk tidak memili, atau biasa disebut Golput.
Pertanyaannya, mengapa meski Golput? Menurut Varma (2001), terjadinya Golput disebabkan oleh rasa kecewa dan apatisme untuk memilih wakil rakyat. Sikap apatisme ini dipengaruhi oleh kondisi psikologis masyarakat yang hampir tiap tahun mengikuti pilkada, namun tidak memberikan banyak perubahan terhadap nasib rakyat. Kekecewaan masyarakat terhadap kinerja pemerintahan tidak mampu mengikuti amanah serta nilai-nilai demokrasi sebagai jalan menuju bonum commune.
Ketiga, menguatnya praktik politik uang (money politic). Masifnya praktik politik uang mengindikasikan sikap atau budaya permisif masyarakat kecil sangat tinggi. Sebagai indikatornya uang dijadikan sebagai dalih keprihatinan sosial masyarakat.
Money politic dipresentasikan sebagai penghambat stimulisasi tranformasi demokrasi dalam pilkada yang terus dicekam oleh patronase politik electoral. Elite politik serta calon kepala daerah selalu mengobral uang untuk membeli suara, mengumbar uang membiayai kelompok-kelompok tertentu, serta menciptakan opini publik.
Pada opsi tersebut, pilkada tidak memberikan legitimasi konstruktif bagi masyarakat untuk memilih pemimpin yang berkarakter baik, berkualitas, kapabilitas tinggi dan mampu mensejahterakan masyarakat.
Tranformasi Politik; Sebagai Upaya Solutif
Beberapa falsifikasi demokrasi pada perhelatan pilkada serentak 2020, mesti diperhatikan secara serius oleh para elit politik, pasangan calon, ASN, KPUD sebagai penyelenggara pilkada, Bawaslu, serta seluruh elemen masyarakat pemilih.
Namun, ada kemungkinan lain muncul misalnya ASN serta KPUD yang bersikap tidak netral, Bawaslu tidak bekerja secara maksimal, serta penyeludupan kekeliruan lainnya.
Maka demikian, demi meredam falsifikasi tersebut dibutuhkan sebuah elaborasi transformasi politik. Politik kembali pada pengertian asalinya. Dengan rendahnya tingkat pemahaman tentang politik, maka akan merambat rusaknya sistem demokrasi. Tranformasi sebagai fondasi fundamental dalam mengkostruksikan pilkada yang aman, dan kondusif. Ini adalah langkah awal yang sangat krusial, sebab dasar yang kuat dan kokoh akan menentukan sebuah pembanguanan politik
Transformasi politik wajib diedukasikan kepada beberapa elemen sebagai tindak tanduk keberhasilan perhelatan pilkada yang baik dan aman. Pertama, kepada partai dan actor politik. Artinya partai yang terlibat dalam pemilihan kepala daerah mesti mengetahui tata terbit yang harus dipatuhi pada menyelenggaraan pilkada. Dan juga kepada para actor politik adalah mereka yang mempunyai sikap yang jujur, kapasitas serta kapabilitas yang mumpuni.
Kedua, budaya politik di masyarakat. Masyarakat harus menanamkan kesadaran dan pengetahuan politik yang cukup terbiasa dalam melakukan pemilihan yang jujur dan adil.
Ketiga, kepada Komisi Pemilihan Umum Kepala Daerah (KPUD). KPUD sebagai penyelenggara pilkada lansung hendaknya menyelenggarakan dan mengendalikan sistem pemilihan yang baik berdasarkan aturan yang telah ditetapkan dalam undang-undang.
Hemat penulis, ketiga elemen tersebut meski “disuap” oleh pengetahuan yang mumpuni tentang politik yang sesungguhnya. Elaborasi tranformasi politik yang edukatif adalah jalan mulus terciptanya politik yang bersih dari kerangkangan aliansi destruktif semu.