Ruteng, Vox NTT- Peristiwa sebuah helikopter mendarat di tempat pariwisata Wae Rebo, Kecamatan Satarmese Barat, Kabupaten Manggarai masih menjadi polemik di ruang publik.
Helikopter milik wisatawan mendarat langsung di tempat wisata yang pernah mendapatkan penghargaan UNESCO itu menjadi diskursus hangat, pasca videonya beredar luas di ruang media sosial facebook.
Dalam video berdurasi 42 detik tersebut tampak 5 (lima) orang wisatawan berpakaian serba putih turun dari helikopter.
Pasca video ini beredar, banyak pihak menyesalkan ulah wisatawan yang mengunjungi Desa Adat Wae Rebo dengan menggunakan helikopter.
Oleh sebagian orang menganggap bahwa aksi tersebut mengganggu kelestarian Wae Rebo sebagai desa adat yang menjunjung tinggi nilai budaya.
Banyak pula yang mempertanyakan tanggung jawab Pemkab Manggarai melalui Dinas Pariwisata dan Kebudayaan serta Badan Otorita Pariwisata Labuan Bajo Flores (BOPLBF)
Kepala Divisi Humas BOPLBF Sisilia Jemana menegaskan, kewenangan untuk memberikan izin penerbangan dan pendaratan helikopter bukan pada lembaganya.
“Yang jelas wewenang pemberian izin penerbangan maupun pendaratan helikopter bukan pada BOP. Sehingga tidak tepat jika BOP dianggap cuci tangan, karena itu tadi wewenang pemberian izin terbang dan pendaratan helikopter memang bukan di BOP,” ujar Sisilia saat dikonfirmasi wartawan, Kamis (31/12/2020) lalu.
Ia juga menyentil tentang peresmian helipad di Wae Rebo yang dihadiri BOPLBF dan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Manggarai pada September 2020 lalu.
Menurut Sisilia, kehadiran BOPLBF saat meresmikan helipad hasil swadaya masyarakat tersebut tidak menunjukkan bahwa lembaganya punya kewenangan untuk pendaratan dan penerbangan helikopter.
Baca Juga: Dukung Upaya Mitigasi Bencana, Warga Wae Rebo Siapkan Landasan Helikopter
“Berikutnya lagi, kehadiran BOPLBF saat simulasi pendaratan uji jalur evakuasi di Wae Rebo September lalu tidak bisa disimpulkan bahwa kemudian BOPLBF sebagai pihak paling berwenang atas setiap kebijakan terkait Wae Rebo,” tegas Sisilia.
Sementara itu, Ketua Lembaga Pelestarian Budaya Wae Rebo Frans Mudir kepada wartawan menegaskan, tamu VIP yang mengunjungi Desa Wisata Wae Rebo dengan menggunakan sebuah helikopter pada Senin lalu mendapat sambutan yang positif dari masyarakat.
Bagi dia, tamu VIP yang mengunjungi masyarakat Wae Rebo tersebut membawa tujuan mulia.
Penggunaan helipad untuk pendaratan helikopter milik tamu tersebut pun menurut Frans, harus disesuaikan dengan kebutuhan warga Desa Adat Wae Rebo.
“Sepanjang tamu itu datang untuk menghidupkan masyarakat yang sudah melarat karena Covid ini itu bisa. Terus tamu itu begitu dia hadir dia memberikan kado natal untuk masyarakat. Dan masyarakat yang ada sana itu semua senang, artinya menerima sesuatu yang membuat masyarakat hidup,” ujar Frans.
Ia menjelaskan, lahan milik masyarakat yang diubah menjadi tempat landasan helikopter merupakan hasil swadaya masyarakat Wae Rebo.
Tujuan utama dibuatnya helipad, kata dia, untuk keperluan penyaluran logistik dengan menggunakan helikopter milik BPBD Mabar.
Meski demikian, helipad tersebut juga dapat digunakan untuk pendaratan helikopter pribadi, yang menurut Frans dan masyarakat setempat selama itu untuk membantu kebutuhan warga setempat.
“Awalnya lahan itu disurvei oleh BPBD. Begitu cocok, kami masyarakat langsung bekerja dan itu jadi. Pihak lain yang membangun itu tidak ada. Itu murni hasil swadaya masyarakat Wae Rebo dan itu untuk kepentingan pengangkutan logistik melalui BNPB. Terus ada permintaan dari tamu itu untuk ke Wae Rebo pakai helipad, itu koordinasinya dengan saya,” timpal Frans.
Rencana kedatangan tamu tersebut, jelas dia, awalnya setelah mendapatkan informasi dari Hans Mboeik, pegawai BPBD Mabar.
“Waktu itu Pak Hans koordinasi ke saya, katanya tamu mau ke Wae Rebo bawa bantuan pakai helikopter itu bisa atau tidak. Waktu itu sepakat tamu bersama helikopternya landing sama take off di helipad,” ujarnya.
Hans Mboeik saat dikonfirmasi wartawan, Kamis (31/12), menjelaskan ia dimintai bantuan oleh tamu VIP tersebut untuk melakukan komunikasi dengan Frans Mudir selaku Ketua Lembaga Pelestarian Budaya Wae Rebo.
Komunikasi tersebut bertujuan untuk mendaratkan helikopter yang membawa bantuan bagi masyarakat adat Wae Rebo.
“Iya kapasitas saya waktu itu membantu mengkomunikasikan dengan Ketua Lembaga Pelestarian Budaya Wae Rebo, Pak Frans, bahwa ada tamu mau bawa bantuan buat masyarakat Wae Rebo menggunakan helikopter. Bisa atau tidak. Saat itu dapat izin dari Pak Frans. Yang tentunya sudah melalui keputusan bersama masyarakat Wae Rebo,” jelas Hans
Tidak Tahu Izin ke Mana
Sebagai Ketua Lembaga Pelestarian Budaya Wae Rebo, Frans Mudir mengaku, ia dan masyarakat Wae Rebo sama sekali tidak pernah mengetahui jika harus melalui pemberitahuan kepada beberapa instansi atau lembaga terkait pendaratan helikopter lain, selain milik BPBD Mabar.
“Kalau izin saya tidak tahu hal – hal seperti itu, misalnya tanah yang ada di sana itu siapa lagi yang punya hak memberi izin selain kami masyarakat? Tapi sepanjang yang saya tahu itu keringat saya kemarin untuk membangun itu, sepanjang dia (tamu) menghidupkan saya dan masyarakat saya bilang bisa. Dan itu melalui hasil persetujuan masyarakat dan memang dia datang untuk menghidupkan masyarakat. Dan kalau misalnya harus melalui izin dari pihak mana itu yang saya tidak pernah tahu,” jelas Frans.
“Tidak ada ketentuan yang menyebutkan jika sebuah helikopter masuk ke Wae Rebo harus minta izin ke pihak – pihak lain. Waktu itu saja Pak Wakil Gubernur juga pernah ke sini menggunakan helikopter. Dan itu tanpa koordinasi dengan kami juga. Kami baru tahu itu Pak Wakil Gubernur setelah turun di sini,” lanjutnya.
Frans juga mengapresiasi tujuan dan niat baik wisatawan yang berkunjung hanya untuk memberikan bantuan bagi masyarakat Wae Rebo.
“Terus terang, namanya orang yang sudah dalam keadaan miskin kalah sudah diberi sesuatu itu yang jelas perasaan yang ada itu pasti senang. Artinya, kebanggannya itu orang memberikan sesuatu tanpa kita harus memberikan sesuatu ke dia. Dan itu hal yang luar bagi masyarakat yang sudah dalam keadaan miskin seperti ini,” ujarnya.
Selain memberikan bantuan, wisatawan tersebut juga diketahui membeli souvenir masyarakat Wae Rebo.
“Kurang lebih ada 10 kain tenun. Itu kelompok masak yang menerima mereka. Harganya 450 – 600 ribu per kain tenun. Dan itu sangat membantu kami,” tuturnya.
FS, fotografer yang mendampingi tamu VIP tersebut kepada wartawan mengaku, saat tiba di Wae Rebo, tamu tersebut juga mendapat sambutan yang baik dari masyarakat Desa Adat Wae Rebo. Tidak terlihat adanya penolakan dari masyarakat.
“Mereka kayaknya sudah dapat info hanya saya tidak tahu koordinasinya bagaimana. Saya juga tidak mau tanya soal itu. Warga yang terima kayaknya sudah koordinasi hanya saya tidak tahu bagaimana modelnya. Waktu landing tidak ada penolakan dari warga karena sepertinya sudah dapat informasi sebelumnya,” kata FS.
FS menjelaskan niat awal tamu tersebut yakni ingin membawa bantuan bagi masyarakat Wae Rebo.
Namun niat ini diurungkan setelah terrkendala beban muatan dalam helikopter. Bantuan kemudian diserahkan dalam bentuk angpao. Angpao ini pun kemudian diterima oleh Tua Adat Wae Rebo.
“Iya mereka awalnya mau kasih logistik cuman karena keterbatasan berat mereka kasih angpao buat anak- anak di sana. Saya cuma kasih tahu angpaonya harus dikasih ke tua adat. Tidak ada barang. Hanya kasih angpao. Tua adat ada semua di sana waktu penyerahan. Kalau dari warga sendiri saya lihat tidak ada penolakan,” timpal FS.
Penulis: Ardy Abba