Kupang, VoxNtt.com-Polemik perekrutan tenaga kontrak (teko) di lingkup Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) yang selama ini viral usai diberitakan VoxNtt.com, terus menuai pertanyaan dari publik.
Pasalnya, hingga kini, perekrutan teko yang diduga senyap dan sengaja melabrak aturan tentang perekrutan ASN non-PNS itu, tak kunjung mendapat penjelasan pasti dari pemerintah. Masing-masing pihak terkait memberikan penjelasan berbeda.
Sementara, kepala Badan Kepegawaian Daerah, Henderina Sitince Laiskodat maupun Gubernur NTT, Viktor Bungtilu Laiskodat hingga kini belum memberikan penjelasan mengenai polemik itu.
Sebagaimana diberitakan VoxNtt.com pada beberapa edisi sebelumnya, Kepala BKD NTT, Henderina Sitince Laiskodat, hingga kini mangkir dari media ini, meskipun telah diupayakan beberapa kali untuk bertemu. Dihubungi via WhatsApp pun tak pernah dilayaninya.
Bahkan pada Senin (08/03/2021) pukul 15.00 Wita, saat VoxNtt.com mendatangi Kantor untuk kesekian kalinya. Henderina diduga kuat berbohong, demi menghindari wartawan.
Baca: Beda Pendapat DPRD dan Badan Keuangan soal Honor Teko Pemprov NTT, Ada Apa?
Dugaan kebohongan Henderina terkuak, ketika Petrus Kolo, salah satu staf di BKD menyampaikan, Bosnya, Henderina telah keluar untuk menghadiri pertemuan dengan Gubernur Viktor Laiskodat lewat pintu lain. Meski sebelumnya telah meminta wartawan untuk menunggu.
Tak ingin ditipu begitu saja oleh Henderina, wartawan yang mendengar informasi tersebut, langsung menuju ke ruangan Gubernur dan bertanya ke penerima tamu terkait adanya pertemuan tersebut. Dari sana dijelaskan, Gubernur sedang tidak berada di Kantor.
“Pak Gubernur tadi ada. Tapi sudah pulang jam 11 (pukul 11 Wita) tadi” ujar perempuan paru baya itu.
Sikap Henderina yang terkesan terus lari dari wartawan seolah mempertegas pandangan para pengamat bahwa perekrutan teko tersebut, syarat kepentingan dan pelanggaran hukum.
Sementara Kepala Biro Humas, Marius Ardu Jelamu saat ditanyai belum lama ini, mengaku tak menegtahui soal pengangkatan tenaga kontrak tersebut.
“sy blm tau ini ade,” jawab Marius singkat saat ditanyai VoxNtt.com, Jumat (05/03/2021).
Baca: Disebut Teko Di-SK-kan Gubernur, Karo Humas NTT Tidak Tahu, Pengamat: Melanggar UU
Tidak ada Dasar Hukum
Pakar Hukum Tata Negara Undana Kupang, Jhon Tuba Helan menjelaskan perekrutan tenaga kontrak di lingkup pemerintah Provinsi NTT itu ilegal karena tidak mempunyai dasar hukum.
Aturan yang dilanggar, terang Jhon ialah Peraturan Pemerintah (PP) No. 49 tahun 2018 tentang Manajemen PPPK. Menurutnya, dalam PP tersebut, hanya ada dua pegawai aparatur sipil negara, yakni PNS dan PPPK.
“Jadi PPPK itu prekrutannya melalui suatu mekanisme penyusunan perencanaan, penyusunan formasi sampai pada pengangkatan begitu. Juga tes, harus secara nasional. Tidak angkat-angkat saja. Begitu kalau menurut saya,” ujar Jhon.
Soal pernyataan Wakil Ketua DPRD NT, Ince Sayuna yang menyebutkan PP Nomor 49 Tahun 2018 belum ada peraturan teknisnya. Jhon mengatakan, masing-masing orang mempunyai penafsiran yang berbeda terkait PP tersebut.
Baca: Hindari Wartawan Karena Alasan Pertemuan dengan Gubernur, Kepala BKD NTT Diduga Berbohong
“Karena begini, suatu norma hukum yang keluar, ada yang membutuhkan penjabaran lebih lanjut, ada yang tidak. Karena ini kan ketentuan, hanya menyatakan bahwa dilarang merekrut. Kalau merekrut, itu berarti ada ketentuan pelaksanaan. Kira-kira tahap perencanaannya bagaimana, pelaksanaannya bagaimana sampai pengangkatan.
Tapi ini kan, dia acuannya hanya mengatakan bahwa dilarang merekrut pegawai kontrak, tenaga honorer dan lain sebagainya. Jadi, dilarang. Berarti tidak boleh,” tegas Jhon.
Jhon mencontohkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 yang mengatur tentang Aparat Sipil Negara.
“Macam dulu ya Pak, undang-undang Nomor 5 Tahun 2014, yang mengatur bahwa pegawai aparat sipil negara, khususnya PNS itu pensiunnya umur 58. Yang sebelumnya 56. Begitu undang-undang keluar, mereka yang usianya mendekati 56, karena undang-undang itu sehingga dia pas 56 dia tidak pensiun tetapi menunggu samapai 58.
Tidak perlu ada peraturan penjabaran lebih lanjut. Jadi sama dengan perarturan pemerintah ini. Karena dia hanya mengatur, dilarang merekrut. Dilarang merekrut, berarti tidak boleh rekrut. Kalau tidak boleh rekrut, itu tidak boleh ada penjabaran. Begitu kalau penafsiran saya,” begitu penafsiran saya.
Penegasan itu kata Jhon, tertuang dalam Pasal 96 ayat (1) PP Nomor 49 Tahun 2018.
Baca: Dituding Rekrut Teko Diam-diam, Begini Respons Kadis P&K NTT
Jhon mengaku, cukup menguasai PP tersebut karena Ia mengajar mata kuliah tentang Hukum Aparatur Sipil Negara di Fakultas Hukum Undana. Di dalamnya termasuk PP tersebut.
“Kebetulan saya juga mengajar hukum aparatur sipil negara di fakultas hukum, maka saya cukup menguasai itu. Dua PP itu, PP tentang PNS dan PP tentang PPPK. Jadi dua-dua sudah keluar dan waktu itu ada penegasan dari Presiden juga.
“Waktu menandatangani PP itu, beliau (Presiden) menegaskan lagi dan diberitakan bahwa sejak saat sekarang (waktu PP ditandatangani) tidak boleh lagi ada prekrutan begitu. Sehingga kalau menurut saya, ya kalau masih merekrut, yang menjadi pertanyaan saya, dasar wewenangnya di mana, dari mana. Pemerintah daerah merekrut pegawai honorer ya,” tanya Jhon.
Terkait adanya gerakan masyarakat yang ingin menggugat Kepala BKD NTT ke Komisi Informasi Publik, Jhon menyambut baik dan mendukung gerakan tersebut.
“Sebenarnya, kalau di Undang-Undang KIP itu kan, kalau ada informasi publik yang tidak diberikan itu, pihak yang membutuhkan atau yang meminta, berhak untuk melapor ke pihak yang berwajib untuk memproses itu. Di undang-undang KIP ada ketentuan itu. Kecuali ada hal yang bersifat rahasia,” tandasnya.
Anggaran hanya untuk PPPK
Pada berita sebelumnya, Wakil ketua DPRD NTT, Ince Sayuna menjelaskan tidak ada anggaran untuk tenaga kontrak dalam pembahasan APBD tahun 2021.
Menurut Inche, anggaran hanya dialokasikan untuk penambahan kuota Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). Jumlahnya 350 orang, tersebar di dua dinas. Dinas Pendidikan dan Kebudayaan mendapat jatah 200 pegawai dan Dinas Kesehatan sebanyak 150 pegawai.
Baca: Pimpinan DPRD NTT Diam, Perekrutan Teko Semakin Mencurigakan
“Yang dibahas di APBD itu hanya dua untuk PPPK yakni Dinas Pendidikan dan Kesehatan. 150 untuk tenaga kesehatan dan 200 untuk tenaga pendidik. Honornya hampir setara ASN yakni Rp 4 juta,” jelas Sekretaris Partai Golkar NTT itu di Kantornya.
Temuan VoxNtt.com, perekrutan Teko itu tersebar di berbagai dinas, seperti Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Dispenda, Dinas PUPR. Bahkan di Dinas PUPR, VoxNtt.com menerima informasi kalau di antara honorer tersebut lebih banyak keluarga bahkan anak dari “elit” di Dinas tersebut.
Terkait nomenklatur yang termuat dalam PP nomor 49 tahun 2018, tentang PPPK yang bukan lagi menjadi kewenangan daerah, demikian Ince, sampai saat ini belum ada petunjuk aturan teknisnya dan masih masa peralihan sampai Tahun 2023.
Dirinya juga menjelaskan, terkait aturan teknis seleksi PPPK sebanyak 350 orang itu menjadi kewenangan eksekutif.
Baca: Soal Dugaan Perekrutan Teko secara Senyap, Elemen Masyarakat Bakal Gugat Kepala BKD NTT
Sementara itu, Kepala Badan Keuangan Pemprov NTT, Sakarias Moruk yang diwawancarai Jumat 19 Maret menyampaikan hal berbeda. Moruk menjelaskan, honor tenaga kontrak melekat pada biaya di dinas terkait.
“Melekat di masing-masing perangkat daerah. Biaya administrasi perkantoran,” ujar Moruk.
Berbeda dengan yang disampaikan Ince, Moruk menjelaskan gaji mereka sebesar UMP yakni Rp.1.950.000,-.
“Belanja urusan perkantoran ada biaya tenaga adminstrasi. Honor mereka kita pakai UMP (Rp 1.950.000). Masing-masing OPD ada, misalnya biaya staf adminstrasi, biaya orang jaga malam,” sambungnya.
Mengenai sistem perekrutan, ia mengatakan, ada di perangkat daerah karena mereka yang tahu kekurangan.
Padahal, penjelasan Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Provinsi NTT, Ondy Christian Siagian, perekrutan Teko itu merujuk kompetensi pelamar sesuai kebutuhan.
“Kebutuhan sesuai fungsinya. Misalnya, spesifikasinya kita Kehutanan, ya sarjana Kehutanan. Kemudian ada spesifikasi Lingkungan, ya sarjana Lingkungan. Kemudian ada ketatausahaan ya, itu sarjana-sarjana umum. Itu yang kita prioritaskan untuk masuk,” jelasnya.
Pengamat Politik dari Universitas Widya Mandira Kupang, Apolinaris Gai saat dihubungi VoxNtt.com, Selasa (23/03/2021) menjelaskan, perbedaan pendapat antara pihak legislatif dan eksekutif sebetulnya sedang menunjukan bahwa ada sesuatu yang kurang beres pada tubuh pemerintahan.
Menyoal perekrutan Teko yang diduga melanggar aturan, Dosen Fisip ini berpandangan sama dengan Jhon Tuba Helan, pakar hukum tata negara Undana. Menurut dia, hukum telah melarang kepala daerah atau pejabat lain di level daerah untuk merekrut tenaga kontrak atau honorer.
Karena itu, siapapun yang melanggar akan berhadapan dengan hukum. Apalagi terang dia, merujuk penjelasan Inche Sayuna, DPRD tidak ada alokasi anggaran untuk Teko. “Pertanyaannya bagaimana mereka (teko) itu digaji,” tanya Aris, demikian disapa.
Baca: Aroma Tak Sedap Keluar dari BKD NTT
Dia menegaskan, semua pembiayaan yang bersumber dari APBD harus melalui pembahasan bersama DPRD sebagai dasar hukum bagi eksekutif dalam mengeksekusi kebijakan.
“Ini bukan soal besar dan kecilnya gaji dari para tenaga honorer ya. Tapi, apakah payung hukumnya ada atau tidak? Kalau tidak ada, apa dasarnya? Semua pembiayaan yang bersumber dari APBD itu, harus ada payung hukum,” tegasnya.
Berkaitan dengan sistem penggajian, sebagaimana penjelasan kepala badan keuangan, Sakarias Moruk bahwa dibebankan ke perangkat OPD terkait. Aris kembali menegaskan, bukan soal apakah penggajiannya disalurkan melalui badan keuangan atau OPD terkait. Karena itu tetap membebankan APBD.
“Bukan itu soalnya. Soalnya adalah apakah kebijakan itu mempunyai dasar hukum atau tidak?” tandasnya.
Menurut dia, persoalan teko ini akan berimplikasi pada pertanggungjawaban hukum. Karena itu, tegas dia, Gubernur sebagai pejabat yang mengeluarkan SK, juga para pejabat OPD terkait harus siap untuk bertanggung jawab secara hukum.
Dia juga menyarankan agar semua pihak terkait harus taat pada hukum yang berlaku.
(VoN)