*Oleh: Stefan Bandar
Enam tahun berlalu, setelah hari itu. Enam tahun akhirnya aku bisa biasa-biasa saja. Aku tidak lagi terganggu dengan bayangnya yang datang dalam lamunanku. Bahkan tidak sesering dulu ia datang dan menyiksaku. Aku tahu bahwa setelah hari itu pun dia baik-baik saja. Atau mungkinkah juga dia tidak sedang baik-baik saja sesaat setelah perpisahan itu? Entahlah!
Setelah menyelesaikan kuliah, aku ditempatkan di sebuah paroki yang letaknya di kota. Di sana aku menjalankan masa TOP dengan seorang teman yang berasal dari negeri timur. Tempat itu cukup jauh dari biara tempat aku mengenyamkan pendidikan filsafat. Aku harus menggunakan pesawat atau kalau tidak menggunakan kapal laut menuju ke sana.
Berada di tempat yang baru membuat aku harus mampu menyesuaikan diri dengan kehidupan masyarakat sekitar. Aku juga harus mampu menyesuaikan diri dengan cuaca yang sungguh dingin. Ya, tempat itu berada di antara pegunungan sehingga udaranya cukup dingin. Aku sungguh membutuhkan beberapa jacket yang sedikit lebih tebal untuk menetralisasikan hawa yang menyentuh kulitku.
Setiap orang yang kujumpai di sana menyapaku dengan sangat sopan. Setiap orang yang kutemui selalu menunjukkan sikap mereka yang ramah dan bersahabat. Kenyataan ini membuat aku betah berada bersama-sama dengan mereka. Saat senja hari, terkadang aku duduk bersama beberapa pemuda sembari menghabiskan minuman sore dan menanti tenggelamnya sang mentari.
Tahun pertama masa TOP telah kulewati. Ada banyak cerita yang kami ukir bersama dan banyak pelajaran baru yang kudapatkan. Senyum umat di sana membekas dalam ingatanku dan seakan melarangku untuk beranjak pergi meninggalkan mereka semua. Saat acara perpisahan pun langkahku diiringi oleh isak tangis dari beberapa wanita tua yang sering aku kunjung ketika memiliki waktu luang.
Sementara itu, di biara sana tersebar sebuah berita yang membuatku cukup terkejut. Aku dicurigai dekat dengan seseorang gadis yang berasal dari paroki tempat aku menghabiskan waktu TOP tahun pertama. Aku cukup heran sebab dalam kenyataannya aku tidak melakukan seperti itu. Aku mungkin dekat dengan anak-anak OMK, tetapi bagiku tidak ada seorang yang lebih istimewa dari pada yang lainnya.
Awalnya aku sedikit cuek dengan desa-desu yang tersebar itu. Namun lama-kelamaan kupingku memanas juga. Aku berusaha menjelaskan kepada semuanya bahwa aku tidak melakukan hal yang mereka tuduh. Namun rupanya nasi teah menjadi bubur. Berita itu tersebar hingga ke telinga pemimpin komunitas.
Aku dipanggil oleh pemimpin biara untuk mengklarifikasi masalah ini. Aku mencoba mengatakan sejujurnya bahwa semuanya tidak benar. Aku tidak melakukan seperti apa yang dituduhkan kepadaku. Aku tidak pernah merasa lebih dekat dengan seorang gadis di paroki tempat aku menghabiskan waktu TOP. Namun semua penjelasan itu sia-sia saja.
Aku merasa sangat terasing dalam lingkungan komunitas. Sepertinya kehadiranku sudah tidak diharapkan lagi, sering aku berpikir demikian. Aku mencoba untuk bertahan. Namun semakin hari aku semakin tersiksa dengan keadaan yang terjadi. Walaupun beberapa teman mencoba menguatkan aku tetapi semuanya itu seperti sia-sia saja.
Suatu hari aku dikirim sebuah pesan dari nomor baru. Nomor itu asing bagi chellphoneku. Mungkin nomor dari umat di paroki, gumanku. Aku membalas pesan itu dengan kata-kata seadanya saja sebab aku memang sedang tidak baik-baik saja. Hingga akhirnya dia yang pemilik nomor itu memperkenalkan dirinya kepadaku.
Leony, ia kembali dari peziarahannya. Ia yang telah lama hilang kini kembali datang tanpa kutahu sebabnya. Aku pun kembali terbawa suasana dulu, saat kami masih saling bersama. Entah mengapa tiba-tiba saja muncul sebuah rasa di dalam hatiku, rasa yang sulit kurangkai dengan kata. Bebanku terasa sedikit lebih ringan. Apakah aku masih mencintainya, tanyaku tiba-tiba.
Kami kembali merajut percakapan. Banyak hal yang kami bagi bersama khususnya pengalamanku menjalani hidup dalam biara. Banyak hal yang aku ceritakan kepadanya, termasuk juga beberapa pengalaman saat aku menjalankan TOP beberapa bulan sebelumnya. Namun aku tidak membicarakan masalahku kepadanya, masalah tuduhan yang sungguh memberatkan langkahku untuk terus menjalani kehidupan sebagai seorang religius.
Dari cerita-ceritanya aku menyadari bahwa selama ini ia pergi menempuh pendidikan di sebuah tempat yang cukup jauh. Ia telah menyelesaikan pendidikan S1 dalam bidang akuntansi dan sekarang masih sedang menempuh pendidikan S2 dalam bidang yang sama. Ia menempuh pendidikannya di sebuah universitas yang ternama di negeri seberang sama.
Hari-hari selanjutnya aku dan Leony terus saling memberi kabar. Ia juga menceritakan pengalamannya ketika menempuh pendidikan S1. Ia menceritakan kebersamaannya dengan teman-teman dan berbagai pengalaman lainnya. Termasuk juga menceriterakan bagaimana ia menolak seorang lelaki yang ingin dekat dengan dirinya.
Ia menolaknya dengan alasan bahwa ia telah mencintai seseorang, sedang mencintainya dan akan terus mencintinya. Mungkin lelaki itu adalah cinta sejatinya, gumanku. Namun ia tidak memberitahu identitas cinta sejatinya, meskipun aku memintanya untuk menceriterakannya kepadaku.rahasia, demikian jawabnya singkat.
Suatu senja, ketika ia datang ke biara hendak memberiku kado ulang tahunku yang ke dua puluh enam. Hal ini biasa dilakukannya ketika kami masih berada di bangku SMA, khususnya sebelum perpisahan itu. Tidak pernah lupa ia mengucapkan beberada untaian doa untuk kebaikanku.
Namun kali ini sedikit berbeda. Bukan doa yang diuntaikannya di depanku melainkan sebuah pertanyaan yang membuat aku sedikt bingung. ‘Apakah engkau masih mencintaiku’, demikian pertanyaan yang ia berikan. Aku kaget sebab aku tidak menyangka ia memberikan pertanyaan itu. Haruskah aku menjawab iya?
NB: Cerpen ini adalah lanjutan dari cerpen Tuhan Haruskah Aku Pergi PadaMu? dan Leony.
Baca Juga:
Stefan Bandar adalah Mahasiswa STFK Ledalero