Oleh: Matheus Tri Hendratmo Beke
“Tuhan, setengah dari milikku akan kuberikan kepada orang miskin dan sekiranya ada sesuatu yang kuperas dari seseorang akan kukembalikan empat kali lipat “
Sentilan Kitab Suci ini menuturkan tentang rasa berdosa yang dialami Zakheus tatkala ia sadar bahwa dirinya melakukan perbuatan dosa, yaitu melanggar perintah Tuhan dengan menjarah dan memeras apa yang bukan menjadi miliknya. Zakheus adalah seorang pendosa. Orientasi hidupnya mengarah pada hal-hal materi dan kesenangan duniawi tanpa memedulikan rakyat bawah yang secara tidak langsung ditindas oleh keangkuhan dan ketamakannya. Zakheus sadar betul bahwa semua tindakannya ini adalah dosa. Menarik di sini, bahwa telah tercipta totalitas transformasi diri dan gaya hidup berkat perjumpaannya dengan Yesus. Zakheus sadar dan bertobat penuh.
Kisah Zakheus dalam Alkitab di atas tentunya memiliki sinergitas dan relevansi dengan konteks realita hidup teristimewah dalam konstelasi pemerintahan di suatu negara. Dosa menjadi ibarat kompetensi dasar yang mahir dilakukan manusia, khususnya para pemimpin. Penyelewengan dalam kebijakan publik kerap mewarnai keakraban berwarga negara kita hari-hari ini.
Parasit Mematikan
Sesuai konteks tulisan ini, ada tiga golongan pemimpin. Pertama, pemimpin yang tidak punya dosa. Pemimpin semacam ini mahfum akan pengetahuan dan wawasan tentang dosa, tetapi kiranya bersikap apatis bahkan terus berenang dalam lumpur dosa. Berbeda dengan Zakheus, ia sadar akan keberdosaannya dan pada akhirnya bertobat. Pemimpin yang tidak punya dosa sadar dan paham bahwa perbuatan dan tindakannya itu tergolong dosa, namun tak peduli dan terus mengeksposisikan aura dosanya. Pendidikan moral dan etika pemimpin yang tidak punya dosa sudah rusak. Mereka menuntut rakyat untuk bekerja demi kemaslahatan hidup dan berbakti kepadanya, namun mereka tidak pernah sadar bahwa selama ini tidak banyak kontribusi dan intervensi solutif bagi kesinambungan hidup masyarakat. Pemimpin semacam ini tidak punya hati nurani dan bertindak tanpa pedoman yang kuat, sehingga menetaskan suatu orasi formalitas tanpa adanya pengejawantahan secara praktis. Bahasa tak manusiawinya, eksistensi pemimpin yang tidak punya dosa adalah parasit yang mematikan. Kita tonton, cermati, dan saksikan di televisi, media sosial dan cetak lainnya soal problem suap-menyuap. Pemimpin berteriak mengafirmasikan kepada seluruh lapisan masyarakat untuk gotong-royong memberantas aksi korupsi, mengeluarkan ultimatum perihal konsolidasi menciptakan stabilitas perpolitikan yang sehat dan kompeten, namun pada saat yang sama ada transaksi rupiah dan percaturan politik yang semrawut, menciptakan drama politik yang kotor dan praktik aksi jahit mulut. Hal serupa pula terjadi dalam situasi perpolitikan dan pemilihan kepala daerah yang tak luput dari bidikan media sosial, melambai-lambaikan tangan kepada publik seakan-akan ia adalah pahlawan negara, padahal semuanya terselubung praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Kedua, pemimpin yang tidak tahu dosa. Pemimpin semacam ini, pendidikan moral dan etika belum rusak meski tak berfungsi dengan baik. Ia cenderung mengorientasikan tanggungjawabnya dalam pekerjaan tanpa memperhatikan manfaat dan pengaruh bagi kehidupan orang lain, terlepas hasil kerjanya bermanfaat atau tidak. Tipikal pemimpin semacam ini lebih mengutamakan hal-hal bersifat individual dan mencari keuntungan sendiri. Ini tentunya berlawanan dengan ajaran Gereja, “Kasih itu sabar, Kasih itu murah hati dan tak mencari keuntungan sendiri”. Pemimpin tidak tahu dosa memang tak punya pengetahuan akan sesuatu yang mesti dibuat dosa, maka ia tak sadar bahwa yang dilakukannya itu sesungguhnya berdosa. Kita simak bagaimana aksi dan terobosan para pemimpin dalam misi mensejahterakan rakyat dengan berkoar-koar berorasi pada mimbar media sosial, menyerukan program pengentasan kemiskinan, rencana pembangunan rumah kaum marjinal dan sekolah gratis hanya sekedar formalitas belaka dan tak tuntas perealisasiannya. Tanggung jawab pemimpin semacam ini kesannya lari-lari dan tidak konsisten. Pemimpin tidak tahu dosa sungguh-sunggh tak tahu bahwa perbuatan dan tindakannya itu benar-benar berdosa.
Ketiga, pemimpin pendosa. Pemimpin semacam ini pendidikan moral dan etikanya masih berfungsi dengan baik. Ia seperti kisah Zakheus yang sadar betul dan merasa bedosa telah melanggar perintah Tuhan dan berusaha memperbaiki dirinya dengan bertobat secara total. Pemimpin pendosa merasa berdosa bila tak mampu memberikan sesuatu bagi orang lain, apabila gagal dalam perjuangan dan usahanya. Ia bangkit berdiri dan berjalan mencari cara terbaik demi implementasi kemaslahatan masyarakat. Pemimpin semacam ini sungguh-sungguh manifestasi tokoh Zakheus pada masa kini. Sebab pada hakikatnya tak ada manusia yang tak berdosa.
Transparansi dan Akuntabel
Suatu kesalahan terbesar berujung penyesalan apabila dalam masa berlaku otoritas seorang pemimpin publik, ia tak mampu memberikan sumbangsih prestasi dan manfaat bagi orang lain, masyarakat, status sosial, dan bangsa. Itulah pemimpin pendosa, merasa tak dosa bila melakukan suatu aksi yang tidak umum, memarahi dengan hebatnya apabila ada distorsi dalam sistem pemerintahan yang berlaku. Pemimpin semacam ini punya integritas dan terbuka bagi stabilitas kenegaraan. Sikap transparansi mesti ditunjukkan agar melahirkan suatu keluwesan dalam berpikir dan bertindak. Pemimpin semacam ini mampu menyeimbangkan pengetahuan teoretis dan pengetahuan pragmatis. Pemimpin pendosa bukan sekedar menjalankan tugas dan kewajibannya sama halnya dengan golongan pemimpin tak tahu dosa, akan tetapi mereka mencari hakikat tujuan yang tinggi atau akuntabel demi mewujudkan makna dan impian bagi kehidupan masyarakat dan bangsa.
Suatu keadaan miris dan ironis apabila di Negeri ini dipimpin oleh pemimpin yang tidak punya dosa. Bangsa ini akan berjalan dalam kegelapan dan muncul beragam deviasi yang menenggelamkan kekhasan bangsa. Bangsa akan hidup dalam kungkungan kontroversi. Begitu pula dengan pemimpin yang tak tahu dosa, tidak ada penyalur aspirasi masyarakat karena penguasa bertindak semau gue dan tak menyadari bahwa semua tindakannya tergolong dosa. Bangsa ini akan mengalami disorientasi dalam berbagai aspek kehidupan.
Pemimpin tak punya dosa dan tak tahu dosa akan mudah menyerah dan pasrah apabila gagal dalam kepemimpinannya. Mereka tidak berinisiatif untuk maju dan bangkit dari keterpurukannya, mereka tidak punya integritas dalam hal kreatifitas memobilisasi bahtera Merah-Putih ini. Berbeda dengan pemimpin pendosa, Jika gagal dan melakukan sesuatu yang berdosa, akan sportif dan dewasa menerima kegagalan itu sembari memikirkan cara lain untuk membuat perubahan. Pemimpin pendosa sungguh-sungguh belajar dari dosa-dosa sebelumnya dan membangun suatu dinamika kehidupan yang baru demi menjaga stabilitas kehidupan berbangsa dan bernegara. Pemimpin semacam ini memiliki integritas dan loyalitas sehingga melahirkan figur yang transparansi dan akuntabel dalam menjejaki sistem pemerintahan dengan suatu idealisme demokrasi yang konstruktif.
Kapasitas, kapabilitas, dan kompetensi dosa layak diperhitungkan dan menjadi titik acuan bagi benih-benih pemimpin baru dalam perhelatan pemilihan umum yang sejatinya diselenggarakan tiap lima tahun sekali. Akhirnya, dalam dinamika kepemimpinan dalam suatu negara, sangat diperlukan adanya pemimpin dengan konsep dan pengetahuan dosa yang memadai sehingga mampu merealisasikan dan mengimplementasikan secara praktis dalam hal kepemimpinan. Seperti halnya Zakheus yang berdosa dan bertobat dan menjadi orang yang dikagumi Tuhan dan sesama manusia.
Penulis adalah mahasiswa STFK Ledalero, semester VII, juga aktivis PMKRI Maumere.