Kupang, VoxNtt.com-Desa merupakan unit terkecil pemerintahan dalam lingkup masyarakat. Tempat yang konon identik dengan kesunyian dan orang-orang yang ramah.
Dalam perspektif masyarakat kota, tak ayal desa dianggap sebagai rumah untuk ‘pulang’, tempat penuh kenangan yang jauh dari kebisingan.
Terlepas dari segala pandangan eksotis dan nostalgia tentang daerah pedesaan. Saat ini, beragam masalah masih menjadi pekerjaan rumah pemerintah dalam memajukan daerah pedesaan terutama setelah masuknya dana desa sebagai pendongkrak pembangunan desa.
Berikut ini adalah lima masalah utama yang segera diselesaikan agat pembangunan di level desa dapat mendatangkan kesejahteraan yang berkeadilan.
- Korupsi
Penyelewengan dana desa sudah bukan lagi kabar baru di mata dan telinga kita. Menurut data yang dikeluarkan Indonesian Corruption Watch, terdapat 46 kasus korupsi dana desa yang merugikan negara sebesar 32,2 miliar rupiah pada tahun 2019. Selain itu, telah tercatat sebanyak 44 kasus korupsi pada sektor anggaran desa selama semester I/2020.
Sementara berdasarkan data Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) Pengadilan Negeri Klas 1A Kupang, sejak Maret 2016, tercatat ada 45 kades/penjabat desa yang divonis bersalah oleh Pengadilan Tipikor pada PN Kupang atas kasus korupsi dana desa.
Perkara 2 kades/penjabat kades diantaranya masih berlanjut ke tingkat kasasi. Sementara 1 mantan kades lainnya mengajukan peninjauan kembali. Sisanya sudah berkekuatan hukum tetap (inkracht) dengan total kerugian negara—dihitung dari jumlah uang pengganti— mencapai Rp 9 miliar lebih.
Kasus penyelewengan dana desa sering kali dilakukan oleh oknum pejabat desa dengan berbagai modus. Alasan yang kerap dipakai biasanya meliputi perencanaan perjalanan dinas fiktif, pengelembungan/mark up pembayaran honorarium perangkat desa dan pengadaan alat tulis kantor, pembuatan kegiatan fiktif yang dananya dibebankan dari dana desa, dan sebagainya.
Penggelapan dana desa bukan hanya sakadar merampas uang dari saku negara. Efek yang ditimbulkan setelahnya dapat berimplikasi pada berbagai aspek seperti pengembangan dan pembangunan desa yang tidak optimal, pelayanan pemerintahan yang menyeleweng, serta kemiskinan.
- Masalah Kesehatan
Pada masa pandemi seperti sekarang ini, masalah kesehatan menjadi isu penting yang tak pernah selesai dibahas. Di povinsi NTT, bahkan sebelum pademi covid-19 menyerang, masalah kesehatan telah lama eksis dan menyita perhatian banyak pihak. Kasus kematian ibu dan balita, demam berdarah, sanitasi, penyakit menular, stunting, dan lain sebagainya, menjadi momok yang meresahkan.
Sebut saja masalah stunting. Merujuk pada Data Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2018, tercatat bahwa angka stunting di NTT merupakan yang tertinggi di Indonesia, sebesar 42,6%. Lebih tinggi dari angka stunting rata-rata nasional, yakni 30,8%. Angka stunting di beberapa desa di NTT bahkan jauh di atas rata-rata provinsi. Di beberapa desa, angka stunting yang terjadi antara 60-70%.
Meskipun angka ini mengalamai penurunan menjadi 28,2% pada tahun 2020 (dilansir dari aksi.bangda.kemendagri.go.id), jumlah ini terhitung tinggi mengingat beberapa daerah di NTT masih mengalami kenaikan kasus.
Di Kabupaten Sumba Barat Daya misalnya, ada 12 desa yang mengalami angka stunting tertinggi. Pada tahun 2020 kemarin, tercatat angka kasus stunting di Sumba Barat Daya mencapai 30,1%, lebih tinggi dari angka rata-rata nasional yaitu 27%.
Masalah stunting hanya satu dari sekian banyak kasus yang kerap terjadi di desa. Minimnya fasilitas kesehatan, akses pengobatan, serta kepedulian masyarakat terhadap lingkungan, menjadi penyebab utama masalah kesehatan di desa.
- Kemiskinan
Masalah kemiskinan seakan tak ada obatnya. Kemiskinan adalah problem yang kompleks dan bisa disebabkan oleh beragam faktor. Hal ini dapat meliputi infrastruktur desa yang buruk, letak geografis yang tidak menguntungkan, bencana alam, rendahnya pendidikan warga, korupsi aparat, dan lain sebagainya.
Menurut data yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik (BPS), kemiskinan pada daerah perdesaan naik sebanyak 333,9 ribu orang (dari 14,93 juta orang pada September 2019 menjadi 15,26 juta orang pada Maret 2020).
Di provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), persentase penduduk miskin mecapai angka 21,21% pada September 2020. Angka ini meningkat 0,31% terhadap Maret 2020 dan meningkat 0,59% terhadap September 2019.
Kepala BPS NTT, Darwis Sitorus, memaparkan bahwa presentase penduduk miskin di daerah pedesaan pada September 2020 sebanyak 25,26%. Angka ini naik dari penghitungan sebelumnya pada bulan Maret 2020, yakni 24,73%.
“Untuk daerah perdesaan naik sekitar 14,3 ribu orang. Dari 1.040,37 ribu orang pada Maret 2020 menjadi 1.054,65 ribu orang pada September 2020.” Terang Darwis dilansir Grata.com.
Hal ini tidak hanya menimbulkan kecemasan, tetapi juga penegasan bahwa kemiskinan merupakan masalah serius yang perlu dicermati, serta diatasi dengan segala cara dan upaya.
- Masalah Pendidikan
Minimnya infrastruktur dan sarana-prasarana, kurangnya tenaga pengajar, sanitasi sekolah yang buruk, serta lingkungan belajar yang kurang kondusif, adalah beberapa permasalahan pendidikan saat ini. Di pedesaan, hal ini diperumit dengan beragam persoalan lainnya seperti jarak tempuh sekolah yang jauh, akses transportasi, masalah ekonomi keluarga, dan lain sebagainya.
Berdasarkan data Susenas yang dikeluarkan oleh BPS pada tahun 2020, Angka Partisipasi Sekolah (APS) penduduk pedesaan lebih rendah jika dibandingkan dengan penduduk di perkotaan. Perbandingan ini menjadi kian melebar ketika jenjang pendidikan semakin tinggi. Jika ditilik berdasarkan kelompok usia 19-24 tahun misalnya, hanya ada 18,05% penduduk desa yang melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Angka ini tertinggal 12,80% dari penduduk perkotaan.
Di provinsi NTT—merujuk pada data Susenas 2019—hanya ada 5,20% penduduk usia sekolah yang sedang menempuh pendidikan di bangku kuliah. Apabila dipilah berdasarkan tempat tinggalnya, penduduk perdesaan yang melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi hampir 6 kali lebih sedikit dibandingkan dengan penduduk di perkotaan.
Hal ini diperparah dengan angka putus sekolah di perdesaan. Sebagian besar anak usia sekolah berhenti melanjutkan pendidikan pada usia 16-18 tahun, yang notabene merupakan usia Sekolah Menengah Atas (SMA). Persentase ini mencapai 27,80%. Jauh lebih tinggi dari angka putus sekolah di perkotaan pada usia yang sama, yakni 14,72%.
Berbasis data ini, dapat dilihat ketimpangan pendidikan antara daerah perkotaan dan perdesaan. Persoalan ini tidak hanya membutuhkan perhatian dari pemerintah, tetapi juga pihak-pihak lain seperti sekolah dan orang tua.
- Bencana Alam
Alam memberi manusia banyak hal, tetapi juga mengambil banyak darinya. Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), tercatat sebanyak 2.939 bencana alam melanda Indonesia selama periode 1 Januari sampai 31 Desember 2020. Bencana banjir menjadi kasus terbanyak, yakni mencapai 1.070 kasus, diikuti oleh bencana puting beliung 879 kasus, dan tanah longsor 575 kasus.
Hingga 4 Februari 2021 ini, tercatat sebanyak 307 bencana alam terjadi di seluruh tanah air. Sampai hari ini bencana hidrometeorologi masih menyumbang kasus paling banyak.
Di provinsi NTT sendiri, intensitas hujan yang tinggi berakibat bencana di sejumlah daerah. Kabupaten Sikka misalnya, mendapatkan kerusakan yang tidak sedikit. Dilansir dari Mongabai.co.id, areal penanaman padi seluas 171 ha yang meliputi tiga desa di Kecamatan Mego terkena banjir bandang dan mengalami kerusakan parah sebanyak 8,95 ha.
Selain banjir di Sikka, deretan bencana alam juga melanda daerah NTT lainnya. Sebanyak 17 unit rumah warga di Desa Bo’a, Kabupaten Rote Ndao ambruk diterjang puting beliung pada Januari 2021. Adapun gempa dengan kekuatan magnitudo 5,0 yang mengguncang Kabupaten Sumba Barat Daya tepat setelah memasuki awal tahun.
Bencana alam di pedesaan sering kali meliputi bencana banjir, tanah longsor, kekeringan, kebakaran hutan, hama, puting beliung, gempa, hingga erupsi gunung berapi.
Hal ini tidak hanya memberi kekhawatiran dan mengganggu aktifitas warga desa, namun juga mengancam nyawa banyak orang. Di satu sisi, bencana alam memberi kerusakan materi dan meninggalkan kerugian yang tidak sedikit.
Penulis: Erick Lofa
Editor: Irvan K