Kupang, VoxNtt.com-Nasib nahas menimpa warga di Dusun II, Desa Taloetan, Kecamatan Nekamese, Kabupaten Kupang pada 28 Maret 2021, sekitar pukul 13:00 wita. Kuat dugaan, pembakaran sejumlah rumah itu buntut dari eksekusi lahan sengketa di wilayah tersebut.
Kepala Desa Desa Taloetan, Yusak Bilaut kepada wartawan saat memberikan keterangan pers di Gereja Gibeon, Bone, Kamis (01/04/2021) siang menyampaikan, saat peristiwa itu terjadi, Ia sedang menemani seorang pendeta dari Jakarta yang sedang berkunjung di wilayah itu, sekaligus memberikan bantuan sosial kepada masyarakat yang rumahnya digusur akibat kalah perkara
Tempat yang mereka kunjungi, terletak di RT 007/RW 004, Dusun II, Desa Taloetan, jauh dari tempat kejadian. Mereka membangun tenda-tenda darurat untuk sekadar berlindung di tengah cuaca yang buruk.
Di tempat itu, Ia bersama pendeta Yoksan Lekputa dan beberapa orang dari gereja setempat berdiskusi sekalian mensupport dan menguatkan warga di situ. Pertemuan hari itu diakhiri dengan doa bersama.
“Selesai doa bersama, kita melihat anak-anak yang lagi menyelesaikan tenda-tenda darurat, tiba-tiba kami didatangi oleh sekelompok orang yang juga kami tidak kenal. Satu pun dari antara mereka, kami tidak kenal. Datang menghampiri kami, bertemu dengan anak-anak yang merupakan korban gusuran akibat kalah perkara tadi. Lalu terjadilan adu mulut,” cerita Kades Yusak.
Kondisi di lokasi, terang dia, kian memanas hingga terjadi baku lempar antara sekelompok orang yang mereka tidak kenal dengan anak-anak yang rumahnya digusur.
“Karena di situ lebih banyak anak-anak, orang tua dan ibu-ibu, maka saya menganjurkan untuk panggil. Untuk menghindar,” katanya.
Namun sekelompok orang ini semakin beringas. Mereka menyerang, sampai kurang lebih 10 motor yang ada di situ, termasuk motor dari seorang pendeta dirusaki. Semua motor itu dalam kondisi rusak berat.
“Kami sudah berada di bagian belakang kurang lebih 100 atau 150 meter. Kami bersembunyi di sana. Ada yang larinya terus. Tapi mengingat motor masih ada, kami tetap di situ bersama Pak Pendeta dan rekan-rekan yang lain. Selang 15 atau 20 menit, kita dengar ada tiang listrik yang berbunyi dari arah jalan umum ini, disertai dengan teriakan,” ujarnya.
Tidak lama kemudian, lanjut Yusak, lonceng gereja setempat berbunyi, bertanda suasana semakin tak terbendung, aksi kejar-kejaran pun tak terhalangi.
“Maka, mulailah massa keluar dari sini. Kita dengar ada teriakan-teriakan dari sini menuju ke arah kami. Lalu, mereka menghalangi sekelompok orang yang tadi tidak dikenal, mereka terjadi kejar-kejaran. Kami masih dintempat (hutan) yang tadi, di belakang rumah-rumah darurat,” katanya.
“Sekitar 10 atau 15 menit, sudah tidak dengar lagi suara teriakan-terikan, kami turun kembali. Kami turun kembali, kami lihat motor kami sudah hancur. Aksi kejaran pun masih terjadi, masih terus dilanjutkan. Kami duduk di situ, duduk di dekat tenda-tenda yang darurat sambil kami mengamati motor-motor yang ada, karena kita sudah tidak bisa pakai lagi. Tidak terlalu lama di situ, kita juga takut jangan sampai ada massa yang susul datang kembali ke situ. Kita memilih untuk keluar dan kembali di jalan umum,” kisahnya.
Setelah itu, mereka langsung ke gereja, sampai di depan gereja tampak banyak orang di situ, tidak lama di depan gereja, ia langsung bergegas ke arah rumah pribadinya, dekat kantor desa setempat.
Sesampai di rumahnya, kurang lebih 10 sampai 15 menit, ada sebuah truck berwarna kuning yang di dalamnya muat massa yang ia tidak kenal dan lengkap dengan busur dan anak panah.
“Karena seusai rapat sidang wilayah di sini, mereka sudah keluar karena tadi disertai dengan keributan. Mereka menghindar dan lari ke bawa. Lalu, melihat truck yang datang, mereka yang berdiri di situ pada ketakutan semua. Ada yang lari ke belakang rumah, ada yang lari ke hutan. Saya pun demikian. Karena saya sendiri rumah di paling bawah. Karena katakutan, saya juga memilih untuk menghindar, lari ke hutan. Kita (dengan warga lain) ketemu di hutan,” katanya.
Sampai di hutan, mereka melihat truck tersebut sudah masuk ke rumah warga. Setelah itu, mereka melihat ada asap yang mengepul ke atas.
“Kami pikir bahwa, ini sudah terjadi kebakaran besar-besaran. Dan betul seperti itu. Mereka sudah mulai membakar dan terakhir di saya punya rumah. Di saya punya rumah,” ujarnya.
Hari sudah sore, mereka tidak berani keluar dari hutan lantaran sekelompok orang tak dikenal tersebut masih berada di sekitaran rumah warga.
“Kami sangat ketakutan. Saya dari hutan memilih keluar di wilayah Dusun 4 yang menghubungkan Dusun 5 ke Desa Bone. Itu bagian belakang,” katanya.
Sampai di Besa Bone, Yusak meminta bantuan temannya meminjam motor warga setempat untuk dipakainya ke Kupang.” Kami keluar dari situ sekitar jam 9 malam. Saya bilang, saya harus keluar dari kampung, karena saya terancam. Karena rumah saya dibakar, berarti saya salah satu orang yang disasar,” ujarnya.
Sekitar jam 10 malam, ia bergegas dari kampung halamannya menuju Kupang, ia tiba di Kupang sekitar jam 12 malam.
“Saya tiba di Kupang sekitar jam 12 malam. Waktu itu, anak saya dua orang belum tidur. Mereka menangis sambil menunggu saya. Karena saya komunikasi dengan mama mereka, mereka dapat dengar,” katanya.
Ia mengaku, tidak bermasalah dengan sekelompok orang tersebut, karena ia bukan penggunggat atau tergugat dalam sengketa tanah yang digusur tersebut.
“Saya tidak tau, apa kesalahan saya. Karena saya bukan penggunggat atau tergugat. Tugas saya hanya memberikan pelayanan kepada masyarakat,” katanya.
Ia juga membantah sejumlah informasi yang mengatakan, bahwa ia meminpin massa pada peristiwa tersebut. Informasi tersebut tegas dia, sangat bertentangan dan tidak benar.
“Karena saat itu, saya bersama pendeta. Kita sedang melakukan kunjungan sosial. Informasi itu sangat tidak benar,” tegasnya.
Ia menamnahkan, total rumah yang dibakar 14 rumah. Ada yang dibakar, ada yang pengrusakan. 14 rumah dibakar tersebut tegas dia, ada di luar wilayah sengketa.
“Total rumah yang dibakar pada tanggal 28 Maret 2021, tercatat 14 rumah. Ada yang dibakar, ada yang pengrusakan. Pengrusakan sekitar 6 rumah. Yang dibakar itu 14 rumah,” kata dia.
Selain rumah lanjutnya, ada hewan piaraan masyarakat yang menjadi korban dalam peristiwa tersebut. “Yang dari hewan piaraan itu mereka bisa hidup. Bisa membiayai pendidikan, bisa membianyai kebutuhan-kebutuhan mereka, juga dibunuh dan dibiarkan mati begitu saja,” katanya
Ia memastikan kelompok tersebut, bukan dari warganya. “Saya tidak kenal mereka, karena memang mereka bukan warga saya,” tegasnya lagi.
Sedang Pimpin Sidang Majelis
Sementara Pendeta Gereja Gibeon, Bone, Erna Ratu Eda Fangidae, mengaku pada saat peristiwa tersebut, ia sementara pimpin sidang majelis bersama jemaatnya.
“Waktu itu, saya ada pimpin sidang majelis. Belum selesai saya omong, salah satu jemaat lari dan kasih tahu bahwa gereja akan diserang,” katanya.
.
Karena takut, Pendeta Erna kemudian meminta koster untuk membunyikan lonceng gereja agar warga membantu mereka di gereja. Pasalnya di gereja kebanyakan perempuan.
“Sebagai seorang perempuan, saya juga tidak bisa berbuat apa – apa. Saya hanya meminta semua yang ada di dalam gerja untuk tidak keluar,” katanya.
Tak lama berselang, sebuah mobil warna kuning membawa sekelompok pemuda yang tidak dikenal melintas.
“Saya lihat dari jendela para pemuda itu membawa panah, golok dan senjata tajam lainnya. Beberapa orang yang bersama saya makin ketakutan. Saya mencoba menenangkan mereka,” tandasnya.
Suasana makin mencekam. Pendeta Erna kemudian mengambil toga dan mengenakannya, kemudian berlutut dan berdoa memohon perlindungan Tuhan.
“Selesai berdoa, saya keluar dan berjalan ke depan gereja. Saya lihat rumah – rumah sudah terbakar. Asap hitam mengepul. Saya menangis. Dalam hati berkata, Tuhan ampuni mereka,” ungkapnya.
Ia menjelaskan, ada dua orang yang membawa kelewang (golok) melihat ke arahnya. Dia sempat ciut, namun demi menyelamatkan jemaatnya yang berada di dalam gereja, Ia memberanikan diri.
Berselang beberapa menit, mobil kuning yang mengangkut para orang tak dikenal itu melaju dengan kencang ke arahnya.
“Sampai di dekat saya, ada beberapa orang di atas mobil truk berteriak, ini dia juga, bakar dia sudah. Saya bilang, mari bakar sudah, saya lagi pakai toga ini. Tapi mereka terus berteriak bakar dan mobil jalan terus. Mungkin karena saya gunakan toga,” katanya.
Sementara itu, salah satu korban yang rumahnya hangus terbakar, Guster Tafoki, mengatakan, ketika kejadian, Ia juga bersama pendeta sedang bersidang, namun setelah mendengar teriakan warga bahwa ada rumah dibakar, Ia bergegas kembali ke rumahnya yang tak jauh dari gereja.
“Saat saya tiba di rumah, pembakaran sudah terjadi, saya lihat ada banyak orang tetapi yang saya kenal itu, karena mereka juga berasal dari Desa Taloetan, yakni Salmun Sak, Joni Hoinbala, Dominggus Manab, Agustinus Manab, Marsel Lokmeta, itu mereka yang tunjuk untuk lempar dan bakar. Dan pemuda yang saya tidak kenal itu pun merusak dan membakar rumah kami,” jelasnya.
Karena situasi begitu mencekam, Guster pun lari membiarkan rumah, kios dan bengkelnya dibakar sekelompok orang itu.
“Saya selamatkan istri dan anak – anak saya. Dan kami lari ke hutan,” ungkapnya.
Dia menjelaskan, saat keluar dari gereja, dia bertemu seorang polisi, dan polisi tersebut menyarankan untuk segera menyelamatkan diri karena suasana sulit dikendalikan.
“Kerugian yang saya alami cukup besar, 1 kios, 1 bengkel, 1 unit motor. Rumah saya dan uang cash Rp 40 juta, semua hangus terbakar. Yang sisa hanya pakaian di badan saya,” ungkapnya sambil menangis.
Kapolres Kupang, AKBP Aldinan R. J. H Manurung, SH. S.IK, M.Si, yang dikonfirmasi wartawan, Jumat (02/04/2021) mengatakan, masalah tersebut sedang dalam penanganan polisi.
“Masih berproses. Kedua belah pihak saling melaporkan. Mohon dukungan untuk percepatan,” jelasnya singkat.
Penulis: Tarsi Salmon
Editor: Boni J