*Oleh: Adrian Naur
Perayaan Paskah tahun ini berujung petaka. Longsoran bebatuan gunung Ile Welotolok merobohkan rumah-rumah warga di Desa Waimatan, Kecamatan Ile Ape Timur, Kabupaten Lembata. Setidaknya 25 korban dinyatakan meninggal. Kejadian nahas itu terjadi pada Minggu (04/04/2021) sekitar pukul 02.00 Wita dini hari.
Sehari pascapemberitaan tanah longsor itu, saya dan ketiga teman wartawan (Pos Kupang, TVRI, dan Media Indonesia) langsung menyusur ke lokasi bencana. Siang itu, hujan turun sangat deras di Lembata. Dari kejauhan, puncak gunung Ile Lewotolok terlihat mendung kehitaman.
Kami berangkat sekitar pukul 01.00 siang Wita. Sepanjang perjalanan beberapa kali kendaraan kami terhenti akibat hujan deras. Jalanan yang dilalui juga licin. Banyak jalanan berlubang. Genangan air hujan banyak terkumpul di ruas jalan. Lumpur di mana-mana.
Setelah tiba di lokasi pertama, di Desa Amakaka, kendaraan terhenti. Kami melihat dari dekat puing-puing rumah dan sekolah hancur berantakan. Kami kaget. Terkejut bercampur sedih. Banyak bebatuan besar saling tindih terparkir liar di ruas jalan. Sampah berserahkan. Lumpur-lumpur menyelinap di seluruh badan jalan. Kami tertahan selama 10 menit.
Setelah mendokumentasikan keadaan, perjalanan dilanjutkan. Meskipun jalanan merintang, tekat kami bulat. Hampir memakan satu perjalanan, tibalah kami di desa Waimatan. Di lokasi tersebut sudah terlihat masyarakat berkumpul. Kami mengarahkan pandangan ke lokasi evakuasi jenazah. Kami dibuat kaget dan syok oleh pemandangan puing-puing rumah dan bebatuan besar.
Menurut salah seorang yang di lokasi tersebut, tumpukkan bebatuan besar itu adalah sumber malapetaka warga desa Waimatan. Karena penasaran, kami menuju ke lokasi evakuasi jenazah.
Terlihat beberapa petugas evakuasi kewalahan. Akibat bebatuan besar, para petugas kesulitan mengeluarkan satu jenazah. Berkali-kali dicoba tetap tidak bisa. Satu petugas hampir dihantam bebatuan besar. Untungnya ada petugas lain dengan sigap memasang balok besar.
Jenazah ketiga itu baru bisa dikeluarkan setelah hampir satu jam dievakuasi. Terdengar para petugas mengucapkan “Puji Tuhan”. Menurut saksi mata di lokasi, sudah tiga jenazah yang berhasil terverifikasi.
Kami lalu mewawancarai seorang bapak. Dari raut wajahnya, bapak ini mengalami trauma. Dia hanya diam saat di lokasi evakuasi. Sesekali berada bersama petugas. Lalu, menjauh dari kerumunan petugas dan relawan.
“Ya, saya adik dari bapa yang baru dievakuasi”. Begitu keterangan awal ketika ditanyakan perihal kakaknya itu. Menurutnya, saat kejadian drinya tidak ada di rumah. Malam itu, dia menginap di kebun. Keesokan hari, minggu (4/4) sekitar jam 10 pagi barulah diketahuinya kejadian nahas itu. “Kemarin pagi baru saya tahu, tapi ada yang beritahu jangan dulu datang”.
Pria itu kemudian tidak banyak bicara setelah diwawancari. Kami tidak tega menggali lebih banyak informasi darinya. Selang dua puluh menit, kami lalu menjumpai kepala desa Waimatan, Mus Betekeneng. Beliau adalah salah satu saksi kunci saat kejadian.
Menurutnya, ia bersama sekretaris desa, alm. Randius Rupa menjadi aktor ulung saat malam nahas itu. Mus Betekeneng menceritakan duduk kejadian malam Paskah itu, meski dengan hati gusar.
Menurutnya, saat malam kejadian, sebagian warga desa Waimatan sudah tidur nyenyak. Semua berada di rumah masing-masing selepas mengikuti perayaan malam Paskah. Hujan masih turun deras sejak pukul enam sore, lanjutnya.
Sekitar pukul 01.00 malam mulai terdengar gemuruh dari gunung Ile Lewotolok. Menurut keterangannya, sumber gemuruh terdengar dari dua arah. Ada yang mendengar dari bawah dan dari atas. Saat mendengar gemuruh tersebut, dirinya langsung berkoordinasi dengan sekretaris desa.
Menurut Mus, sekretaris desalah yang menjadi narahubung utama. Dengan hanya bermodalkan Handy Talky, alm. Randius berkali-kali berkomunikasi dengan warga desa lain.
Sekitar jam dua malam terjadilah musibah. “Sekretaris desa meningal saat sementara berkoordinasi dengan warga lain. Sekretaris desa pergi dengan keadaan sadar dan tahu akan meninggal,” ungkap Mus.
Jelas Mus, seandainya malam itu ada yang membunyikan sesuatu atau berteriak, bisa jadi meterial bebatuan tidak menimpa kami. “Sebelum kejadian, seperti ada batu yang berbunyi di atas rumah saya. Itu barangkali bertanda bagi kami. Tapi, karena semua dalam keadaan panik dan tidak tahu, kejadian itu tidak bisa dielakkan”.
Beberapa jam sebelum kejadiaan juga saat berada di Gereja, jelas Mus, semua umat sudah diingatkan oleh ketua dewan. Katanya, bahwa akan ada hujan deras selama sepaekan ke depan. “Kami sudah peringatkan seluruh warga, tapi karena hujan dan angin orang takut mau keluar rumah,” imbuh Mus.
Beberapa menit pasca longsoran, Mus lalu berkoordinasi dengan para korban selamat. Mus memanfaatkan cahaya lampu senter untuk berkomunikasi. “Saya mengatakan kepada yang selamat agar jangan bersedih dan tetap siaga.” Karena mencekam, malam itu Mus dan warga desa Waimatan tidak tidur sampai pagi. Meskipun hujan deras, Mus tetap ada bersama warganya.
Menurut penuturannya, ada sembilan belas rumah yang terdampak longsoran. Sembilan rumah rusak itu, terhitung dengan dusun tiga. Namun, tidak ada korban di dusun tiga. Sedangkan untuk dusun dua ada 25 korban jiwa yang meninggal saat kejadian. “Baru tiga yang ditemukan pasca kejadian Minggu dini hari,” jelas Mus.
Mus dan warga lain tidak banyak berbuat saat kejadian tiba. Dia tetap bersyukur karena sebagian warganya terselamatkan. “Untung masih ada batu besar yang bisa tahan. Kalau tidak mungkin sudah hancur semua rumah kami”. Mus Betekeng tetap tegar dan berbesar hati. Dia bisa menerima kenyataan. Meskipun, air mukanya berubah setiap kali mengulang kisah nahas malam itu. ***