Antologi Puisi Melki Deni
Pada Hari Valentine ini,
Jejak-jejak Puisi ibu memancar dalam Kata: betapa aku tergoda untuk membacanya kembali, menuliskan Puisi di tengah hiruk pikuk dunia, yang sarat risiko
Sehabis melukiskan waktu dan menaklukkan hari-hari
Sebelum cinta, seperti Maut!
Kuterka rambut di kepala mulai berguguran
Kubayangkan kita merayakan Valentine dengan sengit, tapi kita menyusut dalam usia,
Sambil risau dan bertanya mengapa kita suka membayangkan kembali masa muda, yang tak pernah ada itu?
Angin basah tiada debu pun berhenti, ketika kau pun bertanya mengapa kita suka berubah menjadi seperti kepompong, singa, kertas putih, anak-anak dan mayat?
Aku Ingin
Bila aku menyeruput kopi seperti ini,
suka kubayangkan kau menjelma menjadi kopi
masuk ke dalam cangkir!
Kau adalah kopi, aku cangkirmu!
Percakapan Terakhir
Di sudut taman itu,
diam-diam kita menghapus usia dari buku
pada percakapan terakhir,
kemudian kita membuyarkan masa lalu
ke dalam kenangan yang retak itu.
“Kenangan bagaimanapun tidak bisa dibeli
dan kenangan yang dikenang kembali tidak pernah lengkap, bukan?”
Percakapan terakhir menghilang.
Dan kita pelan-pelan berjalan keluar.
Tapi ke mana?
Kita bakal mengekalkan esok yang mungkin tidak tidak pernah ada.
Seketika itu, kita belum menghitung kata dalam tanda waktu
Seperti kenangan makin rapuh
yang melekat dalam waktu
mengitari percakapan kita.
Ke Arah Sungai
Seharusnya orang-orang di kampung itu
tidak menyimpan lagi masa lalu
di mana sungai adalah jalan yang tajam seperti belati,
hidup yang nyaris susah dipahami pada ringkik
pelang-pelan langit menghapus satu per satu manusia di bumi
tapi bumi tak bosan-bosannya melahirkan manusia setiap saat
di kampung itu, dekat sungai
Roh para leluhur yang dilupakan surga
Dan telah dikhianati oleh neraka, merana dalam ketidakpastian
mengamat-amati perjalanan manusia dari kelahiran menuju kematian.
kehidupan bukanlah turunan sandiwara semata
seperti teater boneka di atas panggung
tetapi kecelakaan yang mesti disyukuri.
Barangkali potret masa depan kita,
Barangkali warna dalam mata kita,
Barangkali kecelakaan kita; ke arah sungai itu
di mana hidup adalah kecelakaan
dan cinta pun tidak pernah berhenti di sana
Melki Deni, Mahasiswa STFK Ledalero, Maumere, Flores, NTT. Ia sering menulis Karya Sastra dan Artikel pada koran lokal dan nasional.