*Cerpen
Oleh: Stefan Bandar
Aku teringat kisah masa kecilku. Ayah pernah mengatakan bahwa dia ingin aku menjadi seorang imam di kemudian hari. Oleh karena itu setiap hari minggu ia mengajakku mengikuti misa di gereja. Setelah perayaan misa selesai biasanya ia singgah sebentar di pastoran lalu bercanda dengan pater Jhon sebagai pastor paroki, sebelum pulang.
Begitulah kebiasaan ayah setiap hari minggu. Dari wajahnya aku dapat melihat bahwa ia sangat mendambahkan anaknya menjadi seorang imam. Aku dapat melihat kedamaian dalam dirinya tatkalah ia bercanda ria dengan pater Jhon. Ia begitu bahagia. Bahkan ekspresi bahagiaanya yang tidak kulihat di rumah dapat kulihat ketika ia bergurau dengan pater Jhon.
Waktu terus berlalu tanpa henti. Setelah menamatkan sekolah dasar, ayah menyuruhku masuk ke seminari menengah. Aku mengikuti kemauannya. Aku dinyatakan lulus setelah mengikuti tes masuk. Namun pada saat yang bersamaan aku menyadari bahwa aku tidak lagi memiliki banyak waktu bersama ayah dan ibu. Aku merasa sedih sebab aku harus meninggalkan mereka, memendam rindu di antara tawa dan canda bersama teman.
Lama-kelamaan aku terbiasa juga dengan rinduku pada mereka. Isak tangis yang menerpahku pada hari-hari pertama kini hilang bersama waktu yang selalu berganti. Canda dan tawa bersama teman-teman membuat aku sedikit lupa terhadap rasa rinduku. Meskipin begitu, jauh di dalam hati aku masih merindukan ayah dan ibu.
Saat aku duduk di kelas satu SMP, aku mendengar kabar bahwa aku memiliki seorang adik laki-laki. Tino, demikian namanya. Aku sungguh merasa senang. Aku merasa bahwa aku tidak sendiri lagi. Dan hal ini membuat aku terkadang ingin pulang ke rumah.
Setelah menamatkan pendidikan SMP, aku diberi kesempatan untuk mengenyam pendidikan SMA di seminari yang sama. Meskipun dengan seleksi yang cukup ketat, namun aku diberi kesempatan untuk terus berada di sana. Hal ini dikarenakan nilaiku cukup bagus, bahkan menempati urutan pertama di antara teman-temanku.
Pengalaman saat kelas 3 SMA merupakan pengalaman yang tak akan pernah kulupakan dalam hidupku. Saat itu aku bertemu dengan seorang gadis. Leony, demikian ia biasa dipanggil. Aku jatuh cinta padanya. Bisa dibilang jatuh cinta pada pandangan pertama. Jujur saja ia sangat cantik dan pertemuan itu membuat aku untuk pertama kali jatuh cinta dengan seorang gadis dalam hidupku.
Hari-hari setelah pertemuan itu adalah hari bahagia dalam hidupku. Setiap minggu ia selalu mengirimku surat berisikan rindunya padaku. Aku juga membalasnya, bahkan menyelipkan sekuntum mawar meskipun aku tahu mawar itu akan layu di tengah jalan sebelum sampai kepadanya.
Setelah menamatkan pendidikan di seminari menengah atas ayah memintaku untuk masuk di sebuah biara. Awalnya aku tolak. Bukan tanpa alasan aku menolaknya. Tetapi aku sungguh tidak ingin hidup di komunitas lagi. Aku ingin kuliah di luar dan hidup bebas.
Alasan lain aku menolaknya adalah karena aku sudah berjanji dengan Leony bahwa aku akan kuliah di kampus yang sama dengannya. Bahkan aku sudah memberinya kepastian bahwa aku tidak akan masuk biara seperti teman-temanku yang lainnya. Aku akan selalu bersamanya dan selalu menjaganya hingga nanti.
Di sisi lain, ayah terus memaksaku untuk masuk di sebuah biara. Ibu juga coba membujuk aku untuk meneruskan pendidikanku di biara. Akh, rupanya mereka sungguh-sungguh menginginkan aku menjadi seorang imam, gumanku. Dengan secara terpaksa akupun mengikuti keinginan mereka.
Hal terberat yang harus kulalui adalah memberitahukan pilihan ini kepada Leony, gadis yang paling aku cinta. Aku tak tahu harus dari mana aku memulainya. Aku takut ia terluka, ia menangis dan pada akhirnya ia pergi dariku. Aku takut kami akan menjadi makhluk yang asing lagi sepreti sebelum pertemuan itu.
Benar saja. Setelah mendengar pilihanku Leony menangis sejadi-jadinya. Ia terluka. Ia sungguh tidak menyangka bahwa aku membohongi dirinya. Aku coba menjelaskan semuanya namun semua itu sia-sia saja. Sejak saat itu ia tidak lagi membalas suratku. Sejak saat itu kami menjadi makhluk yang asing lagi.
Hari-hari pertama dalam biara adalah masa yang sulit dalam hidupku. Tidak ada hal yang lebih sulit dari cinta selain mencintai hal-hal yang tidak dicintai. Dan aku merasakan hal itu. Aku dituntut mengikuti gaya hidup yang sungguh asing dari pengalaman hidupku. Memang ada sebagian yang sama seperti saat aku duduk di seminari menengah. Namun kehidupan di biara sungguh membuat aku tersiksa.
Bayangan Leony yang terus datang dalam pikiranku mewarnai hari-hari pertamaku di biara. Benar bahwa yang menyakitkan dari sebuah perpisahan adalah rindu. Aku terus merindukannya meskipun aku tahu bahwa ia telah pergi entah ke mana. Bahkan aku sering berpikir untuk meninggalkan biara demi menemuinya lagi.
Rinduku pada Leony selalu datang setiap saat. Bahkan dalam telutku pun ia tetap datang. Ia seolah-olah tidak ingin pergi meskipun aku berusaha untuk mengusirnya. Maka dari itu, dalam lembaran-lembaran diary aku mencoba menulis tentangnya, tentang dia yang selalu datang dalam pikiranku dan tentang aku yang selalu memikirkannya. Aku kembali mengirimkan surat untuknya.
Dear Leony,
Aku menyadari bahwa kita adalah dua makhluk asing yang hanya dipertemukan, bukan untuk dipersatukan. Aku selalu merindukanmu dan mungkin karena rinduku ini kita menjadi dua makhluk yang asing sekali lagi saat ini. Seandainya aku tahu hal ini terjadi, mungkin dulu aku akan berusaha menetralkan perasaanku dan membiarkan engkau dimiliki orang lain. Namun sayang, aku tidak terlalu kuat untuk membohongi perasaanku. Aku hanya berharap bahwa suatu saat nanti engkau menemui kebahagiaanmu sendiri tanpaku, tanpa harus bersandar lagi pada bahuku.
Aku menunggu untuk beberapa hari setelah surat itu kukirim. Aku berharap bahwa aku segera mendapatkan balasan seperti halnya dulu. Aku tak sabar membaca kembali rumusan-rumusan kata yang biasa ditulisnya sebagai balasan suratku. Namun semuanya sia-sia saja. Ia tidak membalas suratku bahkan aku tidak mendapatkan informasi prihal ia telah menerima suratku.
Waktu yang terus berjalan tanpa henti akhirnya membuat aku bisa merelakan Leony pergi. Bukan merelakan tetapi ia pergi dengan sendirinya. Mungkin ia telah lelah datang dalam pikiranku atau mungkin pikiranku saja yang letih untuk memikirkannya. Akh, mungkin ini adalah buah dari doa-doaku, gumanku.
Setelah hilangnya rindu itu, aku berusaha memulai dan menata hidupku dengan jalan yang kupilih. Entah mengapa, aku mulai merasa betah bahkan mulai mencintai kehidupan di biara. Aku mencintai siklus-siklus hidup yang terbalut dalam aturan-aturan yang ada. Aku bersama teman-temanku menghabiskan hari-hari dengan canda ria sembari menghantarkan senja pada gelapnya malam dan menanti fajar menyambut siang.
Hari-hariku di biara terus berlalu tanpa aku sadari. Banyak canda dan tawa yang kulewati bersama teman-teman. Banyak kegiatan-kegiatan biara yang membuat aku sedikit sibuk hingga aku lupa bahwa siang telah menjadi malam. Hari-hari selanjutnya selalu begitu.
Delapan tahun di dalam biara membuat aku benar-benar mencintai pangilanku. Tidak ada lagi Leony dalam ingatanku bahkan dalam mimpi-mimpi malamku. Aku tidak lagi mengingatnya sebagai wanita yang sangat aku cintai. Aku benar-benar sudah menguasai hati dan ruang rinduku. Leony bagiku hanyalah nama seseorang yang aku tak tahu entah ke mana perginya setelah pertemuan itu.
Hal lain yang membuat aku bahagia adalah karena adikku juga dinyatakan lulus tes seminari. Kadang pertanyaan yang muncul dalam benakku adalah siapakah yang akan menerus warisan keluarga jika aku dan adikku menempuh jalan hidup membiara? Namun aku juga sering berpikir bahwa Tuhan pasti telah mengatur semuanya.
Di tengah perjalan hidup membiara, tepatnya tahun ke delapan aku berada di dalam biara, alam lagi-lagi mencobaiku. Ia merenggut ayah dalam sebuah kecelakaan mobil. Hal ini membuat aku merasa terpukul bahkan merasa pupus untuk terus menjalani panggilan. Bukan karena tanpa alasan, namun kenyataan yang kuterima sungguh-sungguh menyakitkan. Aku berpikir bahwa Tuhan benar-benar tidak adil.
Entah untuk lembaran ke berapa, aku mengambil diary dan kembali menulis rinduku untuknya. Aku meletakkan seluruh rinduku di atas lembaran-lembaran kosong. Mungkin dengan inii ayah bisa tahu bahwa aku sungguh-sungguh merindukannya.
Dear ayah,
Apakah yang lebih letih selain tubuh yang memikul mentari kembali menuju peraduannya? Adakah yang lebih murni selain peluh bening mengalir menuju mimpi-mimpi indah? Ayah, Engkau menjadikan dirimu embun tempat teduha jiwaku letih. Engkau menjadikan dirimu awan pemberi gerimis pada bunga-bunga harapku hinga nanti mekar di atas pusaramu. Ayah, jika di kehidupan kemudian kita kembali bertemu, maka izinkan aku membisikan kata rinduku padamu.
Setelah kepergian ayah, pikiranku tidak karuan lagi. Aku memikirkan ibu yang ditinggalkan oleh ayah. Ibu hanya seorang diri di rumah, melewati hari-harinya dalam kesendirian. Ibu akan merasa lebih lelah karena tidak adal lagi canda ayah yang membuatnya semangat melewati hari demi hari.
Akh, Tuhan. Haruskah ayah pergi meninggalkanku sebelum aku menjadi seseorang yang diinginkannya? Apakah Engkau tidak menginginkan ayah mengecap keberhasilan dari keringatnya yang telah bercucuran? Akh, Tuhan! Haruskah aku menanggung semua ini agar aku bisa pergi kepadaMu?
Penulis adalah mahasiswa STFK Ledalero